WANPRESTASI DAN TEORI-TEORI KEADAAN MEMAKSA
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Manusia hidup dan berkembang dalam
suatu susunan masyarakat sosial yang mana di dalamnya terdapat saling
ketergantungan satu sama lain, seorang manusia tidak akan dapat hidup sendiri
dan akan selalu membutuhkan orang yang lain untuk mendampingi hidupnya.
Berbicara mengenai kehidupan
masyarakat tentu tidak terlepas dari yang namanya kehidupan sosial, dalam
struktur kehidupan bermasyarakat tentu terdapat berbagai hal yang dianggap
sebagai pengatur yang bersifat kekal, mengikat dan memiliki sanksi yang tegas bagi
para pelanggarnya. Hal tersebut dapat dikatakan sebagai hukum. Hukum yang kini
akan kita bahas merupakan hukum yang mengatur segala bentuk tindakan antar
perseorangan atau antar sesama manusia, hukum ini dapat kita sebut sebagai
hukum perdata.
Dalam hukum perdata ini banyak
sekali hal yang dapat menjadi cangkupannya, salah satunya adalah perikatan.
Perikatan adalah suatu hubungan hukum dalam lapangan harta kekayaan antara dua
orang atau lebih di mana pihak yang satu berhak atas sesuatu dan pihak lain
berkewajiban atas sesuatu. Hubungan hukum dalam harta kekayaan ini merupakan
suatu akibat hukum, akibat hukum dari suatu perjanjian atau peristiwa hukum
lain yang menimbulkan perikatan.
Di dalam hukum perikatan setiap
orang dapat mengadakan perikatan yang bersumber pada perjanjian, perjanjian
apapun dan bagaimana pun, baik itu yang diatur dengan undang-undang atau
tidak,inilah yang disebut dengan kebebasan berkontrak, dengan syarat kebebasan
berkontrak harus halal, dan tidak melanggar hukum, sebagaimana yang telah
diatur dalam Undang-Undang. Di dalam perikatan ada perikatan untuk berbuat
sesuatu dan untuk tidak berbuat sesuatu. Yang dimaksud dengan perikatan untuk
berbuat sesuatu adalah melakukan perbuatan yang sifatnya positif, halal, tidak
melanggar undang-undang dan sesuai dengan perjanjian. Sedangkan perikatan untuk
tidak berbuat sesuatu yaitu untuk tidak melakukan perbuatan tertentu yang telah
disepakati dalam perjanjian.
Dahulu
kala, orang melakukan perikatan dengan yang lain guna memenuhi kebutuhan hidupnya
dengan cara barter (penukaran barang dengan barang), lalu berubah menjadi
penukaran barang dengan uang barang dan kemudian berganti menjadi barang dengan
uang.
Ternyata perkembangan zaman sudah
merubah peradaban cara hidup manusia memenuhi kebutuhannya. Tidak hanya
melakukan transaksi (akad) secara langsung, tapi juga bisa dengan kredit, dan
lain-lain bahkan ada perjanjian secara tertulis sebelum diadakan perikatan
pemenuhan kebutuhan tersebut.
Akibat kian hari kian banyak pula
kebutuhan yang harus dipenuhi yang tidak diiringi dengan jumlah pendapatan,
maka lahirlah ingkar janji dari suatu kesepakatan yang telah dibuat yang
dinamakan Wanprestasi yang tentunya tidak lain merugikan pihak kreditur, baik
perjanjian itu berupa sepihak (cuma-cuma) maupun timbal-balik (atas beban).
Hal yang dalam hakekatnya mendekati
faktor kejujuran dalan hukum adalah faktor yang dinamakan keadaan memaksa dalam
hukum (overmacht in het recht). Ada hubungan erat antara dua faktor itu, bahwa
kejujuran dalam hukum mengakibatkan apabila ada keadaan memaksa, maka ini
mempengaruhi hal berlangsung atau tidaknya pelaksanaan hak-hak dan kewajiban
pada suatu perhubungan hukum.
Ada tiga hal yang
menyebabkan debitur tidak melakukan penggantian biaya, kerugian dan bunga
yaitu:
a. Adanya suatu hal yang tak terduga
sebelumnya.
b. Terjadinya secara kebetulan.
c. Keadaan memaksa.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Pengertian
Wanprestasi
2.
Macam-macam
Wanprestasi
3.
Mulai
terjadinya Wanprestasi
4.
Akibat adanya
Wanprestasi
5.
Contoh kasus
wanprestasi
6.
Pengertian keadaan memaksa
dalam hukum
7.
Dasar hukum keadaan memaksa
8.
Teori-teori
keadaan memaksa
9.
Macam-macamnya keadaan memaksa
10.
Akibat dari keadaan memaksa
C.
Tujuan
Pembahasan
1.
Memahami
pengertian dari wanprestasi
2.
Mengetahui
macam-macam wanprestasi
3.
Mengetahui
kapan waktu terjadinya wanprestasi
4.
Mengetahui
akibat yang ditimbulkan adanya wanprestasi
5.
Memahami
wanprestasi melalui contoh kasus
6.
Memahami
pengertian keadaan memaksa
7.
Mengetahui
dasar hukum dari keadaan memaksa
8.
Mengetahui
teori-teori keadaan memaksa
9.
Mengetahui macam-macam
keadaan memaksa
10.
Mengetahui
akibat dari keadaan memaksa
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Wanprestasi
1.
Pengertian
Seringnya hal-hal yang menjadi
persoalan dalam hukum perjanjian adalah pengingkaran atau kelalaian seorang
debitur kepada kreditur, atau pemenuhan janji yang dilakukan oleh debitur.
Dalam hukum perdata, keduanya disebut dengan prestasi bagi yang memenuhi janji
dan wanprestasi bagi yang tidak memenuhi janji. Riduan Syahrani mendefinisikan
bahwa prestasi adalah suatu yang wajib dan harus dipenuhi oleh debitur dalam
setiap perikatan.[1]
Prestasi adalah sesuatu yang wajib
dipenuhi oleh debitur dalam setiap perikatan. Prestasi adalah objek perikatan,
sehingga dalam hukum perdata kewajiban memenuhi prestasi selalu disertai
jaminan harta kekayaan debitor. Pasal 1131 dan 1132 KUHPerdata dinyatakan bahwa
harta kekayaan debitur, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, baik
yang sudah ada maupun yang akan ada, menjadi jaminan pemenuhan utangnya
terhadap kreditur. Namun, jaminan umum tersebut dapat dibatasi dengan jaminan
khusus berupa benda tertentu yang ditetapkan dalam perjanjian antarpihak.[2]
Wanprestasi berasal dari bahasa
Belanda, yang berarti prestasi buruk.[3]
Wanprestasi artinya tidak memenuhi kewajiban yang telah disepakati dalam
perikatan[4].
Tidak dipenuhinya kewajiban oleh debitor karena dua kemungkinan alasan:
1. Karena
kesalahan debitor, baik karena kesengajaan maupun kelalaian;
2. Karena
keadaan memaksa (force majeure) di luar kemampuan debitor, sehingga
debitor tidak bersalah.
Untuk menentukan apakah seorang
debitor bersalah melakukan wanprestasi, perlu ditentukan dalam keadaan
bagaimana debitor dikatakan sengaja atau lalai tidak memenuhi prestasi. Menurut
Pasal 1234 KUHPerdata yang dimaksud dengan prestasi adalah seseorang yang
menyerahkan sesuatu, melakukan sesuatu, dan tidak melakukan sesuatu, sebaliknya
dianggap wanprestasi apabila seseorang:[5]
1. Tidak melakukan apa yang
disanggupi akan dilakukannya;
2. Melaksanakan apa yang
dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana dijanjikan;
3. Melakukan apa yang dijanjikan
tetapi terlambat;
4. Melakukan sesuatu yang menurut
kontrak tidak boleh dilakukannya.
Terdapat beberapa pandangan menurut para ahli tentang pengertian
wanprestasi, diantaranya:
a. Dr. Wirjono
Prodjodikoro, SH
Wanprestasi adalah ketiadaan suatu prestasi didalam hukum
perjanjian, berarti suatu hal yang harus dilaksanakan sebagai isi dari suatu
perjanjian. Barangkali daslam bahasa Indonesia dapat dipakai istilah
“pelaksanaan janji untuk prestasi dan ketiadaan pelaksanaannya janji untuk
wanprestasi”.
b. Prof. R. Subekti, SH
Wanprestsi itu adalah kelalaian atau kealpaan yang dapat
berupa 4 macam yaitu:
1) Tidak melakukan apa yang telah disanggupi akan
dilakukannya.
2) Melaksanakan apa yang telah diperjanjikannya,
tetapi tidak sebagai mana yang diperjanjikan.
3) Melakukan apa yang diperjanjikan tetapi
terlambat,
c. H. Mariam Darus
Badrulzaman SH
H. Mariam Darus Badrulzaman SH mengatakan bahwa
apabila debitur “karena kesalahannya” tidak melaksanakan apa yang
diperjanjikan, maka debitur itu wanprestasi atau cidera janji. Kata karena
salahnya sangat penting, oleh karena dabitur tidak melaksanakan prestasi yang
diperjanjikan sama sekali bukan karena salahnya.[7]
d. M.Yahya Harahap.
Wanprestasi dapat dimaksudkan juga sebagai pelaksanaan kewajuban
yang tidak tepat pada waktunya atau dilaksankan tidak selayaknya.
2.
Macam-Macam Wanprestasi
Jika debitur tidak
melaksanakan prestasi-prestasi tersebut yang merupakan kewajibannya, maka
perjanjian itu dapat dikatakan cacat atau katakanlah prestasi yang buruk.
Wanprestasi merupakan suatu prestasi yang buruk, yaitu para pihak tidak
melaksanakan kewajibannya sesuai isi perjanjian. Wanpestasi dapat terjadi baik
karena kelalaian maupun kesengajaan.[8] Wanprestasi seorang
debitur yang lalai terhadap janjinya dapat berupa:
1. Tidak melaksanakan prestasi
sama sekali.
Contoh: A dan B telah sepakat untuk jual-beli motor dengan
merek Snoopy dengan harga Rp 13.000.000,00 yang penyerahannya
akan dilaksanakan pada Hari Minggu, Tanggal 25 Oktober 2011 pukul
10.00. Setelah A menunggu lama, ternyata si B tidak datang sama sekali
tanpa alasan yang jelas.
2. Melaksanakan tetapi
tidak tepat waktu (terlambat).
Contoh: (Konteks contoh nomor 1). Si B datang tepat waktu, tapi
membawa motorMiu bukan merk Snoopy yang telah
diperjanjikan sebelumnya.
3. Melaksanakan tetapi tidak
seperti yang diperjanjikan.
Contoh: (Konteks contoh nomor 1). Si B datang pada hari itu membawa
motorSnoopy, namun datang pada jam 14.00.
4. Debitur melaksanakan yang
menurut perjanjian tidak boleh dilakukan.
Contoh:(Konteks contoh nomor 1). Si B datang tepat pukul 10.00
pada hari itu dan membawa motor Snoopy, namun menyertakan si C
sebagai pihak ketiga yang sudah jelas-jelas dilarang dalam kesepakatan kedua
belah pihak sebelumnya.
Dalam hal bentuk
prestasi debitur dalam perjanjian yang berupa tidak berbuat sesuatu, akan mudah
ditentukan sejak kapan debitur melakukan wanprestasi yaitu sejak pada saat
debitur berbuat sesuatu yang tidak diperbolehkan dalam perjanjian. Sedangkan
bentuk prestasi debitur yang berupa berbuat sesuatu yang memberikan sesuatu
apabila batas waktunya ditentukan dalam perjanjian maka menurut pasal 1238 KUH
Perdata debitur dianggap melakukan wanprestasi dengan lewatnya batas waktu
tersebut. Dan apabila tidak ditentukan mengenai batas waktunya maka untuk
menyatakan seseorang debitur melakukan
wanprestasi, diperlukan surat peringatan tertulis
dari kreditur yang diberikan
kepada debitur. Surat peringatan tersebut disebut dengan somasi.[9]
3.
Mulai Terjadinya
Wanprestasi
Praktek hukum
perikatan di dalam masyarakat, untuk menentukan sejak kapan seorang debitur
wanprestasi terkadang tidak selalu mudah, karena kapan debitur harus memenuhi
prestasi tidak tidak selalu ditentukan dalam perjanjian. Dalam perjanjian jual
beli, sesuatu barang, misalnya, tidak ditetapkan
kapan penjual harus menyerahkan barang yang dijualnya kepada pembeli, dan kapan
pembeli harus membayar harga barang yang dibelinya kepada penjual.[10]
Lain hal dalam
menetapkan kapan debitur wanprestasi pada perjanjian yang prestasinya untuk
tidak berbuat sesuatu, misalnya untuk tidak membangun tembok yang tingginya
lebih dari dua meter, sehingga begitu debitur membangun tembok yang tingginya
lebih dua meter, sejak itu debitur dalam keadaan wanprestasi.
Perjanjian yang
prestasinya untuk memberi sesuatu atau untuk berbuat sesuatu, yang tidak
menetapkan kapan debitur harus memenuhi prestasi tersebut, sehingga untuk
memenuhi prestasi tersebut, debitur harus lebih dahulu diberi teguran (somasi)
agar debitur memenuhi kewajibannya.
Jika dalam prestasi
tersebut dapat seketika dipenuhi, misalnya penyerahan barang yang dijual dan
barang yang akan diserahkan sudah ada, pprestasi tersebut dapat ditunut supaya
dipenuhi seketika. Akan tetapi, jika prestasi dalam perjanjian tersebut tidak
dapat dipenuhi seketika, misalnya barang yang harus diserahkan masih belum
berada di tangan debitur, kepada debitur (penjual) diberi waktu yang pantas
untuk memenuhi prestasi tersebut.
Tentang bagaimana
cara memberikan teguran (somasi) terhadap debitur agar jika debitur tidak memenuhi teguran itu dapat dikatakan wanprestasi, diatur dalam Pasal 1238
BW yang menentukan, bahwa teguran itu harus dengan surat perintah atau dengan
akta sejenis.
Somasi adalah pemberitahuan atau pernyataan dari kreditur
kepada debitur yang berisi ketentuan bahwa kreditur menghendaki pemenuhan
prestasi seketika atau dalam jangka waktu seperti yang ditentukan dalam
pemberitahuan itu dengan kata lain somasi adalah peringatan agar
debitur melaksanakan kewajibannya sesuai dengan tegoran kelalaian yang telah
disampaikan kreditur kepadanya.
Menurut pasal 1238 KUH Perdata yang menyatakan bahwa:
“Si berutang adalah lalai,
apabila ia dengan surat perintah atau dengan
sebuah akta sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau demi
perikatan sendiri, ialah jika ini menetapkan bahwa si berutang harus dianggap
lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan”.[11]
Dari ketentuan pasal tersebut dapat dikatakan bahwa debitur
dinyatakan wanprestasi apabila sudah ada somasi (in gebreke stelling).
Adapun bentuk-bentuk somasi menurut pasal 1238 KUH Perdata adalah:
a. Surat perintah
Surat perintah tersebut
berasal dari hakim yang biasanya berbentuk penetapan.
Dengan surat penetapan ini juru sita memberitahukan secara lisan
kepada debitur kapan selambat-lambatnya dia harus berprestasi. Hal ini biasa
disebut “exploit juru Sita”
b. Akta
sejenis
Akta
ini dapat berupa akta dibawah tangan maupun akta notaris.
c. Tersimpul
dalam perikatan itu sendiri
Maksudnya sejak
pembuatan perjanjian, kreditur sudah menentukan saat adanya wanprestasi.
Dalam perkembangannya,
suatu somasi atau teguran terhadap debitur yang melalaikan kewajibannya dapat
dilakukan secara lisan akan tetapi untuk mempermudah pembuktian dihadapan hakim
apabila masalah tersebut berlanjut ke pengadilan maka sebaiknya diberikan
peringatan secara tertulis.
Dalam keadaan
tertentu, somasi tidak diperlukan untuk dinyatakan bahwa seorang debitur
melakukan wanprestasi yaitu dalam hal adanya batas waktu dalam perjanjian (fatal
termijn), prestasi dalam perjanjian berupa tidak berbuat sesuatu, debitur
mengakui dirinya wanprestasi.
4.
Akibat Adanya Wanprestasi
Tidak dipenuhinya perikatan yang
diakibatkan oleh kelalaian debitur atau wanprestasi sebagai akibat situasi dan
kondisi yang resikonya ada pada diri debitur menimbulkan beberapa akibat.
Akibat-akibat wanprestasi adalah:[12]
1. Debitur
harus membayar ganti rugi (Pasal 1279 BW);
2. Beban
resiko bergeser ke arah kerugian debitur. Suatu halangan yang timbul ke
permukaan dapat dipertanggungjawabkan kepada kreditur setelah pihak debitur
melakukan wanprestasi, kecuali ada kesengajaan atau kelalaian besar (culpa
lata) pada pihak kreditur atau tidak dapat mengendalikan (overmacht).
3. Jika
perikatan timbul dari suatu persetujuan timbal balik , maka pihak kreditur
dapat membebaskan diri dari kewajiban melakukan kontraprestasi melalui cara
Pasal 1302 BW atau melalui exceptio non adimpleti contractus menangkis
tuntutan debitur untuk memenuhi perikatan.
Adapun akibat yang
diberikan kepada pihak yang melakukan wanprestasi diancam beberapa sanksi atau
hukuman, yaitu:
1. Membayar
kerugian yang diderita oleh kreditur atau dengan atau disebut ganti rugil
2. Pembatalan
perjanjian atau juga dinamakan pemecahan perjanjian;
3. Peralihan
resiko;
4. Membayar
biaya perkara, jika sampai diperkarakan di depan hakim.
5.
Contoh Kasus Wanprestasi
Salah satu contoh kasus wanprestasi
adalah sebagaimana yang dilakukan oleh salah seorang artis, Cinta Laura. Kasus
tersebut bermula dari ketidakpuasan pihak MD Entertaiment karena beranggapan
bahwa pihak Cinta Laura menyalahi klausial kontrak. Cinta Laura yang awalnya
terikat perjanjian dengan pihak MD Entertaiment pada pertengahan Mei 2006,
untuk pembuatan sinetron serial bertajuk Bidadari, dalam kontrak tersebut
disebutkan, kontrak dianggap mulai berlaku jika syuting Bidadari dimulai.
Namun, stasiun SCTV yang bekerjasama
dengan MD Entertaiment dalam penayangan sinteron serial ini, tiba-tiba secara
sepihak membuat kesepakatan baru untuk menggunakan artis Cinta Laura sebagai
pemain utama sinetron lain yang bertajuk Cinderella, sehingga pada akhirnya
Cinta Laura menjalani syuting sinetron Cinderella dan dalam kontraknya dituntut
untuk menyelesaikan sinetron tersebut sampai 316 episode. Akan tetapi, dalam
perjalanannya pihak Cinta Laura hanya menyelesaikannya sampai 310 episode.
Itulah yang menyebabkan pihak MD Entertaiment menuntut Cinta Laura karena tidak
menyelesaikan kontrak eksklusifnya pada MD Entertaiment. Pihak MD Entertaiment
menuntut Cinta Lura agar menyelesaikan kontraknya, membayar ganti rugi, serta
memutuskan hubungan kerja dengan sinemart.
Pihak MD Entertaiment menuntut Cinta
Laura untuk membayar sebesar Rp 1.179.160.000 untuk kerugian materil dan Rp
500.000.000 untuk kerugian imateriil yang totalnya mencapai Rp 1.216.460.000
secara tanggung renteng. Namun pada akhirnya pihak Cinta Laura yang memenangkan
perkara tersebut, pihak MD Entertaiment merasa dirugikan, namun pihak Cinta
Laura juga merasa dirugikan karena harus mengembalikan honor yang sudah
diterima sebesar Rp 28.000.000 sebagai down payment atau
sebagai nofum
B.
Keadaan
Memaksa
1.
Pengertian
Istilah keadaan memaksa berasal dari
bahasa Inggris, yaitu force majeure, sedangkan dalam bahasa Belanda disebut
dengan overmacht. Keadaan memaksa adalah suatu keadaan ketika debitur tidak
dapat melakukan prestasinya kepada, yang disebabkan adanya kejadian yang berada
di luar kekuasaannnya, seperti gempa bumi, banjir, tanah longsor, dan
lain-lain.
Menurut Prof. Dr. R. Wirjono
Prodjodikoro S.H. keadaan memaksa dalam hukum adalah keadaan yang menyebabkan
bahwa suatu hak atau suatu kewajiban dalam suatu perhubungan hukum tidak dapat
dilaksanakan.
2.
Dasar Hukum Keadaan Memaksa
Keadaan
memaksa (overmacht/force majeure), artinya diluar kemampuan debitur.
Unsur-unsur keadaan memaksa adalah sebagai berikut:
a. Terjadi peristiwa yang membinasakan/memusnahkan benda objek
perikatan
b. Terjadi peristiwa yang menghalangi perbuatan debitur untuk
berprestasi
c. Peristiwa itu tidak dapat diketahui atau diduga akan terjadi pada
waktu membuat perikatan
Dalam KUHPerdata
Overmacht atau keadaan memaksa diatur dalam Buku III pasal 1244 dan 1245.
Pasal 1244
Debitur harus dihukum untuk mengganti biaya, kerugian dan bunga.
bila ia tak dapat membuktikan bahwa tidak dilaksanakannya perikatan itu atau
tidak tepatnya waktu dalam melaksanakan perikatan itu disebabkan oleh sesuatu
hal yang tak terduga, yang tak dapat dipertanggungkan kepadanya. walaupun tidak
ada itikad buruk kepadanya.
Pasal 1245
Tidak ada penggantian biaya, kerugian dan bunga. Bila karena keadaan
memaksa atau karena hal yang terjadi secara kebetulan, debitur terhalang untuk
memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan, atau melakukan suatu perbuatan
yang terlarang baginya.
Dalam hal keadaan memaksa yang memenuhi unsur satu dan
tiga, maka keadaan memaksa ini disebut “keadaan memaksa objektif”. Dasarnya
adalah ketidakmungkinan memenuhi prestasi, karena bendanya lenyap atau musnah.
Misalnya seorang pelukis tidak bisa menyerahkan lukisan yang telah dipesan
kepada si pemesan karena tiba-tiba ada musibah berupa kebakaran, sehingga
melenyapkan seluruh lukisannya. Dengan peristiwa ini, maka perikatan diyatakan
“batal”.
Dalam hal keadaan memaksa yang memenuhi unsur dua dan
tiga, keadaan memaksa ini disebut keadaan memaksa yang subjektif. Dasarnya
ialah debitur kesulitan memenuhi prestasi karena ada peristiwa yang
menghalanginya. Misalnya seseorang membeli barang dari seorang pedagang yang
disanggupi untuk dikirimkan dalam waktu satu minggu. Namun kapal yang
mengangkut barang itu membentur karang sehingga harus masuk dok untuk
perbaikan. Di sini debitur mengalami kesulitan memenuhi prestasi. jika prestasi
itu sudah tidak berarti lagi bagi debitur karena lamanya waktu pengiriman, maka
perikatan “gugur”.
Perbedaan antara perikatan “batal” dan “gugur” terletak
pada ada dan tidaknya objek perikatan dan kemungkinan pemenuhan objek. Pada
perikatan batal, objek perikatan tidak ada karena musnah, sehingga tidak
mungkin dipenuhi oleh debitur. Sedangkan pada perikatan “gugur”, objek
perikatan ada, sehingga mungkin dipenuhi dengan segala macam usaha.[13]
3.
Teori-Teori Keadaan Memaksa
a.
Teori Ketidakmungkinan
(onmogelijkeheid).
Teori ini berpendapat bahwa keadan
memaksa adalah suatu keadaan tidak mungkin melakukan pemenuhan prestasi yang
diperjanjikan.
Ketidakmungkinan
dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu:
– Ketidakmungkinan absolut atau objektif
(absolut onmogelijkheid), yaitu suatu ketidakmungkinan sama sekali dari debitur
untuk melakukan prestasinya pada kreditur.
– Ketidakmungkinan relatif atau
ketidakmungkinan subjektif (relative onmogelijkheid), yaitu suatu
ketidakmungkinan relatif dari debitur untuk memenuhi prestasinya.
b.
Teori Penghapusan atau
Peniadaan kesalahan (afwesigheid van schuld).
Teori ini berarti dengan adanya
overmacht terhapuslah kesalahan debitur atau overmacht peniadaan kesalahan.
4.
Macam-Macam Keadaan Memaksa
a.
Keadaan Memaksa Absolut
Keadaan memaksa absolut adalah suatu
keaaan dimana debitur sama sekali tidak dapat memenuhi perutangannya kepada
kreditur, oleh karena adanya gempa bumi, banjir bandang, dan adanya lahar.
Contohnya, si A ingin membayar utangnya pada si B. Namun tiba-tiba pada saat si
A ingin melakukan pembayaran utang, terjadi gempa bumi. Maka si A sama sekali
tidak dapat membayar utangnya pada si B.
Kalau keadaan memaksa mengakibatkan,
bahwa suatu hak atau kewajiban dalam perhubungan hukum sama sekali tidak dapat
dilaksanakan oleh siapapun juga dan bagaimanapun juga, maka keadaan memaksa itu
dinamakan “absolut”.
Keadaan memaksa yang bersifat mutlak
(absolut) yaitu dalam halnya sama sekali tidak mungkin lagi melaksanakan
perjanjiannya (misalnya barangnya sudah hapus karena bencana alam).
b.
Keadaan Memaksa yang Relatif
Keadaan memaksa yang relatif adalah
suatu keadaan yang menyebabkan debitur mungkin untuk melaksanakan prestasinya.
Tetapi pelaksanaan prestasi itu harus dilakukan dengan memberikan korban yang
besar yang tidak seimbang atau menggunakan kekuatan jiwa yang di luar kemampuan
manusia atau kemungkinan tertimpa bahaya kerugian yang sangat besar. Contohnya,
A telah meminjam, kredit usaha tani dari KUD, dengan janji akan dibayar pada
musim panen. Tetapi sebelum panen, padinya diserang oleh ulat. Dengan demikian,
pada saat itu ia tidak mampu membayar kredit usaha taninya kepada KUD, tetapi
ia akan membayar pada musim panen mendatang.
Keadaan memaksa dinamakan “relatif”,
apabila keadaan itu pelaksanaan hak-hak dan kewajiban-kewajiban pada suatu
perhubungan hukum tidak dapat dibilangkan sama sekali tidak dapat terjadi
bagaimanapun juga, akan tetapi demikian sukarnya dan dengan pengorbanan dari
yang harus melaksanakan, sedemikian rupa, sehingga patutlah, bahwa keharusan
untuk melaksanakan hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang bersangkutan dianggap
lenyap.
Adanya keadaan memaksa yang relatif
ini, sangat tergantung dari pada isi, maksud, dan tujuan dari perhubungan hukum
yang bersangkutan.
Misalnya, seorang
tukang berjanji akan membikin rumah untuk orang lain, kemudian pada waktu
pembikinan rumah itu sedang berjalan segenap buruh-buruhnya bersama-sama mogok.
Apakah oleh karena keadaan ini keharusan untuk menyelesaikan pembikinan rumah
adalah lenyap?
Kalau dapat
dikatakan, bahwa tukang pembikin rumah harus mempekerjakan lain-lain buruh,
bagaimanapun mahalnya upah buruh-buruh itu, maka dalam hal ini boleh dikatakan
tidak ada keadaan memaksa.
Akan tetapi, kalau
berhubungan dengan isi, maksud, dan tujuan dari persetujuan anatara kedua belah
pihak, dapat dikatakan bahwa pengorbanan yang sedemikian besarnya, tidak patut
dibebankan kepada si tukang pembikin rumah, maka kini boleh dikatakan bahwa
adalah keadaan memaksa.
Kalau terjadinya keadaan memaksa
dapat dikira-kirakan oleh siapapun juga secara objektif, dan tidak dapat
dihindarkan dengan usaha apapun juga, maka dapat dikatakan bahwa dari pihak
yang berkewajiban itu sama sekali tidak ada kesalahan, dan seharusnya ia
dibebaskan sama sekali dari pertanggung jawaban.
Sebaliknya, kalau keadaan memaksa
itu secara objektif dapat dikira-kiranya lebih dulu untuk menjaga seberapa
boleh jangan sampai keadaan memaksa itu terjadi, maka dapatlah si berwajib itu
dipertanggungjawabkan.
Misalnya, suatu
perusahaan mengangkut barang-barang berjanji akan mengangkut barang-barang dari
suatu kota ke lain kota, dan sudah diketahui oleh umum, bahwa di perjalanan
antar dua kota itu sudah beberapa kali terjadi perampokan atas barang-barang
angkutan, maka patutlah apabila si pengangkut barang itu seberapa boleh
berusaha untuk menghidarkan perampokan itu misalnya mengadakan pengaawal yang bersenjata
ap i. Kalau usaha ini sama sekali tidak dilakukan, maka kalau kemudian betul
terjadi perampokan atas barang-barang yang diangkut itu, si pengangkut dapatlah
dipertangunggjawabkan atas keadaan memaksa yang menyebabkan barang-barang itu
tidak sampai di tempat yang dimaksudkan.
5.
Akibat Keadaan Memaksa
a.
Akibat Keadaan Memaksa Absolut
– Debitur tidak perlu membayar ganti
rugi (Pasal 1244 KUH Perdata)
– Kreditur tidak berhak atas pemenuhan
prestasi, tetapi sekaligus demi hukum bebas dari kewajibannya untuk menyerahkan
kontra prestasi, kecuali untuk yang disebut dalam Pasal 1460 KUH Perdata.
b.
Akibat Keadaan Memaksa Relatif
Beban risiko tidak
berubah, terutama pada keadaan memaksa sementara.
6.
Contoh Kontrak Keadaan Memaksa
Berikut ini
disajikan contoh kontrak yang memuat klausul tentang keadaan memaksa:
a.
Surat Perjanjian Kerja (Kontrak
Kerja) Pekerjaan Konsultan Pendamping Kabupaten (KP-Kab) Proyek Pemberdayaan
Daerah Dalam Mengatasi Dampak Krisis Eknomi (PDM-DKE) Kabupaten Dompu Tahun
2000.
Dalam kontrak ini
telah ditentukan aturan yang berkaitan dengan keadaan memaksa. Ketentuan yang
mengatur tentang hal itu tertuang dalam Pasal 13 yang berbunyi:
a. Jika terjadi keadaan memaksa, pihak
kedua akan dibebaskan dari tanggung jawab atas kerugian dan keterlambatan
penyelesaian pekerjaan.
b. Yang dimaksud keadaan memaksa pada ayat
di atas adalah keadaan atau peristiwa yang terjadi di luar kekuasaan pihak
kedua untuk dapat mengatasinya sehingga dapat dipertimbnagkan
kemungkinan-kemungkinan adanya perubahan waktu pelaksanaan.
c. Yang dapat dianggap force majeure
adalah:
– Bencana alam (gempa bumi, tanah
longsor, dan banjir).
– Kebakaran.
– Perang, huru-hara, pemberontakan,
pemogokan, dan epidemi (wabah penyakit).
– Tindakan pemerintah di bidang moneter
yang langsung mengakibatkan kerugian luar biasa.
d. Untuk kelancaran pekerjaan, penentuan
keadaan memaksa dalam hal-hal dia atas dapat diselesaikan secara musyawarah
antara kedua belah pihak.
Keadaan memaksa tidak hanya
dikonstruksikan sebagai bencana alam dan peperangan, tetapi juga erat kaitannya
dengan kebijakan pemerintah di bidang moneter. Bidang moneter merupakan bidang
yang berkaitan dengan uang atau keuangan. Dengan adanya kebijakan ini, maka
pihak kedua dapat mengelak untuk melaksanakan prestasinya sebagaimana yang
telah disepakati antara pihak pertama dengan pihak kedua.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1. Wanprestasi
artinya tidak memenuhi kewajiban yang telah disepakati dalam perikatan.
2. Macam-macam
wanprestasi diantaranya:
a. Tidak
melaksanakan prestasi sama sekali.
b. Melaksanakan
tetapi tidak tepat waktu (terlambat).
c. Melaksanakan
tetapi tidak seperti yang diperjanjikan.
d. Debitur
melaksanakan yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan.
3. Mulai
berlakunya wanprestasi dapat terjadi ketika pihak yang melanggar janji tidak
mengindahkan somasi yang dilontarkan oleh pihak yang dirugikan.
4. Akibat
adanya wanprestasi, diantaranya:
a. Debitur
harus membayar ganti rugi (Pasal 1279 BW);
b. Beban
resiko bergeser ke arah kerugian debitur.
c. Jika
perikatan timbul dari suatu persetujuan timbal balik , maka pihak kreditur
dapat membebaskan diri dari kewajiban melakukan kontraprestasi melalui cara
Pasal 1302 BW atau melalui exceptio non adimpleti contractusmenangkis
tuntutan debitur untuk memenuhi perikatan.
5. Salah
satu contoh kasus wanprestasi adalah sebagaimana yang terjadi antara Cinta
Laura dengan pihak MD Entertaiment, karena pihak Cinta Laura tidak memenuhi kontrak
yang seharusnya syuting sebanyak 316 episode, namun Cinta Laura hanya melakukan
syuting sebanyak 310 episode. Walaupun akhirnya pengadilan memenangkan pihak
Cinta Laura.
Hal-hal tentang keadaan memaksa ini,
tercantum dalam ketentuan yang mengatur ganti rugi, karena menurut pembentuk
undang-undang, keadaan memaksa itu adalah suatu alasan pembenar untuk
membebaskan seseorang dari keadaan ganti rugi.
Adanya hal yang
tidak terduga dan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada seseorang, sedangkan
yang bersangkutan dengan segala daya berusaha secara patut memenuhi
kewajibannya.
Dengan demikian,
hanya debiturlah yang dapat mengemukakan adanya keadaan yang tidak
diduga-dugakan akan terjadi dan keadaan itu tidak dapat dipertanggung jawabkan
kepadanya.
DAFTAR
PUSTAKA
Sumber Buku:
Abdul Rosyid
Sulaiman, SH., MM. Hukum Bisnis Untuk Perusahaan: Teori dan Contoh Kasus. Prenada Media, Jakarta, 2005.
Abdulkadir
Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung,
2014.
Gr. Van der
Burght, Buku Tentang Perikatan, Mandar Maju, Bandung 1999.
Neng Yani
Nurhayani, Hukum Perdata, Pustaka Setia, Bandung, 2015.
Riduan
Syahrani, Seluk Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata, Alumni, Bandung,
2013, hl m. 218.
Subekti, Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata, Pradnya Paramita, Jakarta, 1999.
Subekti, Hukum
Perjanjian, Intermasa, Jakarta, 1991.
Sudargo Gautama, Hukum Perdata Internasional Indonesia, (Bandung: Alumni, 1998),
hlm. 9
Wirjono
Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Perjanjian, Sumur, Bandung, 1981.
Sumber Internet:
Rohmadi
Jawi, Ketentuan-Ketentuan Umum dalam Hukum Kontrak, melalui:https://rohmadijawi.wordpress.com/hukum-kontrak/.html,
diakses pada Minggu, 16 April 2017 Pukul 08:56 WIB.
Yogi Ikhwan. Wanprestasi
Sanksi Ganti Kerugian dan Keadaan,melalui:http://yogiikhwan.wordpress.com/2008/03/20/wanprestasi-sanksi-ganti-kerugian-dan-keadaan-memaksa/.html. . Diakses
pada Minggu 16 April 2017 Pukul 10:00 WIB.
[5] Rohmadi Jawi, Ketentuan-Ketentuan Umum dalam Hukum Kontrak,
melalui: https://rohmadijawi.wordpress.com/hukum-kontrak/.html,
diakses pada Minggu, 16 April 2017 Pukul 08:56 WIB.
[8] Yogi Ikhwan. Wanprestasi Sanksi Ganti Kerugian dan Keadaan,melalui:http://yogiikhwan.wordpress.com/2008/03/20/wanprestasi-sanksi-ganti-kerugian-dan-keadaan-memaksa/.html. diakses pada Minggu, 16 april 2017 pukul 10.00
WIB
[9] Abdul Rosyid Sulaiman, SH., MM. Hukum Bisnis Untuk Perusahaan: Teori dan
Contoh Kasus.(Jakarta: Prenada Media, 2005), hal. 44.
[10] Riduan Syahrani, Seluk Beluk
dan Asas-Asas Hukum Perdata, Alumni, Bandung, 2013, hlm. 218.
[13] Sudargo Gautama, Hukum
Perdata Internasional Indonesia, (Bandung: Alumni, 1998), hlm. 9
Komentar
Posting Komentar