PEMERIKSAAN DALAM PERSIDANGAN PERADILAN AGAMA


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
                Peradilan Agama adalah salah satu peradilan resmi diantara empat lingkungan peradilan negara atau Kekuasaan Kehakiman yang sah di Indonesia dan juga salah satu diantara tiga peradilan khusus di Indonesia, karena peradilan agama mengadili perkara-perkara tertentu atau mengenai golongan tertentu. Dalam hal ini, peradilan agama hanya berwenang dibidang perdata tertentu saja dan hanya untuk orang-orang yang beragama Islam di Indonesia.
Di negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UndangUndang Dasar 1945, keadilan, kebenaran, dan kepastian hukum dalam konteks sistem penyelenggaraan hukum merupakan hal pokok yang sangat penting dalam mewujudkan suasana kehidupan yang aman, tenteram, dan tertib seperti yang diamanatkan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Salah satu lembaga untuk menegakkan hukum adalah badan-badan peradilan sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-Undang No. 4 Tahun 2004, yang masing-masing mempunyai lingkup kewenangan mengadili perkara atau sengketa di bidang tertentu dan salah satunya adalah Peradilan Agama.[1]
            Peradilan Agama sebagai salah satu dari empat lingkungan peradilan di Indonesia keberadaannya diakui secara hukum sejak dikeluarkannya Undang- Undang Nomor 14 Tahun 1970. Sebagai lembaga peradilan negara, Peradilan Agama mempunyai kedudukan yang sederajat dengan lembaga peradilan lingkungan lainnya.[2] Sebagai penyelenggara kekuasaankehakiman, PengadilanAgama mempunyai tugas pokok untuk membantu pencari keadilan dalam bentuk menerima, memeriksa, mengadili dan menyelesaikan perkara yang diajukan kepadanya.
            Berdasarkan kewenangannya peradilan agama hanya dapat mengadili perkara seperti perkawinan, waris, hibah, wakaf, zakat, shodaqoh dan ekonomi syariah melalui penyelesaian didalam persidangan. Didalam persidangan sendiri terdapat beberapa tahapan-tahapan yang harus dilalui pihak-pihak yang berperkara hingga akhirnya Hakim memberikan sebuah putusan terhadap perkara tersebut.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa Saja Tahap-Tahap Dalam Suatu Pemeriksaan Persidangan?
2.      Bagaimana Penyelesaian Masalah Perubahan, Penambahan, Pengurangan, dan Pencabutan Gugatan?
3.      Bagaimana Perdamaian Dalam Perkara Perceraian Dilakukan?
4.      Bagaimana Upaya Perdamaian Yang Terjadi Pada Tingkat Pertama?
5.      Bagaimana Upaya Perdamaian Yang Terjadi Pada Tingkat Kasasi?

C.    Tujuan
1.      Untuk mengetahui dan memahami tentang tahapan suatu  pemeriksaan didalam persidangan.
2.      Untuk mengetahui dan memahami tentang penyelesaian masalah perubahan, penambahan, pengurangan, dan pencabutan gugatan.
3.      Untuk mengetahui dan memahami tentangperdamaian dalam perkara perceraian.
4.      Untuk mengetahui dan memahami tentang upaya perdamaian di tingkat pertama.
5.      Untuk mengetahui dan memahami tentang upaya perdamaian di tingkat kasasi.

D.    Manfaat
            Manfaat penulisan ini untuk memberikan pembelajaran serta pemahaman kepada para pembaca mengenai makna penting dari tahapan proses yang dilakukan didalam suatu persidangan hingga persidangan perkara tersebut selesai.





BAB II
PEMBAHASAN
A.    Tahap-tahap Pemeriksaan Perkara
                Sebelum menguraikan tahap-tahap pemeriksaan perkara satu persatu, penulis akan gambarkan terlebih dahulu secara gelobal tentang jalannya suatu perkara sejak ia didaftarkan di kepanitraan pengadilan sampai ia diputus. Setelah perkara didaftarkan di kepanitraan, Panitra melakukan penelitian terhadap kelengkapan berkas perkara. (Ingat, penelitian terhadap bentuk dan isi surat gugatan atau permohonan sudah dilakukan sebelum perkara didaftarkan dan ia merupakan prasyarat untuk bolehnya perkara didaftarkan).
Penelitian panitra tersebut disertai resume tentang kelengkapan berkas perkara, lalu berkas perkara resume tersebut disampaikan kepada ketua pengadilan dengan disertai, “Saran tindak” misalnya berbunyi “Syarat-syarat cukup dan siap untuk disidangkan”. Berdasarkan resume dan saran tidak tersebut, ketua pengadilan Agama mengeluarkan penetapan penunjukan majelis hakim (PMH) yang menujuk hakim ketua dan anggota majelis yang akan memeriksa perkara yang dimaksudkan, mungkin sekaligus menujuk panitra sidangnya.
Selanjutnya berkas perkara beserta penetapan PMH diserahkan kepada hakim ketua majelis yang ditunjuk. Berdasarkan PMH tersebut, ketua majelis mengeluarkan penetapan hari sidang (PHS) yang menetapkan kapan hari/tanggal/jam sidang pertama akan dimulai.Berdasarkan PHS tersebut, petugas panggil, juru sita, juru sita pengganti atau pejabat lain yang ditunjuk oleh ketua pengadilan agama akan memanggil pihak-pihak ke muka sidang menurut hari/tanggal/jam/tempat yang telah ditentukan di PHS.
Dalam sidang pertama, jika tergugat/termohon sudah dipanggil dengan patut tetapi ia tidak mau atau kuasa sahnya tidak datang menghadap pada sidang pertama, ia akan diputus verstek. Jika pengguggat/pemohon sudah dipanggil dengan patut tetapi ia tidak mau atau kuasa sahnya tidak datang menghadap pada sidang pertama, maka perkara yang diajukan tersebut digugurkan.[3]
Pada sidang pertama ini penggugat akan membacakan gugatanya, sehingga mulailah terjadi jawab-menjawab (replik-duplik) antar pihak-pihak. Kita ingat bahwa pada hari pertama ini ada beberapa hal penting yang mungkin terjadi dan berpengaruh terhadap jalanya perkara (seperti eksepsi, rekonvensi, intervensidan sebagainya). Juga perlu diingat bahwasebelum tergugat menjawab, sesudah penggugat membacakan gugatanya hakim wajib menganjurkan damai.[4]
Setelah replik-duplik mulailah pemeriksaan bukti-bukti (pembuktian). Selanjutnya penyusunan konkulsi (kesimpulan) masing-masing oleh pihak (kalau para pihak merasa perlu) dan disampaikanlah konklusi itu kepada majelis. Setelah itu majelis melakukan permusyawaratan majelis hakim dan terakhir akan diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.
1.      Tahap Sidang Pertama Sampai Anjuran Damai
Tahap ini terdiri dari :
1)      Hakim membuka sidang
2)      Hakim menanya identitas pihak-pihak.
3)      Pembacaan surat gugatan atau permohonan
4)      Anjuran damai.
Hal-hal yang perlu penekanan di sini ialah :
a.       Sekalipun menurut HIR anjuran damai di sini didahulukan dari pembaca surat gugatan atau permohonan, sebaiknya kita mendahulukan membacakan surat gugatan/ permohonan dari pada anjuran damai.
b.      Anjuran damai sekalipun dilakukan kapan saja di dalam sidang tetap anjuran damai ditahap ini adalah wajib atau mutlak perlu dicantumkan dalam berita acara sidang, terlepas dari pada tercapai perdamaian atau tidaknya.
c.       Pada sidang pertama ini, ada hal-hal penting yang mungkin terjadi dan sangat berpengaruh terhadap proses perkara, seperti eksepsi, rekonvensi, intervensi, dan sebagainya, bahkan juga tergugat atau termohon tidak hadir.
2.      Tahap Jawab-Berjawab (Replik-Duplik)
            Setelah pembacaan surat gugatan/permohonan ada anjuran damai tetapi tidak berhasil, ketua majelis akan menanyakan kepada tergugat/termohon, apakah ia akan menjawab lisan atau tulisan. Setelah itu masuklah proses jawab-berjawab, baik antara pihak dengan pihak atau antara hakim dengan pihak. Hal yang perlu diingat betul disini ialah sebagai berikut :
a.       Tergugat/ termohon selalu mempunyai hak bicara terakhir.
b.      Pertanyaan hakim kepada pihak hendaklah terarah, hanya menanyakan yang relevan dengan hukum. Begitu pula replik-duplik dari pihak.
c.       Semua jawaban atau pertanyaan dari pihak ataupun dari hakim, harus melalui dan izin dari ketua majelis.
d.      Pertanyaan dari hakim kepada pihak, yang bersifat umum arahnya sidang, selalu oleh hakim ketua majelis.[5]
3.      Tahap Pembuktian
            Kalau tergugat/termohon tidak ada lagi yang akan dikemukakannya pada tahap 2 tersebut diatas  (ingat tergugat mempunyai hak berbicara terakhir) dan hakimpun tidak ada lagi yang akan ditanyakan maka tahap ini berakhir dan mulailah memasuki tahap pembuktian.
a.       Setiap pihak mengajukan bukti, hakim perlu menanyakan kepada pihak lawannya, apakah ia keberatan atau tidak. Jika alat bukti saksi yang dikemukakan, hakim juga harus memberikan kesempatan kepada lawannya kalau ada sesuatu yang ingin ditanyakan kepada pihak lawan tersebut pada saksi.
b.      Semua alat bukti yang disodorkan pada pihak, harus disampaikan kepada ketua majlis, lalu ketua majelis memperlihatkan kepada hakim dan pihak lawan dari yang mengajukan bukti.
c.       Keaktifkan mencari dan menghadirkan bukti di muka sidang adalah tugas pihak itu sendiri dan hakim hanya membantu kalua diminta tolon oleh pihak, seperti memanggilkan saksi.
4.      Tahap Penyusunan Konklusi
            Setelah tahap pembuktian berakhir, sebelum musyawarah majelis hakim, pihak-pihak boleh mengajukan konkulsi (Kesimpulan-kesimpulan dari sidang-sidang menurut pihak yang bersangkutan). Karena Konklusi ini sifatnya untuk membantu majelis, pada umumnya tidak diperlukan bagi perkara perkara yang simple, sehingga hakim boleh meniadakanya.[6]
5.      Musyawarah Majelis
            Menurut undang-undang sebagaimana sudah dijelaskan musyawarah majelis hakim dilakukan secara rahasia, tertutup untuk umum. Seluruh pihak maupun para hadirin disuruh meninggalkan ruang sidang. Panitra sidang sendiri,kehadirannya dalam musyawarah majelis hakim adalah atas izin majelis.Dikatakan rahasia artinya, baik dikala musyawarah maupun sesudahnya, kapan dan dimana saja, hasil musyawarah maejlis tersebut tidak boleh dibocorkan sampai ia diucapkan dalam keputusan yang terbuka untuk umum. Hasil (keputusan) majelis hakim ditanda tangani oleh semua hakim tanpa panitra sidang dan ini merupakan lampiran dari berita acara sidang dan inilah nanti yang akan dituangkan dalam dictum keputusan.
6.      Pengucapan Keputusan
            Pengucapan keputusan dilakukan selalu dalam sidang terbuka untuk umum sekalipun mungkin dahulunya, karena alasan-alasan tertentu sidang tertutup dan pengucapan putusan hanya boleh dilakukan minimal setelah keputusan selsai terkonsep rapih yang telah ditanda tangani hakim dan panitra sidang. Selesai keputusan diucapkan, hakim ketua majelis akan menanya kepada pihak, baik penggugat atau tergugat, apakah mereka menerima putusan tersebut atau tidak. Bagi pihak yang hadir menerima putusan tersebut baginya sudah tertutup upaya hukum banding, sebaliknya jika pihak tidak menerima atau masih pikir-pikir dulu, baginya masih terbuka.[7]
B.     Masalah Perubahan Penambahan, Pengurangan dan Pencabutan Gugatan
a.       Perubahan Gugatan
            Perubahan gugatan yang dimaksud disini adalah perubahan tentang “Petita” nya atau “Tuntutan” nya. Misalnya semula hanya menuntut dua hal, kini akan diubah tiga hal. Juga bisa misalnya semula menuntut tentang nafkah istri, kini diubah menjadi cerai sekaligusnafkah istri dan nafkah idah sekaligus dan sebagainya.
Perubahan gugatan termasuk penambahan atau pengurangan tidak diatur dalam HIR atau Rbg. Oleh karena itu menurut Prof. Subekti, S.H cukuplah kita berpendapat bahwa perubahan, termasuk pengurangan dan penambahan gugatan diperkenankan, asal perubahan tersebut tidak merugikan kepentingan dua belah pihak. Dalam hal ini kata beliau, kepada pihak tergugat diberikan seluas-luasnya untuk membela dirinya dengan sebaik-baiknya.
Kalau perubahan gugatan terjadi setelah tergugat menjawab maka harus dengan persetujuan tergugat sebagaimana dalam hal pencabutan gugatan, ditambah harus dengan persetujuan majlis hakim yang menyidangkan perkara yang bersangkutan.
1.      Perubahan atau penambahan gugatan, sepanjang bukan mengemukakan hal/ tuntutan baru yang sama sekali lain dari pada yang semula, pada perinsipnya diperkenankan,dengan syarat persetujuan majlis hakim. Jika tergugat sudah menjawab juga ditambah persetujuan tergugat.
2.      Perubahan atau penambahan gugatan yang sama sekali lain dari yang semula yang merupakan hal tuntutan baru sama sekali tidak diperkenankan.
3.      Majlis hakim menentukan boleh atau tidaknya melihat kasus demi kasus.
            Adapun perubahan yang bersifat mengurangi misalnya semula menuntut 3 hal lalu dikurangi 2 hal saja yang deemikian itu kapan saja diperbolehkan, sebab hal itu akan mengurang beban tergugat dan meringanan tugas hakim. Hanya saja apabila diajukan setelah tergugat menjawab, masih perlu dengan persetujuan tergugat, walaupun tidak memerlukan persetujuan hakim.[8]
b.      Pencabutan Gugatan
            Pencabutan gugatan sebenarnya tidak hanya mungkin terjadi pada sidang pertama tapi mungkin saja terjadi kapan saja bahkan mungkin berlanjut sampai pada pencabutan permohonan banding atau permohonan kasasi. Yang pokok kita bicarakan ialah bagaimana caranya. Pencabutan gugatan, baik penggugat sendirian atau bersama boleh saja dilakukan, asalkan dengan cara tertentu. Kalua penggugat terdiri dari beberapa orang, ada yang mencabut dan ada yang tidak maka pencabutan hanya berlaku bagi yang mencabut saja, sedangkan perkara tetap jalan.
Kalau pencabutan terjadi setelah tergugat mengajukan jawaban maka pencabutan harus dengan persetujuan tergugat. Ini logis, sebab tergugat sudah mengeluarkan tenaga, waktu, mungkin biaya. Sedangkan seandainya perkara itu diteruskan kemungkinan tergugat akan menang dan kalua sudah ada keputusan pengadilan berarti selama lamanya untuk perkara itu tidak mungkin lagi timbul perkara (sebab ada larangan mengadili perkara yang sama dua kali, atau disebut asas ne bis in idem).
Walaupun pada asasnya semua perkara dapat dicabut dengan cara tertentu apabila pencabutan itu terjadi karena kesepakatan (perdamaian) antara penggugat dan tergugat dengan akta pendirian yang d=sudah diwujudkan di muka hakim maka perkara itu tidak boleh diajukan lagi selama-lamanya, sebab perdamaian dianggap sama dengan keputusan, sedangkan terhadap keputusan ada asas ne bis in idem. Lagi pula, segala persetujuan yang dibuat oleh kedua belah pihak berlaku sebagai undang-undang bagi pihak-pihak yang membuatnya dan tidak bisa dicabut kecuali atas persetujuan pihak lainya.
Perlu dikemukakan sekaligus tentang pencabutan perkara banding atau kasasi, yang akibatnya sama sekali lain dengan pencabutan perkara di muka pengadilan tingkat pertama. Pencabutan perkara banding boleh dilakukan oleh pembanding sepanjang perkara belum diputus, dalam hal ini sepanjang perkara belum diputus oleh pengadilan tinggi agama. Namun dengan dicabutnya perkara banding berarti keputusan peradilan tingkat pertamalah yang akan berlaku terlepas, dari pada pihak akan melaksanakanya atau tidak.Pencabutan perkara tingkat kasasi juga boleh dilakukan oleh pemohon kasasi sepanjang belum diputus Mahkamah Agung dan dengan sendirinya secara hukum akan berlaku keputusan mengadili tingkat banding. Terlepas apakah keputusan pada Peradilan Tinggi Agama tersebut akan dilaksanakan oleh pihak-pihak atau tidak.[9]

C.    Perdamaian dalam perkara perceraian
            Tanpa mengurangi arti perdamaian dalam segala bidang persengketaan, makna perdamaian dalam sengketa perceraianmempunyai nilai keluhuran tersendiri. Dengan dicapainya perdamaian antara suami istri dalam sengketa perceraian, bukan keutuhan rumah tangga saja yang dapat diselamatkan tetapi juga kelanjutan pemeliharaan anak dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya, agar fungsi mendamaikan dalam perkara perceraian ini dapat dilakukan oleh hakim secara efektif dan optimal, maka sedapat mungkin hakim menemukan hal-hal yang melatarbelakangi dari persengketaan yang terjadi.
Dalam hal sengketa perceraian karena alasan percekcokan dan pertengkaran secara terus menerus, peranan hakim sangat diharapkan untuk mencari faktor-faktor penyebab dari perselisihan dan pertengkaran itu. Apabila hal ini sudah diketahui oleh para hakim, maka dengan mudah para hakim tersebut mengajak dan mengarahkan para pihak yang berselisih itu untuk berdamai dan dan rukun kembali seperti sediakala. Sehubungan dengan hal ini, para hakim harus terpanggil hati nuraninya secara optimal untuk mengusahakan perdamaian, tidak hanya terjebak pada usaha mencari fakta kualitas perselisihan itu sendiri sedangkan ia tidak mengetahui faktor apa yang melatarbelakangi pertengkaran itu. Apalagi kalau para hakim dalam mengusahakan perdamaian itu dilakukan hanya sepintas lalu saja yang hanya memakan waktu beberapa menit, sudah barang tentu upaya perdamaian yang demikian itu tidak akan mendatangkan hasil yang bermanfaat kepada kedua belah pihak yang bersengketa.
Khusus dalam sengketa perkara perceraian, asas mendamaikan para pihak adalah bersifat imperatif. Usaha mendamaikan para pihak adalah beban yang diwajibkan oleh hukum kepada para hakim dalam setiap memeriksa, mengadili, dan memutuskan perkara perceraian. Oleh karena itu, upaya mendamaikan dalam perkara perceraian atas dasar perselisihan dan pertengkaran secara terus-menerus haruslah dilakukan oleh para hakim secara optimal. Sedangkan dalam hal perkara perceraian karena alasan zina, cacat badan atau sakit jiwa yang berakibat tidak dapat melaksanakan kewajibannya, sifat usaha perdamaian yang dilakukan oleh hakim tetap harus dilaksanakan karena hal itu merupakan suatu kewajiban tetapi tidak dituntut secara optimal sebagaimana dalam hal perceraian karena alasan percekcokan dan pertengkaran yang terus-menerus. Apa yang dilakukan itu hanya merupakan kewajiaban moral saja, bukan kewajiban hukum sebagaimana disebut dalam pasal 82 ayat (4) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 jo. Pasal 31 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, di mana dalam pasal-pasal tersebut hanya dicantumkan “dapat” yaitu usaha mendamaikan dapat dilakukan pada setiap sidang pemeriksaan.[10]
            Bertitik tolak dari hal tersebut diatas, maka setiap perkara perceraian atas alasan perselisihan dan percekcokan secara terus-menerus yang diperiksa oleh hakim dan hakim tersebut belum mengadakan usaha perdamaian secara optimal, maka putusan yang dijatuhkan oleh hakim pada perkara tersebut adalah batal demi hukum dan ataudapat dibatalkan. Hal ini dikarenakan hakim belum memenuhi tata tertib beracara dan tidak memenuhi ketentuan aturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam upaya hakim melaksanakan upaya perdamaian secara optimal, maka hakim dapat meminta bantuan kepada para pihak lain untuk lembaga lain yang dianggap perlu. Hal ini sesuai dengan maksud Pasal 31 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 besetra penjelasannya, dimana dikemukakan bahwa selama perkara belum diputus usaha perdamaian para pihak yang berperkara dapat dilakukan pada setiap sidang pemeriksaan.
            Pada dasarnya objek sengketa menjadi terhenti karena terjadinya perdamaian adalah persengketaan yang berkaitan dengan hukum kebendaan (zaken recht). Dengan demikian akta perdamaian yang dibuat oleh para pihak dalam persidangan mempunyai ial apabila salah satu pihak tidak berkenan melaksanakan isi akta perdamaian yang telah mereka buat.
            Berlainan dengan hal sengketa yang berkaitan dengan status seseorang seperti, dalam masalah perceraian, tindakan hakim dalam mendamaikan para pihak yang bersengketa adalah untuk menghentikan persengketaannya dan mengupayakan agar perceraian tidak terjadi. Apabila berhasil dilaksanakan oleh hakim yang menyidangkan perkara tersebut, maka gugatan perceraian yang diajukan ke pengadilan oleh para pihak itu dengan sendirinya harus dicabut. Terdapat ketentuan ini tidak dibuat akta perdamaian karena tidakl;ah mungkin dibuat suatu ketentuan yang melarang seeorang melakukan perbuatan tertentu, misalnya melarang salah satu pihak meninggalkan tempat tinggl bersama, melarang salah satu pihak melakukan penganiayaan dan sebagainya. Apabila perjanjian yang telah disepakati oleh para pihak dilanggar oleh salah satu pihak, maka akta perdamaian itu tidak dapat dieksekusi, karena akibat dari perbuatan itu tidak mengakibatkan putusnya perkawinan maka salah satu pihak mengajukan gugatan baru.
Menurut Pasal 82 ayat (4) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 bahwa selama perkara belum diputus, usaha perdamaian dapat dilakukan pada setiap sidang pemeriksaan. Dengan memerhatikan ketentuan ini, maka secara mutlak usaha perdamaian tidak dapat dilakukan pada tingkat banding dan kasasi. Jadi, akta perdamaian itu hanya dibuat dalam pemeriksaan di dalam sidang tingkat pertama saja dan ini pun dalam hal perkara yang berkenaan dengan hukum kebendaan (zaken recht), tidak dalam hukum yang berkenaan dengan hukum perceraian (personal recht).[11]
            Apabila terjadi perdamaian dalam perkara perceraian maka perkara perceraian itu dicabut. Terhadap hal ini ada dua pendapat dalam praktik Peradilan Agama, yaitu: (1) pencabutan tersebut cukup dicatat dalam berita acara sidang dan perkara tersebut dicoret dari daftar perkara yang ada di Peradilan Agama, (2) pencabutan acara tersebut tidak cukup dengan dicatat dalam berita acara sidang tetapi harus dibuat produk berupa penetapan dan putusan. Perlunya dibuat produk pengadilan yang berupa penetapan atau putusan itu agar dapat diketahui adanya nebis in idemdan ada kaitannya pula dengankepastian besarnya biaya yang harus dibayar oleh pemohon/Penggugat dalam perkara yang dicabut itu.
            Meskipun ada sementara ahli hukum yang berpendapat bahwa tidak ada nebis in idem dalam hukum perdata, yang ada hanya dalam bidang hukum pidana, tetapi dalam hal yang berkaitan dengan produk pengadilan berupa putusan/penetapan adalah merupakan suatu hal yang sangat penting. Produk pengadilan dalam bidang hukum perdata yang berupa putusan atau penetapan itu dapat dipergunakan sebagai alat bukti bahwa perkara yang terjadi sudah pernah diputus di Pengadilan Agama. Khusus yang berkenaan dengan putusan atau penetapan yang dibuat oleh Peradilan Agama dengan adanya pencabutan perkara gugatan cerai mengandung konsekuensi apabila salah satu pihak mengajuka gugatan cerai lagi dengan alasan yang sama, maka putusan atau penetapan itu dapat dijadikan dasar tidak diterimanya perkara tersebut untuk disidangkan di Pengadilan Agama. Hal ini sesuai dengan maksud Pasal 32 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975.
            Hal yang berkaitan dengan biaya perkara yang harus dibayar oleh pemohon atau Penggugat adalah sebagaimana yang telah ditentukan dalam Pasal 89 ayat (1) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang berbunyi biaya perkara dalam bidang perkawinan dibebankan kepada Penggugat atau Pemohon. Jumlah biaya perkara tersebut harus dibuat dalam amar putusan atau penetapan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 91 ayat (1) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Selain dari itu, segala biaya yang dipergunakan dalam mengadili dan memutuskan perkara tersebut harus dirinci secara jelas pada kaki putusan atau penetapan sebagai pertanggungjawaban Pengadilan Agama kepada pihak-pihak yang berperkara. Berdasarkan putusan atau penetapan itu pula kasir mengeluarkan biaya perkara yang telah dipergunakan  dalam menyidangkan perkara tersebut sampai terwujudnya perdamaian.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pendapat yang kedua adalah lebih rasional. Yakni Pengadilan Agama dalam hal terjadinya perdamaian di dalam pemeriksaan perkara perceraian haruslah dibuat produk putusan atau penetapan, tidak cukup hanya dicatat dalam berita acara sidang dan dikeluarkan dari register perkara. Pendapat yang mengharuskan perlunya dibuat produk putusan atau penetapan adalah sejalan dengan yurisprudensi Mahkamah Agung RI Nomor 216 K/Sip/1953 tanggal 21 Agustus 1953 yang menyatakan bahwa gugatan perceraian harus ditolak apabila antara suami istri telah terjadi perdamaian dan apabila ditolak harus dibuat produk hukum berupa putusan atau penetapan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.[12]
D.    Perdamaian yang terjadi pada tingkat pertama
            Menurut HIR, anjuran damai dari hakim sudah dilakukan (dalam sidang pertama) sebelum pembacaan surat gugatan. Hal ini seperti kurang rasional, sebab bagaimana hakim tahu dan bisa menganjurkan damai jika hakim sendiri belum tahu duduk perkaranya. Begitu pula, sebelum penggugat membacakan gugatannya, apakah tidak mungkin penggugat mengubah gugatannya.Anjuran damai sebenarnya dapat dilakukan kapan saja sepanjang perkara belum diputus, tetapi anjuran damai pada permulaan sidang pertama adalah bersifat “mutlak/wajib” dilakukan dan dicantumkan dalam Berita Acara Sidang, karena ada keharusan yang menyatakan demikian, walaupun mungkin menurut logika, kecil sekali kemungkinannya. Pernah juga terjadi perdamaian tetapi kebanyakan bukan terjadi dalam sidang pertama.
Kalau terjadi perdamaian maka dibuatkanlah akta perdamaian di muka Pengadilan dan kekuatannya sama dengan putusan. Terhadap perkara yang sudah terjadi perdamaian tidak boleh lagi diajukan perkara, kecuali tentang hal-hal baru di luar itu. Akta perdamaian tidak berlaku banding sebab akta perdamaian bukan keputusan Pengadilan.Bila tidak terjadi perdamaian, hal itu harus dicantumkan dalam Berita Acara Sidang, sidang akan dilanjutkan.[13]

E.     Perdamaian pada tingkat banding
            Sebagaimana yang telah dikemukakan di atas, hukum acara menentukan bahwa proses pemeriksaan di dalam persidangan diperlukan tahap-tahap pemeriksaan sampai perkara tersebut dijatuhkan putusan atau penetapan oleh hakim yang menyidangkannya. Adapun tahap awal yang harus dilaksanakan oleh hakim adalah mengadakan perdamaian antara pihak-pihak yang berberkara sesuai dengan ketentuan Pasal 130 HIR dan Pasal 154 R.Bg. dengan terjadinya perdamaian antara pihak-pihak yang berperkara maka berakhirlah persengketaan yang terjadi. Terhadap perkara yang menyangkut hukum perbendaan, apabila terjadi perdamaian maka dibuat putusan perdamaian sedangkan dalam hal perkara perceraian apabila terjadi perdamaian maka perkara dicabut, atas pencabutan itu dibuat putusan atau penetapan sebagai produk pegadilan.
            Dalam hal pencabutan perkara apabila terjadi perdamaian dalam bidang perkara perceraian akan menimbulkan masalah apabila perkara sudah diputus oleh Pengadilan Tinggi Agama karena salah satu pihak banding. Dalam proses banding mereka rukun kembali dalam satu rumah tangga, mereka tidak menghendaki terjadinya perceraiandi antara mereka.  Dalam kasus ini kalau penggugat atau tergugat mencabut perkara bandingnya berarti putusan Pengadilan Agama akan memperoleh titel mempunyai kekuatan hukum tetap dan ini berarti tujuan dan maksud mulia dari pihak-pihak yang berperkara untuk rukun kembali dalam satu rumah tangga tanpa terjadinya perceraian akan menjadi sia-sia belaka, kecuali mereka rujuk/kawin lagi. Cara seperti ini umumnya paling tidak disenangi oleh pihak-pihak yang berperkara, mereka menghendaki berakhirnya perselisihan yang sedang terjadi dengan perdamaian, akan berakhirnya pula perselisihan mereka, dan tidak terjadi perceraian.
            Menghadapi masalah tersebut diatas, Pengadilan Agama menyarankan kepada pihak-pihak yang berperkara agar perkara banding yang telah dikirim ke Pengadilan Tinggi Agama tidak perlu dicabut dan tetap disidangkan dalam tingkat banding meskipun telah terjadi perdamaian. Hanya saja Pengadilan Agama yang menyidangkan perkara perceraian itu segera memberitahukan kepada Pengadilan Tinggi Agama bahwa antara para pihak yang berperkara sedang diperiksa dalam tingkat banding sudah terjadi perdamaian dan sudah rukun kembali seperti sediakala. Surat pemberitahuan Pengadilan Agama yang sudah dikirim ke Pengadilan Tinggi Agama kalau perlu dilampirkan surat pernyataan dari pihak-pihak yang berperkara bahwa mereka sudah rukun kembali. Atas dasar ini Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Agama yang dimintakan banding itu dengan mengadili tersendiri menjatuhkan putusan tidak menerima permohonan banding para pihak tersebut. Dengan pembatalan itu putusan Pengadilan Agama yang belum mempunyai kekuatan hukum tetap itu telah diangkat dan dianggap tidak ada, para pihak dapat kembali rukun dalam rumah tangga seperti sediakala tanpa harus bercerai lebih dahulu atau dengan cara mengadakan pernikahan kembali.
Cara seperti ini telah banyak dipraktikkan oleh Pengadilan Tinggi Agama sesuai dengan petunjuk tehnis yustisial Mahkamah Agung RI dalam Rapat Kerja Nasional di Bandung tahun 1994 yang lalu. Sebelumnya telah pula dilaksanakan oleh Pengadilan Tinggi Agama Padang dengan putusannya Nomor 37 Tahun 1992 tanggal 15 Mei 1992.[14]




BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Sebelum memasuki tahap persidangan gugatan yang diajukan harus memenuhi syarat-syarat terlebih dahulu apabila gugatan diterima barulah pengadilan agama mengatur sedemikian rupa mengenai adanya sebuah persidangan yang akan dilakukan setelahnya. Tahap-tahap dalam pemeriksaan perkara meliputi pembacaan gugatan, jawaban tergugat, replik penggugat, duplik tergugat, pembuktian, kesimpulan dan putusan hakim. Dalam perubahan gugatan tidak boleh lain dari gugatan pokok yang telah menjadi materi dari sebab perkara antara kedua belah pihak. Dan gugatan dapat dicabut secara sepihak apabila perkara belum diperiksa. Dalam perdamaian itu hakim mengupayakan kedua belah pihak, yaitu antara penggugat dan tergugat terlebih dahulu untuk berdamai agar dalam suatu perkara tidak terjadi perselisihan, dan apabila setuju harus dibuatkan perjanjian secara tertulis yang akan dibuatkan oleh hakim. 












DAFTAR PUSTAKA
Sumadi Matrais, Kemandirian Peradilan Agama Dalam Perspektif Undang-Undang Peradilan Agama, Jurnal Hukum No.1 Vol. 15, Hakim Pengadilan Agama Yogyakarta, Januari 2008.
Domiri, Analisis Tentang Sistem Peradilan Agama Di Indonesia, Jurnal Hukum & Pembangunan 47 No. 3, Pengadilan Tinggi Agama Palembang, 20 Mei 2016.
Roihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, (Jakarta: PT. Raja Grovindo Persada, 2003).
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, (Jakarta: Prenada Media Group, 2005).
Dr. H. Zulkarnaen, S.H., M.H., dan Dewi Mayaningsih S.H., M.H., Hukum Acara Peradilan Agama Di Indonesia, (Bandung : CV Pustaka Setia, 2017


[1]              Sumadi Matrais, Kemandirian Peradilan Agama Dalam Perspektif Undang-Undang Peradilan Agama, Jurnal Hukum No.1 Vol. 15, Hakim Pengadilan Agama Yogyakarta, Januari 2008, h. 122.
[2]  Domiri, Analisis Tentang Sistem Peradilan Agama Di Indonesia, Jurnal Hukum & Pembangunan 47 No. 3, Pengadilan Tinggi Agama Palembang, 20 Mei 2016, h. 329.
[3]              Dr. H. Zulkarnaen, S.H., M.H., dan Dewi Mayaningsih S.H., M.H.,Hukum Acara Peradilan Agama Di Indonesia, (Bandung : CV Pustaka Setia, 2017), h. 237.
[4]H. Roihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, (Jakarta : Rajawali Pers, 2016), h. 133.
[5]              H. Roihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama,(Jakarta : Rajawali Pers, 2016).h. 134-136.
[6]              H. Roihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, (Jakarta : Rajawali Pers, 2016), h. 137.
[7]H. Roihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, (Jakarta : Rajawali Pers, 2016), h. 139.

[8]              H. Roihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama,(Jakarta : Rajawali Pers, 2016),h.120

[9]              H. Roihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, (Jakarta : Rajawali Pers, 2016), h. 117.
[10]             Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, (Jakarta: Prenada Media Group, 2005), hlm. 164-165.
[11]             Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, (Jakarta: Prenada Media Group, 2005), hlm. 165-166.
[12]             Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, (Jakarta: Prenada Media Group, 2005), hlm. 166-167.
[13]             Roihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, (Jakarta: PT. Raja Grovindo Persada, 2003), hlm. 97-98.
[14] Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, (Jakarta: Prenada Media Group, 2005), hlm. 167-168.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resume Buku Prof. Peter Mahmud Marzuki "PENELITIAN HUKUM"

ALIRAN SEJARAH HUKUM (Legal Historism)

Pinjam Pakai dan Pinjam Meminjam