Pinjam Pakai dan Pinjam Meminjam
A.
Pengertian
Pinjam Meminjam
Pengertian Pinjam-meminjam (pasal 1754
KUHPer) adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu memberikan kepada
pihak yang lain suatu jumlah tertentu barang-barang yang menghabis karena
pemakaian, dengan syarat bahwa pihak yang terakhir ini akan mengembalikan
sejumlah yang sama dari jenis dan mutu yang sama pula.[1]
Asser Kleyn mengatakan definisi ini
tidak tepat. Kalimat “barang yang menghabis karena pemakaian (verbruitbare
zaken)” seharusnya disebut “barang yang dapat diganti (vervangbare zaken)”.
Dengan demikian ketentuan itu berbunyi “perjanjian pinjam-meminjam mengganti
adalah persetujuan dengan mana pihak kesatu “memberikan” kepada pihak lain
suatu jumlah tertentu barang-barang yang dapat diganti dan seterusnya”. Bahwa
perjanjian peminjaman bersifat riil, tersimpul dari kalimat “pihak kesatu
menyerahkan uang itu kepada pihak lain” dan bukan “mengikatkan diri” untuk
menyerahkan pinjaman.
Perjanjian pinjam-meminjam adalah suatu perjanjian riil,
perjanjian baru terjadi setelah ada penyerahan, selama benda (uang) yang
dipinjamkan belum diserahkan maka Bab XIII KUH Perdata belum dapat diterapkan. Apabila
dua pihak telah sepakat mengenai semua unsur-unsur dalam perjanjian pinjam
mengganti, maka tidak serta merta bahwa perjanjian tentang pinjam mengganti itu
telah terjadi, yang terjadi baru hanya perjanjian untuk mengadakan perjanjian
pinjam mengganti. Untuk tidak menimbulkan kekeliruan terhadap perjanjian
pinjam-meminjam ini, maka harus dibedakan dari perjanjian pinjam pakai.
Beberapa kriteria yang membedakan antara lain:
1. Pada persetujuan pinjam-meminjam,
obyek persetujuan boleh berupa barang yang menghabis dalam pemakaian yang dapat
diganti dengan barang yang sejenis. Sedang pada perjanjian pinjam pakai obyek
persetujuan tidak boleh berupa barang yang habis terpakai. Maka konsekuensinya
pada persetujuan pinjam-meminjam, pengembalian barang boleh dilakukan dengan
barang yang sejenis, keadaan dan jumlahnya, sedang pada pinjam pakai
pengembalian barang kepada pihak yang meminjamkan harusdalam keadaan innatura.
2. Pada perjanjian pinjam-meminjam,
resiko kerugian dan musnahnya barang yang dipinjam,sepenuhnya menjadi beban
pihak peminjam. Sedang pada pinjam pakai, resiko musnahnya barang sepenuhnya
berada pada pihak yang meminjamkan.
3. Pada pinjam-meminjam, si peminjam
diwajibkan untuk membayar kontra prestasi atas pemakaian barang/uang yang
dipinjam. Sedang pada pinjam pakai, pemakaian atas barang adalah secara
cuma-cuma tanpa kontra prestasi.
4. Pada pinjam-meminjam, barang yang
dipinjam langsung menjadi milik si peminjam, terhitung sejak saat penyerahan.
Sedang pada pinjam pakai, barang yang dipinjam hanya untuk dipakai saja, sedang
hak milik tetap dipegang oleh pihak yang meminjam.
Walaupun di dalam
definisi yang diberikan Pasal 1754 KUH Perdata tidak disebutkan tentang uang,
tetapi melihat kriteria perbedaan di atas, maka uang sebagai obyek perjanjian
adalah termasuk dalam perjanjian pinjam-meminjam atau perjanjian
hutang-pihutang dan bukan perjanjian pinjam pakai. Subekti mengatakan “dapat
juga terjadi bahwa barang yang menghabis karena pemakaian, diberikan dalam
pinjam pakai, yaitu jika dikandung maksud bahwa ia hanya akan dipakai sebagai
pajangan atau pameran”.
Pada prinsipnya obyek persetujuan ini adalah segala barang
pada umumnya. Tetapi bila ditinjau dari pengertian yang disebutkan Pasal 1754
KUH Perdata di atas, maka obyek utama dari persetujuan ini adalah barang yang
dapat habis dalam pemakaian ataupun barang yang dapat diganti dengan keadaandan
jenis yang sama maupun berupa uang. Barang-barang yang dipinjamkan, haruslah
dalam jumlah tertentu. Dalam hal peminjaman uang, maka hutang
yang
terjadi karena peminjaman hanyalah terdiri atas jumlah uang yang disebutkan
dalam persetujuan (Pasal 1756 KUH Perdata).
Pinjam pakai adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang
satu memberikan sesuatu barang kepada pihak yang lainnya untuk di pakai dengan
cuma-cuma, dengan syarat bahwa yang menerima barang ini, setelah memakainya
atau setelah lewatnya waktu tertentu, akan mengembalikannya.
Pada prinsipnya,segala hak dan kewajiban yang muncul dari
perjanjian pinjam pakai dapat beralih kepada ahli warisnya jika salah satu
pihak atau keduanya meninggal dunia. Pengecualiannya adalah jika perjanjian
pinjam pakai itu dilakukan dengan mengingat bahwa barang tersebut
dipinjamkansecara pribadi dan melekat hanya pada peminjam, maka ahli waris
daripeminjam tidak dapat menerima warisan brupa hak pinjam pakai tersebut.
Misalnya, mobil dinas seorang penjabat adalah hak pinjam
pakai dari pejabat yang bersangkutan untuk keperluan dinas sehari-harinya. Jika
pejabat tersebut meninggal dunia maka hak pinjam pakai atas mobil itu tidak
dapat beralih ke ahli warisnya,melainkan harus dikembalikan. Perjanjian pinjam
pakai juga merupakan perjanjian sepihak yaitu orang yang meminjamkan hanya
berkewajiban memberi prestasi saja kepada peminjam berupa hak pinjam pakainya,
sedangkan si peminjam tidak berkewajiban memberikan kontraprestasi apapun
kepada orang yang meminjamkan. Hal ini seperti telah diuraikan diatas bahwa
perjanjian pinjam pakai bersifat cuma-cuma. Dalam perjanjian pinjam pakai,
peminjam berkewajiban untuk menjaga dan dan memelihara obyek pinjam pakai itu
sebaik mungkin.
Undang-undang mewajibkan bahwa peminjam wajib menyimpan dan memelihara
barang pinjaman itu sebagai seorang bapak rumah yang baik. Peminjam tidak dapat
menggunakan obyek pinjam pakai itu untuk keperluan lain selain peruntukannya
sebagaimana yang ditetapkan dalam perjanjian. Jika si peminjam telah
menggunakan obyek pinjam pakai,maka biaya-biaya tersebut merupakan tanggung
jawab dari si peminjam sendiri.
Dalam suatu perjanjian juga berlaku ketentuan bahwa orang
yang meminjamkan tidak dapat meminta kembali barang pinjaman tersebut selain setelah
lewatnya waktu yang ditentukan dalam perjanjian. Kewajiban lainnya dari orang
yang meminjamkan adalah, jika barang tersebut mengandung cacat hingga orang
yang memakainya dapat dirugikan karena cacat tersebut, maka
orang
yang meminjamkan bertanggung jawab atas kerugian yang diderita pemakai jika ia
mengetahui adanya cacat tersebut dan tidak memberitahukannya kepada peminjam.[2]
1.
Hak dan kewajiban
Lazimnya suatu perjanjian adalah
bertimbal balik. Artinya, suatu pihak yang memperoleh hak-hak dari perjanjian
itu, juga menerima kewajiban-kewajiban yang merupakan kebalikan dari hak-hak
yang diperolehnya dan sebaliknya suatu pihak yang memikul kewajiban-kewajiban
juga memperoleh hak-hak yang dianggap sebagai kebalikan dari
kewajiban-kewajiban yang dibebankan kepadanya itu. Demikian juga dalam
perjanjian pinjam-meminjam ini:
-
Kewajiban Orang yang Meminjam
Tentang kewajiban orang yang
meminjamkan, diatur di dalam Bagian Kedua pada Bab XIII KUH Perdata yaitu dari
Pasal 1759-1762 KUH Perdata.Orang yang meminjamkan tidak boleh meminta kembali
apa yang telah dipinjamkannya sebelum lewat waktu apa yang ditentukan dalam
perjanjian (Pasal 1759 KUH Perdata). Jika tidak telah ditetapkan sesuatu waktu
hakim berkuasa apabila orang yang meminjamkan menuntut pengembalian
pinjamannya, menurut keadaan, memberikan sekedar kelonggaran kepada si peminjam
(Pasal 1760 KUH Perdata). Kelonggaran tersebut, apabila diberikan oleh hakim,
akan dicantumkan dalam putusan yang menghukum si peminjam untuk membayar
pinjamannya, dengan menetapkan suatu tanggal dilakukannya pembayarn itu.
Penghukuman membayar bunga moratoir juga ditetapkan mulai tanggal tersebut dan
tidak mulai dimasukkannya surat gugatan. Kalau orang yang meminjamkan, sebelum
menggugat di muka hakim, sudah memberikan waktu secukupnya kepada si peminjam,
maka tidak pada tempatnya lagi kalau hakim masih juga memberikan pengunduran.
Jika perjanjian pinjam uang itu
dibuat dengan akta otentik (notaris), maka jika diminta oleh penggugat, hakim
harus menyatakan putusannya dapat dijatuhkan lebih dahulu meskipun ada
permohonan banding atau kasasi. Jika telah diadakan perjanjian bahwa pihak yang
telah meminjam sesuatu barang atau sejumlah uang, akan mengembalikannya bila ia
mampu untuk itu, maka hakim mengingat keadaan, akan menentukan waktu pengembalian
(Pasal 1761 KUH Perdata).
-
Kewajiban Peminjam
Tentang kewajiban peminjam hanya
diatur dalam 2 (dua) pasal, yaitu Pasal 1763 dan Pasal 1764 KUH Perdata).
Kewajiban utama dari pihak peminjam adalah mengembalikan pinjaman kepada pihak
yang meminjamkan pada waktu yang telah ditentukan dalam perjanjian. Kewajiban
ini diatur dalam Pasal 1763 KUH Perdata yang menyatakan bahwa siapa yang
menerima pinjaman sesuai diwajibkan mengembalikannya dalam jumlah dan keadaan
yang sama, dan pada waktu yang ditentukan. Pada dasarnya kewajiban peminjam
yang tercantum dalam Pasal 1763 KUH Perdata seperti yang tersebut di atas
merupakan penggolongan atau penegasan kembali dari Pasal 1754 KUH Perdata. Tentang
jumlah dan keadaan yang sama, M. Yahya Harahap menulis “Menurut hemat kita yang
dimaksud dengan pengertian serupa jenis dan keadaannya ialah barang serupa jenis
dan kualitasnya karena itu barang/uang yang serupa jenis dan kualitasnya itulah
yang dimaksud dengan serupa jenis dan keadaannya, sama artinya misalnya
pengembalian beras yang serupa jenis dan kualitasnya.”
Dalam hal ini diperhatikan pada
waktu dan tempat di mana barangnya harus dikembalikan, sesuai dengan apa yang
diperjanjikan. Seandainya waktu dan Pasal 1764 KUH Perdata menentukan bahwa
bila pihak peminjam tidak mungkin lagi untuk mengembalikan barag dari macam dan
keadaan yang sama dengan barang yang dipinjam semulamaka ia diperbolehkan untuk
membayar harga nilai barang tersebut dengan uang. Dalam hal ini diperhatikan
waktu dan tempat ini tidak ditetapkan dalam perjanjian maka harus diperhatikan
atau diambil harga barang pada waktu dan tempat di mana diterima pinjaman telah
terjadi. Berdasarkan Pasal 1764 KUH Perdata tadi, keharusan untuk mengembalikan
barang yang macam dan keberadaannya sama seperti barang yang dipinjam semula
tidaklah bersifat mutlak.[3]
2.
Peminjaman dengan Bunga
Pada dasarnya, peminjaman uang atau
barang yang habis dalam pemakaian, diperbolehkan untuk membuat syarat bahwa
atas pinjaman itu akan dibayarkan bunga (Pasal 1765 KUHPerdata). Akan tetapi,
apabila tidak diperjanjikan maka tidak ada kewajiban dari peminjam untuk
membayarkan bunga tersebut. Jika peminjam telah membayar bunga yang tidak
diperjanjikan mak a peminjam tidak
dapat menerima kembali bunga tersebut dan tidak dapat menguranginya dari
pinjaman pokok, kecuali bunga yang dibayar melampaui bunga yang ditentukan oleh
undang-undang. Bunga dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu:[4]
1. Bunga yang ditentukan dalam
undang-undang;
2. Bunga yang didasarkan pada
perjanjian (Pasal 1767 KUHPerdata).
Bunga menurut undang-undang adalah
bunga yang ditentukan menurut undang-undang . Bunga yang ditentukan oleh
undang-undang sebesar 6%/tahun, sedangkan menurut Staatsblaad Tahun 1976 Nomor
239, bunga yang ditetapkan dalam undang-undang berkisar antara 8 sampai dengan
10%/tahun. Dalam praktiknya, bunga perbankan berkisar antara 18 sampai dengan
24%/tahun. Sedangkan bunga menurut perjanjian adalah bunga yang ditentukan
besarnya oleh para pihak, berdasarkan atas kesepakatan yang dibuat antara
mereka. Bunga berdasarkan perjanjian ini boleh melampaui bunga menurut
undang-undang.
B. Pengertian Pinjam Pakai
Pinjam pakai adalah suatu
perjanjian dengan mana pihak yang satu memberikan sesuatu barang kepada pihak
yang lainnya untuk di pakai dengan Cuma-Cuma, dengan syarat bahwa yang menerima
barang ini, setelah memakainya atau setelah lewatnya waktu tertentu, akan
mengembalikannya.[5]
Pada prinsipnya,segala hak dan kewajiban yang muncul dari perjanjian pinjam
pakai dapat beralih kepada ahli warisnya jika salah satu pihak atau keduanya
meninggal dunia. Pengecualiannya adalah jika perjanjian pinjam pakai itu
dilakukan dengan mengingat bahwa barang tersebut dipinjamkan secara pribadi dan
melekat hanya pada peminjam, maka ahli waris dari peminjam tidak dapat menerima
warisan brupa hak pinjam pakai tersebut. Misalnya, mobil dinas seorang penjabat
adalah hak pinjam pakai dari pejabat yang bersangkutan untuk keperluan dinas
sehari-harinya. Jika pejabat tersebut meninggal dunia maka hak pinjam pakai
atas mobil itu tidak dapat beralih ke ahli warisnya,melainkan harus
dikembalikan.
Perjanjian pinjam pakai juga
merupakan perjanjian sepihak yaitu orang yang meminjamkan hanya berkewajiban
memberi prestasi saja kepada peminjam berupa hak pinjam pakainya, sedangkan si
peminjam tidak berkewajiban memberikan kontraprestasi apapun kepada orang yang
meminjamkan. Hal ini seperti telah diuraikan diatas bahwa perjanjian pinjam
pakai bersifat cuma-cuma. Dalam perjanjian pinjam pakai, peminjam berkewajiban
untuk menjaga dan dan memelihara obyek pinjam pakai itu sebaik mungkin.
Undang-undang mewajibkan bahwa peminjam wajib menyimpan dan memelihara barang
pinjaman itu sebagai seorang bapak rumah yang baik. Peminjam tidak dapat
menggunakan obyek pinjam pakai itu untuk keperluan lain selain peruntukannya
sebagaimana yang ditetapkan dalam perjanjian. Jika si peminjam telah menggunakan
obyek pinjam pakai,maka biaya-biaya tersebut merupakan tanggung jawab dari si
peminjam sendiri.
Dalam suatu perjanjian juga berlaku
ketentuan bahwa orang yang meminjamkan tidak dapat meminta kembali barang
pinjaman tersebut selain setelah lewatnya waktu yang ditentukan dalam
perjanjian. Kewajiban lainnya dari orang yang meminjamkan adalah, jika barang
tersebut mengandung cacat hingga orang yang memakainya dapat dirugikan karena
cacat tersebut, maka orang yang meminjamkan bertanggung jawab atas kerugian
yang diderita pemakai jika ia mengetahui adanya cacat tersebut dan tidak
memberitahukannya kepada peminjam. Perkataan ‘aqdu mengacu kepada terjadinya
dua perjanjian atau lebih, yaitu seseorang mengadakan janji kemudian orang lain
yang menyetujui janji tersebut serta mengadakan pula suatu janji yang
berhubungan dengan janji yang pertama, maka terjadilah perikatan, maka apabila
ada dua janji dari dua orang mempunyai hubungan antara satu dengan yang lain
disebut perikatan.
Pada prinsipnya, ketentuan yang berlaku dalam perjanjian pinjam
pakai adalah :
1.
Apabila barang yang dipinjam
itu berkurang harganya selama pemakaian dan hal tersebut di luar kesalahan si
pemakai, maka pihak peminjam tidak bertanggung jawab atas berkurangnya harga
barang tersebut.
2.
Apabila peminjam selama memakai
barang telah mengeluarkan biaya-biaya sementara, maka peminjam tidak boleh
menuntut kembali pada yang meminjamkan, kecuali apabila ada perjanjian yang
menyatakan demikian.
3.
Apabila pihak peminjam terdiri
dari beberapa orang secara bersama-sama, maka masing-masing untuk keseluruhan
bertanggung jawab atas barang tersebut.
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam perjanjian pinjam pakai adalah
:
Kewajiban Peminjam.
Kewajiban pihak peminjam diatur dalam pasal 1744 sampai dengan pasal
1749 KUH Perdata, yang pada pokoknya adalah sebagai berikut :
1.
Berkewajiban menyimpan dan
memelihara barang pinjaman sebagai seorang tuan rumah yang baik. Peminjam hanya
boleh menggunakan barang yang dipinjam-pakaikan untuk keperluan seperti yang
telah ditetapkan dalam perjanjian. Penyimpangan dari hal-hal tersebut dapat
diancam mengganti biaya, kerugian, dan bunga.
2.
Bertanggung jawab atas
kemusnahan barang tersebut, walaupun kemusnahan tersebut terjadi karena suatu
kejadian yang tidak disengaja.
3.
Memberi ganti rugi atas barang
tersebut apabila terjadi kemusnahan sesuai dengan harga taksir yang telah
dinilai pada waktu perjanjian itu dibuat akan diganti dengan barang sejenis,
sama mutu dan jumlahnya.
Kewajiban Yang Meminjamkan.
Kewajiban pihak yang meminjamkan diatur dalam pasal 1750 sampai
dengan pasal 1753 KUH Perdata, yang pada pokoknya adalah sebagai berikut :
1.
Tidak boleh minta kembali
barang yang telah dipinjamkan, kecuali telah lewat waktu.
2.
Hanya boleh meminta kembali
barang yang dipinjamkan sebelum lewatnya waktu, apabila ada alasan-alasan yang
mendesak atau overmacht dan terjadi situasi ia sendiri sangat memerlukan barang
tersebut.
3.
Mengganti biaya yang telah
dikeluarkan di peminjam dalam keadaan luar biasa dan sangat diperlukan, yang
sifatnya sangat mendesak dan peminjam sendiri tidak sempat memberitahukan hal
tersebut.
4.
Bertanggung jawab atas kerugian
sebagai akibat pihak yang meminjamkan tidak memberitahukan bahwa barang
tersebut mempunyai cacat tersembunyi yang diketahuinya.
Resiko Dalam Perjanjian Pinjam Pakai.
Mengenai resiko dalam perjanjian pinjam pakai, diatur dalam pasal
1744 dan pasal 1745 KUH Perdata, yang pada garis besarnya adalah :
·
Resiko dalam perjanjian pinjam
pakai berada di tangan si pemakai.
·
Apabila barang yang dipinjam
musnah karena suatu kejadian yang tidak disengaja, maka peminjam bertanggung
jawab atas kemusnahan barang tersebut dan juga bertanggung jawab atas
barang-barang yang diakibatkan oleh barang tersebut.
Mengenai biaya-biaya yang harus dikeluarkan dalam perjanjian pinjam pakai
berlaku ketentuan sebagai berikut :
·
Terhadap perbaikan-perbaikan
kecil, pengeluaran biaya ditanggung oleh peminjam.
·
Terhadap perbaikan-perbaikan
besar, pengeluaran biaya ditanggung oleh pihak yang meminjamkan.
Di dalam kehidupan dan perkembangan masyarakat, perjanjian
peminjaman, mempunyai bentuk dan sifat yang lebih khusus, yang dikenal
dengan Perjanjian Kredit. Perjanjian kredit merupakan perjanjian
peminjaman yang khusus terjadi terhadap obyek hukum benda yang terjadi di dalam
dunia perbankan. Pengertian perjanjian kredit tidak diatur secara khusus di
dalam KUH Perdata, tetapi diatur di dalam Undang-Undang Perbankan.
Setiap perjanjian pinjam pakai dapat berpindah hak dari si peminjam
dan yang meminjamkan kepada masing-masing ahli warisnya, kecuali dalam
perjanjian ditetapkan sebaliknya. Meskipun demikian, tetaplah harus dibedakan
dengan perjanjian sewa menyewa. Karena antara perjanjian pinjam
pakai dan perjanjian sewa menyewa mempunyai perbedaan yang sangat mendasar,
perbedaan tersebut adalah :
·
Dalam perjanjian pinjam pakai
terjadi dengan cuma-cuma.
·
Dalam perjanjian sewa menyewa
terdapat prestasi pihak penyewa untuk membayar uang sewa kepada pihak yang
menyewakan.
[1] Mochidir, Pengertian-pengertian Elementer Hukum Perjanjian
Perdata, (Bandung: 1985) hlm. 12
[4] Salim H.S, S.H., M.S, Hukum
Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, (Jakarta: 2006) hlm. 79
[5] Drs. H. Chairuman
Pasaribu, Hukum Perjanjian Dalam Islam,
(Jakarta: Sinar Grafika,1994) hlm. 133
Komentar
Posting Komentar