ALIRAN SEJARAH HUKUM (Legal Historism)


A.    Pengertian Aliran Sejarah Hukum
Mazhab sejarah (Historische Rechtsschule) merupakan salah satu aliran pemikiran Hukum yang dipelopori Friedrich Carl von Savigny dengan inti ajaran mazhab ini adalah das Recht wird nicht gemacht, est ist und wird mit dem Volke (hukum tidak dibuat, tapi tumbuh dan berkembang bersama masyarakat). Penganut madzhab sejarah fokusnya mengarah pada bangsa, tepatnya jiwa bengsa (Volksgeist).
Mahzab hukum historis lahir pada awal abad XIX, yakni pada tahun 1814, dengan diterbitkannya suatu karangan dari F. Von Savigny, yang berjudul “Von Beruf Unserer Zeit Gesetzgebung und Rechtswissenschaft” yaitu tentang (seruan zaman kini akan undang-undang dan ilmu hukum). Dalam karangan ini Von Savigny membentangkan program mazhab hukum historis.[1]
Mahzab sejarah menekankan kepada  penggalian dan kajian yang mendalam mengenai asas mula hukum dan transformasinya. Savigny meyakini bahwa hukum memiliki sejarah dan tahap-tahap pertumbuhannya sendiri. Atas dasar ini, mahzab sejarah mengklaim bahwa hukum adalah sesuatu yang senantiasa berubah dan berevolusi.[2]

B.     Tokoh dalam Aliran Sejarah Hukum
Terdapat beberapa tokoh penganut aliran sejarah hukum yang akan dijelaskan, antara lain:
1.      Friedrich Karl Von Savigny (1779-1861)
Secara genealogis Savigny adalah keturunan dari keluarga bangsawan Huguenot dari Lorraine, Perancis yang hijrah ke Jerman pada tahun 1730 karena menghindari intoleransi kaum katolik. Nama keluarga Savigny diturunkan dari nama sebuah kastil, “Castle of Savigny” di lembah sungai Moselle, Jerman. Savigny lahir pada 21 Februari 1779 di Frankfurt dari ayah seorang Lutherian dan ibu yang seorang Calvinist. Pada usia 15 tahun Savigny dimasukkan ke lembaga pendidikan yang sangat disipin untuk belajar ilmu hukum, hukum internasional, hukum romawi dan hukum  jerman.
            Savigny mewariskan beberapa karya ilmiah hukum yang sangat berpengaruh dalam perkembangan ilmu hukum dunia, diantaranya:
a.       Das Recht des Besitzes (Hukum Tentang Hak Milik);
b.      Geschichte des romischen Recht im Mittelalter (Sejarah Hukum Romawi dan Abad Pertengahan);
c.       System des Heutigen Romischen Rechts (Sistem Hukum Romawi Modern);
d.      Vermischte Schriften (Bunga Rampai); dan
e.       Das Obligationenrecht (Hukum Kontrak).[3]
Aliran sejarah yang dipelopori oleh Savigny menolak pengagung-agungan akal manusia, Savigny menolak bahwa hukum itu dibuat dengan menyatakan hukum otomatis ditemukan dalam masyarakat.
Menurut Savigny masyarakat lahir dalam sejarah, berkembang dalam sejarah, kemudian lenyap pula dalam sejarah. Disini nyata bahwa hukum mengikuti perkembangan masyarakat dan bersifat organis. Pemikiran Savigny bahwa di dunia ini terdapat bermacam-macam bangsa, masing-masing bangsa itu mempunyai jiwa bangsa (volkgeist) yang berbeda menurut waktu dan tempatnya. Hukum memuat apa yang menjadi pergaulan hidup manusia dari masa ke masa yang disebutnya sejarah.
Hukum adalah suatu ciptaan manusia yang bebas, namun bukan berarti bebas sebagai individu melainkan manusia sadar dalam pergaulan hidup  suatu bangsa. Hukum berasal dari jiwa bangsa (volkgeist) yang sudah terjalin dalam kehidupan masyarakat secara berturut-turut dan terus berkembang dan terjadi dalam sejarah.  Tidak perlu adanya kodifikasi hukum membawa efek negatif yang menghambat perkembangan hukum, bahkan kodifikasi akan menghentikan sejarah pada suatu waktu tertentu.
Jiwa bangsa yang berkualitas dapat dijadikan dasar atau suatu tata hukum yang memadai. Pengaruh dari pemikiran Savigny terasa besar di Indonesia melalui sarjana hukum seperti Ter Har, Supomo, Sudiman Kartohadiprojo dan lain-lain. Mereka beranggapan bahwa hukum adat adalah hukum yang benar-benar merupakan cerminan volkgeist bangsa Indonesia.[4]
Hukum bukanlah sesuatu yang dapat diciptakan secara sewenang-wenang dan terencana oleh pembuat hukum. Hukum adalah hasil dari proses yang bersifat internal dan otonom serta diam-diam (silently operating) dalam diri masyakarat (rakyat). [5]
Pada masa Savigny hidup adalah masa tatkala Romantisisme bangkit sebagai gerakana yang amat umum di Eropa.[6] Gerakan Romantisisme adalah gerakan reaktif yang menentang Zaman Pencerahan yang terlalu mengagung-agungkan akal (rasio) dan konsep universal sehingga menyebabkan pandangan yang dihasilkan bersifat dingin dan kaku. Romantisisme menghayati jiwa alam, menghargai keterpesonaan, dan kekaguman pada keindahan dan misteri dalam alam.
Savigny yang romantis dalam melihat hukum dapat dilihat dengan mencermati beberapa istilah yang digunakan Savigny dalam memaparkan pemikirannya. Dapat disebut sebagai istilah kunci yang menjadi pembuka ke dalam semesta pemikiran Savigny. Istilah-istilah itu adalah:[7]
a.       Rakyat (People atau Volk). Rakyat (bangsa) sebagai sebuah kesatuan individu yang beraneka ragam (kepentingan, kebutuhan, cita-cita) hidup dalam keteraturan. Kesatuan tersebut bersifat alamiah dan terjadi dalam proses historis yang evolutif.
b.      Hukum Positif. Positif dalam konteks pemikiran Savigny merujuk pada kesadaran. Bagi Savigny hukum positif adalah hukum yang hidup dan muncul dalam masyarakat, dalam kesadaran umum dari rakyat.
c.       Hukum Kebiasaan. Menurut Savigny hukum kebiasaan atau hukum adat adalah salah satu manifestasi dari hukum positif. Hukum adat, menurutnya menjadi badge atau simbol atau penanda dari adanya hukum positif yang diakui oleh masyarakat.
d.      Legislasi. Savigny berbicara tentang tahap ketika pembentukan hukum positif terformalisasi dalam proses legislasi dalam sebuah organ legislatif. Proses ini tidak dapat dihindarkan. Ia merupakan keniscayaan dari perjalanan sebuah bangsa.
e.       Hukum Yang Dihasilkan Yuris. Dalam masyarakat diperlukan sebuah lembaga atau organ yang terpisah yang dapat mengartikulasikan hukum positif seperti lembaga legislatif yang dibicarakan sebelumnya. Mereka adalah para yuris yamg berada dalam sub-ordo dari ordo besar rakyat atau bangsa. Orang-orang ini membaca dan mengartikulasikan hukum positif dalam hukum tertulis dan tercatat yang mereka keluarkan. Dalam hal ini Savigny berbicara mengenai tahap di mana volkgeist telah terwujud nyatakan dalam Negara, dan dalam negara tersebut, selain lembaga legislasi, juga orang-orang yang secara profesional dengan keahliannya mempunyai kompetensi dan otoritas untuk mengartikulasikan hukum positif yang dikandung oleh volkgeist dalam proses legislasi. Mereka adalah para yuris, entah itu hakim, entah akademisi, entah jaksa atau yang lain-lainnya.
f.        Peran Legislasi dan Ilmu Hukum. Dalam perkembangan historisnya hukum rakyat dilengkapi oleh dua organ penting. Yang pertama adalah lembaga legislasi yang melingkupi para yuris. Yang kedua adalah ilmu hukum yang menjadi metodelogi untuk mencapai kebenaran mengenai semangat dan kehendak rakyat, juga menjadi metode untuk mengartikulasikan ke dalam hukum positif dalam domain kenegaraan. Karena itu lembaga legislatif dan ilmu hukum harus saling melengkapi dalam menangkap dan mengartikulasikan hukum positif yang memancar dari semangat dan jiwa kebangsaan masyarakat.

2.      Puchta (1798-1846)
Puchta, murid Savigny berpendapat, bahwa hukum berazaskan pada keyakinan bangsa, baik menurut isinya maupun menurut ikatan materialnya. Artinya bahwa hukum timbul dan berlaku oleh karena terikat pada jiwa bangsa. Timbulnya itu terjadi dalam 3 bentuk, yaitu:[8]
1)  Hukum timbul dari jiwa bangsa secara langsung dalam pelaksanaannya melalui adat istiadat;
2)  Hukum itu timbul dari jiwa bangsa secara tidak langsung melalui undang-undang yang dibentuk oleh negara;
3)   Hukum itu timbul melalui ilmu pengetahuan hukum, yang merupakan karya ilmiah para ahli hukum.
Disini Puchta membedakan antara dua arti bangsa. Pertama-tama terdapat bangsa dalam arti etnologis, yaitu bangsa alam. Bangsa ini ialah suatu masyarakat nasional yang terdiri dari orang yang bersaudara secara jasmani dan rohani, yaitu karena persamaan darah dan kebudayaan. Di samping itu terdapat bangsa dalam arti nasional, yakni orang-orang yang merupakan kesatuan organis karena termasuk satu negara.
Dengan jalan pikiran ini Puchta sampai pada kesimpulan, bahwa sebenarnya tidak terdapat hukum yang sah pada bangsa alam. Bangsa alam memiliki hukum  sebagai keyakinan. Keyakinan hukum yang hidup dalam jiwa bangsa harus disahkan melalui kehendak umum masyarakat yang terorganisasi dalam negara. Negara mengesahkan hukum itu dengan membentuk undang-undang.[9]
Aspek ironis dari ajaran Savigny dan Puchta ialah bahwa, seraya menekankan pada ciri nasional dari semua hukum, mereka mendapatkan inspirasinya dari hukum romawi dan karya mereka yang terpenting ditujukan untuk disesuaikan dengan kondisi-kondisi modern.[10]

C.    Kelebihan dan Kekurangan Aliran Sejarah Hukum
1.  Kelebihan sejarah hukum, antara lain adalah sikap tegas yang mengatakan bahwa hukum itu merupakan derivasi (proses pembentukan) nilai-nilai yang dianut oleh suatu masyarakat. Dalam kaitan itu dapat diasumsikan bahwa hukum yang demikian akan mempunyai daya berlaku sosiologis. Oleh karena hukum pasti sesuai dengan keasadaran hukum masyarakat. Tegasnya, satu-satunya sumber hukum menurut mazhab ini adalah kesadaran hukum suatu bangsa.[11]
Selanjutnya, kebaikan aliran ini adalah ditempatkannya kedudukan hukum kebiasaan sejajar dengan undang-undang tertulis.[12]
2.      Kekurangan dari mazhab sejarah ini yaitu diantaranya:[13]
a.  Tidak diberikannya tempat bagi ketentuan yang sifatnya tertulis (peraturan perundang-undangan)
b.  Konsepsinya tentang keasadaran hukum sifatnya abstrak serta konsepsinya tentang jiwa rakyat tidak memuaskan banyak pihak
c.      Inkonsistensi sikap mengenai hukum yang terbaik bagi suatu bangsa.

D.    Contoh Operasional (Mahar Babi di Papua)
Dari suku manapun maskawin atau mahar merupakan kewajiban yang harus dipenuhi oleh seorang laki-laki untuk mengawini pujaan hatinya. Seperti halnya pun di daerah Papua, laki-laki Papua sejak lahir sudah dibebani untuk menyiapkan maskawin, karena dinilai sangat mahal dan memberatkan.
Maskawin di Papua merupakan tradisi yang masih kuat dipegang sampai saat ini. Selama hidup mereka dalam satu keluarga atau marga berusaha mengumpulkan sejumlah harta benda untuk maskawin bagi anak laki-laki bila akan masuk ke jenjang perkawinan. Bagi orang Papua maskawin diperoleh ketika mengawinkan anak perempuan mereka, denda adat, hadiah, dan penjualan hasil-hasil pertanian dan barter maskawin.
Kelengkapan dan besar nilai mahar menunjukan tingkat sosial dalam keluarga pria dan wanita. Besarnya permintaan mahar biasanya datang dari pihak wanita dari suku lain, memiliki pekerjaan tetap sebagai pegawai negeri sipil, tingkat pendidikan tinggi, dan dari keluarga terpandang misalnya anak kepala suku. Yang uniknya lagi di Papua menurut aturan adat, yang harus dijadikan maskawin yaitu babi dan kedua mempelai tidak perlu menikah lagi secara agama. Kemudian dari kasus tersebut menimbulkan pertanyaan apakah untuk orang yang menganut agama islam pun diharuskan menggunakan maskawin atau mahar babi? Untuk menjawab pertanyaan tersebut kami akan memberikan analisis menurut susut pandang mazhab sejarah yang  erat kaitannya dengan adat istiadat masyarakat.[14]
Untuk menjawab kasus dan pertanyaan di atas sebenarnya sudah pernah dibahas di Kementerian Agama melalui Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam. Babi, hewan yang sudah jelas diharamkan bagi umat islam baik untuk dikonsumsi maupun sebagai alat transaksi, namun selama puluhan tahun lamanya, warga Papua slah satunya di suku Dani di Wamena, Papua, yang sudah beragama islam tidak bisa melepaskan kungkungan adat yang mengharuskan babi sebagai mahar perkawinan. Jika terus dipertahankan, maka status perkawinan mereka tidak sah secara hukum islam. Penduduk asli yang beraga islam disana sudah mengetahui bahwa babi itu dilarang dalam islam. Meski demikian, aturan adat yang mengharuskan babi sebagai mahar pernikahan masyarakat muslim tetap dilestarikan. Masayarakat beranggapan bahwa babi adalah seekor hewan yang disukai oleh Roh Animis karena dagingnya banyak lemaknya. Apabila yang dipersembahkan bukan babi, mereka meyakini akan ditolah oleh roh Animis.
Ditengah kuatnya adat dalam kehidupan pribadi dan masyarakat di Papua, seorang ketua KUA di Wamena memunculkan ijtihad transisi bahwa babi dalam mahar perkawinan bisa diganti menjadi benda yang halal seperti uang yang nilainya sama dengan babi. Dikatakan transisi sebab hal iru hanya untuk sementara saja. Endingnya tetap bagaimana masyarakat muslim disana berpatokan pada syariah islam dalam melaksanakan pernikahan termasuk dalam hal pemeberian mahar. Kini secara perlahan masyarakat muslim disana sudah mulai meninggalkan tradisi penggunaan babi sebagai mahar perkawinan.[15]
Dari uraian tersebut dapat dipahami dari kacamata aliran histori bahwa hukum itu pencerminan dari jiwa rakyat , hukum itu tumbuh bersama dengan kekutan rakyat, maka jiga rakyat sudah mulai berubah dan berkembang maka hukum pun mengikuti. Sebagaimana halnya Puchta merumuskan terkait pandangan Savigny bahwa hukum itu tumbuh bersama-sama dengan pertumbuhan, dan menjadi kuat bersama-sama dengan kekuaan dari rakyat, dan akhirnya ia mati manakala bangsa itu kehilangan kebangsaanya.[16]


[1] Dr. Theo Huijbers, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah (Yogyakarta: Kansius, 1990) Cet. 6, hlm. 118
[2] Khazanah, “Friedrich Karl Von Savigny“. Padjajaran Jurnal Ilmu Hukum. Vol. 2 No. 1 Tahun 2015. Hlm. 202
[3] Khazanah, “Friedrich Karl Von Savigny“. Padjajaran Jurnal Ilmu Hukum. Vol. 2 No. 1 Tahun 2015. Hlm. 198

[4] Dr. Nomensen Sinamo, Filsafat Hukum Dilengkapi Dengan Materi Etika Profesi Hukum (Jakarta: Permata Aksara, 2014) hlm. 57
[6] F. Budi Hardiman, Filasfat Modern dari Machiavelli sampai Nietzsche (Jakarta: Gramedia, 2004) hlm. 113
[7] Antonius Cahyadi - E. Fernando M. Manullang, Pengantar ke Filsafat Hukum (Jakarta: Kencana, 2007) hlm. 132-142
[8] Dr. Nomensen Sinamo, Filsafat Hukum Dilengkapi Dengan Materi Etika Profesi Hukum (Jakarta: Permata Aksara, 2014) hlm. 57
[9] Dr. Theo Huijbers, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah (Yogyakarta: Kansius, 1990) Cet. 6, hlm. 120
[10] W. Friedman, Teori dan Filsafat Hukum Idealisme Filosofis dan Problema  Keadilan (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1994) hlm. 62
[11] Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum : Suatu Pengantar, (Yogyakarta: Liberty, 1996), hlm. 100
[12] Lili Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996), hlm. 71
[13] Lili Rasjidi, Filsafat Hukum : Apakah Hukum itu?,  (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1991), hlm. 49
[16] Muhammad Erwin, Filsafat Hukum Refleksi Kritis terhadap Hukum, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2012), hlm. 192

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resume Buku Prof. Peter Mahmud Marzuki "PENELITIAN HUKUM"

Pinjam Pakai dan Pinjam Meminjam