Macam-macam Penalaran Hukum
Model-model Penalaran Hukum
Model-
model penalaran hukum menjadi identik dengan kerangka orientasi berpikir
yuridis sebagaimana ditunjukkan oleh aliran-aliran filsafat hukum. Keenam model
yang akan dideskripsikan di bawah adalah: (1) Aliran Hukum Kodrat; (2)
Positivisme Hukum; (3) Utilitarianisme; (4) Mahzab Sejarah; (5) Sociology
Jurisprudence; (6) Realisme Hukum.
Aspek
ontologis terkait dengan pemaknaan hakikat hukum. Masing-masing aliran menawarkan
presepsinya sendiri tentang apa hukum
itu. Hakikat hukum yang ditawarkan dapat dibedakan dalam dua kubu,
hakikat hukum sebagai gagasan (idealisme) dan sebagai kenyataan imanen
(materialisme). Dialektika dari keduanya menunjukkan sinkretisme ontologis
antara idealisme dan materialisme, atau disebut dualisme. Aspek epistemologi
berhubungan dengan langkah-langkah metodelogis yang dilakukan selama proses penalaran
hukum. Di sini juga terdapat dua titik ekstrem yakni intuisi dan empiri.
1.
Aliran
Hukum Kodrat
Aliran hukum kodrat atau natural law thought
adalah merupakan salah satu substansi dari perkembangan filsafat hukum. Berawal
dari masa yunani kuno yang dkritisi oleh Cicero, dengan Thomas Aquinas sebagai
penganalisis dan dibantu kalangan rohaniawan Gereja Katolik. Terkenal dengan
ultra ecclesiam nulla salus yaitu moralitas disamakan dengan hukum agama
sehingga diluar itu (Gereja) tidak ada keselamatan (kebenaran) dimana hakikat
hukum merupakan moralitas yang kekel dan abadi (immortal). Yang dimana
digunakan oleh sebagian besar hakim-hakim AS sebagai sumber hukum internasional
dalam penafsiran konstitusi.
Aliran hukum kodrat ini memiliki variatif karakteristik yang membedakannya dengan positivism hukum yaitu :
Aliran hukum kodrat ini memiliki variatif karakteristik yang membedakannya dengan positivism hukum yaitu :
a) Bersifat
umum-konkret, satu atau beberapa nilai
moral/hukum atau pertimbangan moral, yang menjelaskan bahwa hukum
berasal dari moralitas (sesuatu yang ideal), dimana ada moral pasti ada hukum
yang harus memuat moralitas. Moralitas itu sendiri memiliki dua ciri yaitu yang
irasional adalah moralitas itu datang langsung dari Tuhan dan yang rasional
adalah moralitas itu berasal dari rasio.
b) Berlaku
universal yang menyebabkanya abadi, dimana bahwa hukum yang mengandung
moralitas adalah hukum yang mengandung asas-asas, prinsip-prinsip yang abadi
tentang keadilan dan kebenaran.
c) Dapat
dijangkau rasio manusia adalah merupakan salah satu ciridari aliran hukum
kodrat, dimana moralitas menjadi objek penelaahan rasio yang jika hukum positif
yang tersebut bertentangan dengan
moralitas maka hukum positif tersebut harus dikesampingkan.
2.
Positivisme
Hukum
Aliran Positivisme (Hukum Positif)
menyamakan hukum dengan undang-undang, tidak ada hukum di luar undang-undang,
sehingga harus diakui bahwa satu-satunya sumber hukum adalah undang-undang
(legisme). Undang-undang dibuat oleh penguasa, oleh karena itu hukum merupakan
perintah dari penguasa dalam arti bahwa perintah dari pemegang kekuasaan yang
paling tinggi atau pemegang kedaulatan.
Aliran filsafat hukum positif atau
positivisme cukup kuat pada zaman rasionalis, dikembangkan oleh Immanuel Kant,
aliran ini dianut oleh orang-orang yang berpegang teguh pada ilmu pengetahuan.
Menurut Immanuel Kant, bahwa positivisme berpangkal pada pandangannya bahwa manusia
tidak mampu untuk mengetahui realitas selain melalui ilmu pengetahuan.
Kebenaran hanya didapati melalui ilmu pengetahuan, sehingga tugas para filsuf
itu mengumpulkan data-data untuk membuat sintesisnya. Ada tiga cabang yang
muncul tentang positivisme di bidang hukum, yaitu :
·
Positivisme sosiologis, yang memandang
hukum sebagai gejala sosial saja. Sehingga hukum hanya dapat diselidiki melalui
suatu ilmu pengetahuan yang baru muncul pada waktu itu, yaitu sosiologi.
·
Positivisme yuridis, yang memandang bahwa
arti hukum itu sebagai gejala tersendiri, yaitu menurut metode hukum positif.
·
Ajaran hukum umum, ajaran ini merupakan
ajaran yang dekat dengan positivisme yuridis, pendapatnya bahwa kegiatan
teoretis seorang ilmuwan terbatas pada uraian tentang arti dan prinsip-prinsip
hukum secara induktif-empiris saja.
3.
Utilitarianisme
Teori
utilitarianisme yang digagas oleh Jeremy Bentham (juga John Stuart Mill dan
Rudolf von Jhering) adalah bentuk reaksi terhadap konsepsi hukum alam pada abad
ke delapan belas dan sembilan belas. Bentham mengecam konsepsi hukum alam,
karena menganggap bahwa hukum alam tidak kabur dan tidak tetap. Bentham
mengetengahkan gerakan periodikal dari yang abstrak, idealis, dan apriori sampai
kepada yang konkret, materialis, dan mendasar.
Model
penalaran hukum Utilitarianisme pada dasarnya berangkat dari titik tolak yang
sama dengan Positivisme Hukum. Positivisme hukum menjadi menarik dan berbeda
dengan Utilitarianisme, sebenarnya justru berkat andil Kelsen dengan gerakan
pemurnian hukumnya.
Utilitarianisme
dalam konteks ini sebenarnya memberi nilai tambah pada Positivisme Hukum, namun
ironisnya, juga membuat hukum kehilangan kemurniannya seperti tidak mungkin
dihindari karena hukum tidak lagi bergerak dalam ruang steril dan sistem logika
yang tertutup rapat. Jika model penalaran ini dituangkan dalam putusan hakim,
maka putusan tersebut tidak sekedar mengacu pada kepastian semata, melainkan
juga kemanfaatan bagi pihak-pihak terkait dalam arti luas.
Karena
basis dari Utilitarianisme ini sama dengan Positivisme Hukum, maka model
penalaran ini dapat dianggap sebagai modifikasi dari Legisme, yaitu bentuk
Positivisme Hukum yang paling konservatif. Model penalaran ini bahkan dapat
dianggap sebagai “penyusupan sosiologi” lewat pintu belakangan bangunan
Positivisme Hukum. Oleh karena itu, tidak heran bahwa model ini dapat diterima
baik di kawasan keluarga sistem common
law maupun civil law, dengan tokoh
pendukung utama seperti Bentham (1748-1832), Rudolf van Ihering (1818-1892),
dan Holmes (1841-1935).
4.
Mahzab
Sejarah
Mazhab
sejarah (Historische Rechtsschule)
merupakan salah satu aliran pemikiran Hukum yang dipelopori Friedrich Carl von
Savigny dengan inti ajaran mazhab ini adalah das Recht wird nicht gemacht, est
ist und wird mit dem Volke (hukum tidak dibuat, tapi tumbuh dan berkembang
bersama masyarakat). Penganut madzhab sejarah fokusnya mengarah pada bangsa,
tepatnya jiwa bengsa (Volksgeist).
Setiap
aliran Hukum yang ada menyatakan pemikiran-pemikiran tentang hukum, yang pada
hakikatnya lahir sebagai hasil interaksi dengan lingkungannya dan dipengaruhi
oleh beberapa factor. Begitupun kelahiran mazhab sejarah dipengaruhi oleh
beberapa factor yang dinilai sebagai penyebab. Berikut ini beberapa pendapat
yang terhimpun:
·
Rasionalisme abad ke-18 yang didasarkan
atas hukum alam, kekuatan akal, dan prinsip-prinsip dasar yang semuanya
berperan pada filsafat hukum hukum, terutama mengandalkan jalan pikiran deduktif
tanpa memperhatikan fakta sejarah, kekhususan, dan kondisi nasional.
·
Semangat Revolusi Prancis yang menentang
wewenang tradisi dengan misi cosmopolitannya (kepercayaan kepada rasio dan daya
kekuatan tekad manusia untuk mengatasi lingkungannya), yaitu seruannya ke
segala penjuru dunia.
·
Pendapat yang berkembang saat itu yang
melarang hakim menafsirkan hukum karena undang-undang dianggap dapat memecahkan
semua masalah hukum. Code Civil dinyatakan sebagai kehendak legislatif dan
harus dianggap sebagai suatu system hukum yang harus disimpan dengan baik
sebagai sesuatu yang suci karena berasal dari alasan-alasan yang murni.
·
Pengaruh Montesqueu dalam bukunya L’esprit
de Lois yang telah terlebih dahulu mengemukakan tentang adanya hubungan antar
jiwa suatu bangsa dengan hukumnya, dan pengaruh paham nasionalisme yang mulai
timbul pada awal abad ke-19. Menurut W. Friedman gagasan yang benar-benar
penting dari L'esprit des Lois adalah tesis bahwa hukum walaupun secara samar
didasarkan atas beberapa prinsip hukum alam mesti dipengaruhi oleh lingkungan
dan keadaan seperti: iklim, tanah, agama, adat-kebiasaan, perdagangan dan lain
sebagainya. Berangkat dari ide tersebut Montesqueu kemudian melakukan studi
perbandingan mengenai undang-undang dan pemerintahan. Gagasan Montesquieu
tentang sistem hukum merupakan hasil dari kompleksitas berbagai faktor empiris
dalam kehidupan manusia. Ketika Montesquieu membahas penyebab suatu negara
mempunyai perangkat hukum atau struktur sosial dan politik tertentu, dikatakan
bahwa hal itu dikarenakan oleh 2 faktor penyebab utama yang membentuk watak
masyarakat yaitu faktor fisik dan faktor moral. Montesque melihat adanya dua
kekuatan yang bekerja dalam individu secara biologis; kekuatan egoistis yang mendorong
manusia untuk menuntut hak-haknya, dan kekuatan moral yang membuatnya sebagai
anggota dari kelompok sosial yang terikat pada berbagai kewajiban disamping
adanya hak-hak.
·
Masalah kodifikasi hukum Jerman setelah
berakhirnya masa Napoleon Bonaparte, yang diusulkan oleh Thibaut (1872-1840),
guru besar pada Universitas Heidelberg di Jerman dalam tulisannya yang terbit
pada tahun 1814, yang berjudul Uber Die Notwendigkeiteines allegemeinen
Burgerlichen Recht For Deutchland (tentang keharusan suatu hukum perdata bagi
Jerman). Karena dipengaruhi oleh keinginannya akan suatu Negara, ia menyatakan
keberatan terhadap hukum yang tumbuh berdasarkan sejarah. Hukum itu sukar untuk
diselidiki, sedangkan jumlah sumbernya bertambah banyak sepanjang masa, sehingga
hilanglah seluruh gambaran darinya. Karena itulah harus diadakan perubahan yang
tegas dengan jalan penyusunan undang-undang dalm kitab. Hal ini merupakan
kebanggan Jerman. Keberatan yang dikemukakan ialah bahwa diberbagai daerah
hukum itu harus disesuaikan dengan keadaan setempat yang khas dan bahwa orang
harus menghormati apa yang dijadikan adat, tidak dapat mengimbangi keuntungan
yang dibawa olehnya. Sudah saatnya melaksanakan sesuatu yang luar biasa yang
mungkin direalisasikan. Ahli hukum perdata jerman ini mengehendaki agar di
Jerman diberlakukan kodifikasi perdata dengan dasar hukum Prancis (Code
Napoleon). Seperti diketahui, setelah Prancis meninggalkan Jerman Timbul
masalah, hukum apa yang hendak diberlakukan di Negara ini. Juga merupakan suatu
reaksi tidak langsung terhadap aliran hukum alam dan aliran hukum positif.
·
Abad ke-18 adalah abad universalisme dalam
berpikir. Cara pandang inilah yang menjadi salah satu penyebab munculnya madzhab sejarah yang
menentang universalisme.
·
Menurut Friedmann Aliran ini juga
Kepercayaan dan semangat revolusi Prancis dengan pemberontakannya terhadap
tradisi, kepercayaan pada akal dan kekuasaan kehendak manusia atas
keadaan-keadaan zamannya.
Dari uraian di atas, secara tidak langsung
sebagaimana yang diungkapkan Lily Rasjidi, bahwa factor yang melatarbelakangi
kelahiran mazhab sejarah adalah reaksi terhadap aliran hukum alam dan aliran
hukum positif.
5.
Sociological
Jurisprudence
Aliran
Sociological jurisprudence adalah aliran Hukum yang menilai bahwa hukum yang
baik haruslah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup dimasyarakat. Aliran
ini memisahkan secara tegas antara hukum positif (the positive law) dan hukum yang hidup (the living law). Aliran ini timbul dari proses dialektika antara
(tesis) positivisme hukum dan (antitesis) madzhab sejarah.
Sebagaimana
diketahui, positivisme dalam hukum memandang tiada hukum kecuali perintah yang
diberikan penguasa (law is a command of
lawgiver), sebaliknya madzhab sejarah menyatakan hukum timbul dan
berkembang bersama dengan masyarakat. Aliran pertama mementingkan akal,
sementara aliran yang kedua lebih mementingkan pengalaman, dan sociological
jurisprudence menganggap keduanya sama pentingnya.
Aliran
sociological jurisprudence muncul di Benua Eropa yang dipelopori ahli Hukum
asal Austria bernama Eugen Ehrlich (1826-1922), dan berkembang di Amerika dengan
pelopor Roscoe Pound
Istilah
sociological dalam menamai aliran ini, menurut Paton kurang tepat dan dapat
menimbulkan kekacauan. Ia lebih senang menggunakan istilah “metode fungsional”.
Oleh karena itu, ada pula yang menyebut sociological jurisprudence ini dengan
Functional Anthropological. Dengan menggunakan istilah “metode fungsional”
seperti diungkapkan diatas, Paton ingin menghindari kerancuan antara
sociological jurisprudence dan sosiologi hukum (the sociology of law).
6.
Realisme
Hukum
Aliran
Realisme Hukum yang berkembang dalam wakrtu yang bersamaan dengan Sosiological
Jurisprudence. Friedmann memasukkannya sebagai bagian dari aliran Positivisme
Hukum, tetapi ada juga yang memasukkannya sebagai bagian dari Neopositivisme,
yakni ahli hukum bernama Huijbers. Realisme Hukum skandinavia banyak
menggunakan dalil-dalil psikologi dalam menjelaskan pandangannya.
Pragmatic
Legal Realism lebih diidentikan dengan realisme Hukum Amerika karena memang
sikap pragmatisme yang terkandung dalam realisme itu lebih banyak muncul di
Amerika. Akar realism Hukum Amerika adalah empirisme, khususnya
pengalaman-pengalaman yang dapat ditimba dari pengadilan. Dalam hal ini jelas
system hukum Amerika Serikat sangat kondusif dan terbukti kaya dengan putusan
hakimnya. Aliran hukum ini lahir dengan dilatarbelakangi oleh berbagai faktor
hukum dan non-hukum, yaitu faktor-faktor sebagai berikut:
·
Faktor perkembangan dalam filsafat dan
ilmu pengetahuan. Mempelajari filsafat hukum tentunya tidak mudah namun juga
tidak sulit. Bagi kalangan paktisi hukum dalam mempelajari filsafat hukum
adalah suatu perimbangan dalam menjalankan tugas profesinya dalam hukum
positif.
·
Faktor perkembangan sosial dan politik:
¨ Aturan
hukum yang ada tidak cukup tersedia untuk dapat menjangkau setiap putusan hakim
karena masing-masing fakta hukum dalam masing-masing kasus yang bersangkutan
bersifat unik.
¨ Karena
itu, dalam memutus perkara, hakim perlu membuat hukum yang baru.
¨ Kebutuhan
putusan hakim dalam kasus-kasus yang tidak terbatas tersebut sangat dipengaruhi
oleh pertimbangan politik dan moral dari hakim itu sendiri, bukan berdasarkan
pertimbangan hukum.
Waw makasih infonyaa 👍
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus