Etika dalam Eptik Teori


A.    Pengertian Etika dan Etiket
Kata etika, sering disebut dengan istilah etik atau ethics (bahasa Inggris), mengandung banyak pengertian . Dari segi etimologi (asal kata), istilah etika berasal dari kata Latin “ethicus” dan dalam bahasa Yunani disebut “ethicos” yang berarti kebiasaan. Dengan demikian menurut pengertian yang asli, yang dikatakan baik itu apabila sesuai dengan masyarakat. Kemudian lambat laun pengertian ini berubah, bahwa etika adalah suatu ilmu yang membicarakan masalah perbuatan atau tingkah laku manusia. Mana yang dapat dinilai baik dan mana yang dapat dinilai tidak baik.[1]
Etika juga disebut ilmu normatif, yang dengan sendirinya berisi ketentuan-ketentuan (norma-norma) dan nilai-nilai yang dapat digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Etika merupakan cabang filsafat, yang mempelajari pandangan-pandangan dan persoalan-persoalan yang berhubungan dengan masalah kesusilaan, dan kadang-kadang orang memakai istilah filsafat etika, filsafat moral, atau filsafat susila. Dengan demikian dapat dikatakan, etika ialah penyelidikan filosofis mengenai kewajiban-kewajiban manusia, dan hal-hal yang baik dan buruk.
Perlu dijelaskan di sini, bahwa dalam kehidupan di masyarakat kita, sering terjadi kekeliruan pengguna dua kata yang hampir sama tetapi mempunyai pengertian yang berbeda, yakni kata “etika” dan “etiket”. Etika atau moral adalah cara yang dilakukan secara umum dan berlaku pada kelompok masyarakat tertentu. Misalnya mencuri atau mengambil milik orang lain, atau berdusta (mengatakan sesuatu yang tidak berdasarkan fakta), korupsi, dan sebagainya adalah domain dari etika atau moral. Karena pada masyarakat di mana pun juga, mencuri, berdusta, atau korupsi adalah tidak etis atau tindakan yang tidak bermoral bagi orang-orang yang melakukan (bersifat universal).[2]
Perkataan etiket berasal dari bahasa Perancis yaitu negara yang terkenal karena tinggi peradaban dan sopan santunnya. Etiket lebih menitikberatkan pada cara-cara berbicara yang sopan, cara berpakaian, cara duduk, cara menerima tamu di rumah maupun di kantor dan sopan santun lainnya. Jadi, etiket adalah aturan sopan santun dalam pergaulan.[3] Dalam pergaulan hidup, etiket itu merupakan tata cara dan tata krama yang baik dalam menggunakan bahasa maupun dalam tingkah laku. Etiket merupakan sekumpulan peraturan-peraturan kesopanan yang tidak tertulis, namun sangat penting untuk diketahui oleh setiap orang yang ingin mencapai sukses dalam perjuangan hidup yang penuh dengan persaingan.
Perbedaan sederhana dari etika dan etiket adalah etika merupakan falsafah moral dan merupakan cara hidup yang benar, dilihat dari sudut budaya, susila dan agama. Sedangkan etiket merupakan tata cara pergaulan yang baik antara sesama manusia.

B.     Etika Tujuan Hidup Manusia
Tujuan adalah sesuatu yang dikehendaki, baik individu maupun kelompok. Tujuan etika yang dimaksud merupakan tujuan akhir dari setiap aktivitas manusia dalam hidup dan kehidupannya yaitu untuk mewujudkan kebahagian. Tujuan utama etika yaitu menemukan, menentukan, membatasi, dan membenarkan kewajiban, hak, cita-cita moral dari individu dan masyarakatnya, baik masyarakat pada umumnya, khususnya masyarakat profesi.
Aliran yang sepaham untuk mencapai kebahagiaan adalah aliran Hedonisme. Aliran ini berpendapat bahwa tujuan akhir dari kehidupan manusia adalah kesenangan. Semua perbuatan manusia terarah kepada pencapaian kesenangan. Kesenangan dimaksudkan sebagai kebahagiaan, tanpa derita dan kebahagiaan terbesar serta tertinggi. Aristoteles menyebutkan bahwa kebahagiaan yang sempurna apabila ia telah melakukan kebaikan, seperti kebijaksanaan yang bersifat penalaran dan kebijaksanaan yang bersifat kerja. Dengan kebijaksanaan nalar, dapat diperoleh pandangan-pandangan yang sehat dan dengan kerja dapat memperoleh keadaan utama yang menimbulkan perbuatan-perbuatan yang baik. Hal ini menurut Aristoteles yang menjadi tujuan dari etika.
Al-ghazali menyebutkan bahwa ketinggian Akhlak (etika) merupakan kebaikan tertinggi. Kebaikan-kebaikan dalam kehidupan semuanya bersumber pada empat hal:
a.       Kebaikan jiwa, yaitu ilmu, bijaksana, suci diri, berani, dan adil
b.      Kebaikan dan keutamaan badan. Ada empat macam, yakni sehat, kuat, tampan, dan usia panjang.
c.       Kebaikan eksternal, juga ada empat macam, yaitu harta, keluarga, pangkat, dan nama baik (kehormatan).
d.      Kebaikan bimbingan, juga ada empat macam, yaitu petunjuk Allah, bimbingan Allah, pelurusan, dan penguatannya. Jadi, tujuann etika diharapkan untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akherat bagi pelakunya.

Disamping aliran Hedonisme, adapula aliran yang berpendapat lain tentang tujuan etika, yaitu aliran Idealisme. Aliran ini menyatakan bahwa berbuat baik bukanlah didasarkan atas kehendak mencapai tujuan di luar kebaikan itu, melainkan bahwa seseorang bertindak seperti itu karena hal tersebut menurutnya baik. Jadi melakukan suatu keutamaan, karena esensi dari keutamaan itu sendiri, bukan karena keinginan memperoleh manfaat atau mudharatnya. Artinya ada suatu rasa kewajiban untuk berbuat yang timbul dari diri sendiri. Kant menyebutkan sebagai “Kategorische Imperative” yaitu sesuatu yang memaksa pada diri sendiri sebagai perintah yang tak dapat diabaikan. Oleh karena itu, dibedakan dengan dorongan yang dinamakan “Hyphotetische Imperave”, yaitu bila tindakan tersebut ternyata mengabdi pada suatu tujuan tertentu. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa aliran Idealisme mewajibkan orang berbuat baik, lepas dari pertimbangan lab-rugi yang akan diterima, dan lepas pula dari pertimbangan ruang dan waktu.

C.    Etika dalam Masyarakat
Etika dalam kehidupan bermasyarakat adalah aturan perilaku, adat kebiasaaan manusia dalam kehidupan bertetangga dan bermasyarakat antara sesama dan menegaskan mana yang benar dan mana yang salah. Etika dalam masyarakat berkembang sesuai dengan adat istiadat, kebiasaan, nilai, dan perilaku manusia terkait dengan situasi dan realitas yang membudaya dalam kehidupan masyarakat. Etika yang menyoroti secara rasional dan kritis tentang apa yang diharapkan manusia mengenai sesuatu yang bernilai.
Dalam kehidupan bermasyarakat, etika memiliki peranan yang penting. Etika dalam dunia pendidikan sudah dikenal sejak sekolah dasar hingga perguruan tinggi dan menjadi mata pelajaran atau mata kuliah khusus  yang mengajari bagaimana cara bersikap yang baik dimasyarakat. Oleh karena itu alumnus dari sekolah maupun perguruan tinggi manapun sudah seharusnya memiliki pengetahuan moral yang tinggi, tetapi jika sebaliknya, alumnus tersebut dapat digolongkan menjadi seseorang yang salah didik. Peranan etika sebagai suatu ilmu, dapat dijadikan sebagai himpunan teori moral, yang dapat dipraktekkan dalam pergaulan hidup sehari-hari. Bila masyarakat sudah bersedia mematuhinya, maka terbentuklah norma-norma yang digariskan sebagai “suatu hukum moral” dan bersifat mengikat dan etika dapat menjadi unsur pembantu dalam ilmu-ilmu sosial lainnya, terutama pada ilmu hukum dengan objek utamanya yaitu manusia.
Sebagai suatu teori, etika juga diperkaya oleh praktek nyata dalam kehidupan masyarakat. Dengan demikian antara teori dan praktek, dapat saling menyokong dalam pembinaaan moral masyarakat. Tugas utama dari etika itu adalah untuk menentukan kebenaran tentang masalah moral dan bagaimana pandangan atau tanggapan umum terhadap norma-norma moral yang telah digariskan dalam kehidupan masyarakat. Etika menuntut setiap orang untuk bersikap rasional terhadap semua norma yang pada akhirnya membentuk manusia menjadi lebih otonom dan memberikan kemungkinan kepada kita untuk mengambil sikap serta ikut menentukan arah perkembangan masyarakat.
Ada beberapa manfaat etika dalam kehidupan bertetangga dan bermasyarakat. Manfaat tersebut antara lain:
1.   Adanya saling menghargai antar tetangga dalam kehidupan bermasyarakat;
2.   Kehidupan bermasyarakat akan lebih hangat dan harmonis;
3.   Terciptanya kerukunan, rasa saling tolong menolong dan rasa gotong royong antar sesama;
4.   Timbulnya rasa empati kepada sesama tetangga;
5.   Etika memberikan self control bagi manusia agar dapat menyadari apa yang sedang ia lakukan dan tahu apa yang seharusnya dilakukan;
6.   Etika mengajarkan agar manusia dapat mawas diri artinya manusia memperhitungkan apa yang akan dilakukannya dan bagaimana pandangan orang lain terhadap perilakunya.
Dengan demikian etika menjadi tolak ukur dalam menghadapi berbagai perbedaan moral yang ada di masyarakat. Sehingga masyarakat dapat berargumentasi secara rasional dan kritis serta dapat mengambil sikap wajar dalam menghadapi sesamanya.

D.    Maksud dan Tujuan Etika Profesi Hukum
James J. Spillane SJ mengungkapkan bahwa etika atau ethics memperhatikan atau mempertimbangkan tingkah laku manusia dalam pengambilan keputusan moral. Etika mengarahkan atau menghubungkan penggunaan akal budi individual dengan objektivitas untuk menentukan “kebenaran” atau “kesalahan” dan tingkah laku seseorang terhadap orang lain.[4]
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dijelaskan pengertian profesi adalah bidang pekerjaan yang dilandasi pendidikan keahlian (keterampilan, kejuruan, dan sebagainya) tertentu.[5]
Sejalan dengan pengertian profesi di atas, Habeyb menyatakan bahwa profesi adalah pekerjaan dengan keahlian khusus sebagai mata pencarian. Menurut Liliana Tedjosaputro, agar suatu lapangan kerja dapat dikategorikan sebagai profesi, diperlukan:
1.      pengetahuan;
2.      penerapan keahlian (competence of application);
3.      tanggung jawab social (social responsibility);
4.      self control;
5.      pengakuan oleh masyarakat (social sanction);
Selain pendapat Liliana Tedjosaputro diatas, muncul Brandels yang dikutip oleh A. Pattern Jr, untuk dapat disebut sebagai profesi, pekerjaan itu sendiri harus mencerminkan adanya dukungan yang berupa:
1.      ciri-ciri pengetahuan (intellectual character);
2.      diabdikan untuk kepentingan orang lain;
3.      keberhasilan tersebut bukan didasarkan pada keuntungan finansial;
4.      keberhasilan tersebut antara lain menentukan berbagai ketentuan yang merupakan kode etik, serta pula bertanggung jawab dalam memajukan dan penyebaran profesi yang bersangkutan;
5.      ditentukan adanya standar kualifikasi profesi.[6]
Profesi hukum merupakan salah satu dari sekian profesi lain, misalnya profesi dokter, profesi akuntan, profesi teknik, dan lain-lain. Profesi hukum mempunyai ciri tersendiri, karena profesi ini sangat bersentuhan langsung dengan kepentingan manuisa/orang yang lazim disebut “klien”. Profesi hukum dewasa ini memiliki daya tarik tersendiri, akibat terjadinya suatu paradigma baru dalam dunia hukum, yang mengarah kepada peningkatan penegakan hukum. Apalagi dewasa ini isu pelanggaran hak asasi manusia semakin marak diperbincangkan dan telah menjadi wacana publik yang sangat menarik.
Profesi hukum mempunyai keterkaitan dengan bidang-bidang hukum yang terdapat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, misalnya Kehakiman, Kejaksaan, Kepolisian, Mahkamah Agung, serta Mahkamah Konstitusi.
Kehidupan manusia dalam melakukan interaksi sosialnya selalu akan berpatokan pada norma atau tatanan hukum yang berada dalam masyarakat tersebut.  Manakala manusia melakukan interaksinya, tidak berjalan dalam kerangka norma atau tatanan yang ada, maka akan terjadi bias dalam proses interaksi itu. Sebab tidak bisa dipungkiri bahwa manusia memiliki kecenderungan untuk menyimpang dari norma atau tatanan yang ada, karena terpengaruh oleh adanya hawa nafsu yang tidak terkendali. Hal yang sama juga akan berlaku bagi yang namanya profesi, khususnya profesi hukum. Berjalan atau tidaknya penegakan hukum dalam suatu masyarakat tergantung pada baik buruknya profesional hukum yang menjalani profesinya tersebut.
Untuk menghindari jangan sampai terjadi penyimpangan terhadap menjalankan profesi, khususnya profesi hukum, dibentuklah suatu norma yang wajib dipatuhi oleh orang yang bergabung dalam sebuah profesi yang lazim diisebut “Etika Profesi”. Dengan harapan bahwa profesional tersebut tunduk dan patuh terhadap kode etik profesinya. Menurut Notohamidjojo, dalam melaksanakan kewajibannya, profesional hukum perlu memiliki[7]:
a)      sikap manusiawi, artinya tidak menanggapi hukum secara formal belaka, melainkan kebenaran yang sesuai dengan hati nurani;
b)      sikap adil, artinya mencari kelayakan yang sesuai dengan perasaan masyarakat;
c)      sikap patut, artinya mencari pertimbangan untuk menentukan keadilan dalam suatu perkara tersebut;
d)      sikap jujur, artinya menyatakan sesuatu itu benar menurut apa adanya, dan menjauhi yang tidak benar dan tidak patut.
Dengan demikian, profesi hukum dapat didefinisikan profesi yang memiliki kekuasaan yang dibenarkan untuk bersikap dan berperilaku tertentu menurut hukum. Kekuasaan menurut hukum (kewenangan) inilah yang membuat profesi hukum mutlak membutuhkan muatan moralitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan profesi-profesi lain pada umumnya.
Disisi lain, para penyandang profesi hukum senantiasa bersinggungan dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Nilai-nilai tersebut ada yang bersifat tetap, tetapi ada pula yang mengalami perubahan, mengikuti perkembangan masyarakat pada suatu tempat dan waktu tertentu. Nilai-nilai yang tetap ini adalah nilai-nilai dasar, dan yang cenderung berubah itu adalah nilai-nilai instrumentalnya.
Etika profesi hukum menjadi sangat penting untuk dipelajari, terlepas bahwa di luar etika pun sudah tersedia ajaran-ajaran moral (contoh ajaran agama) yang juga mengajarkan kebaikan. Kehadiran etika, termasuk etika profesi tetap diperlukan karena beberapa alasan berikut:[8]
1.      Kita hidup dalam masyarakat yang semakin pluralistik, juga dalam bidang moral, sehingga kita bingung haru mengikuti moralitas yang mana.
2.      Modernisasi membawa perubahan besar dalam struktur kebutuhan dan nilai masyarakat yang akibatnya menantang pandanga-pandangan moral tradisional.
3.      Adanya berbagai ideologi yang menawarkan diri sebagai penuntun hidup, yang masing-masing dengan ajarannya sendiri mengajarkan bagaimana manusia harus hidup.
4.      Etika juga diperlukan oleh kaum agama yang satu pihak diperlukan untuk menemukan dasar kemantapan dalam iman kepercayaan mereka, di lain pihak mau berpartisipasi tanpa takut-takut dan dengan tidak menutup diri dalam semua dimensi kehidupan masyarakat yang sedang berubah itu.
Magnis Suseno memberi penekanan bahwa kendati ajaran moral dalam agama sudah eksis, namun etika dan etika profesi tetap memegang peranan yang tidak kalah pentingnya. Hal inni terjadi karena agama sendiri melakukan keterampillan beretika agar dapat memberikan orientasi dan bukan sekedar indoktrinasi. Empat hal yang melatarbelakangi etika dalam agama yaitu sebagai berikut:[9]
1.      Etika dapat membantu dalam menggali rasionalitas dan moralitas agama.
2.      Etika membantu dalam mengimplementasikan ajaran agama yang saling bertentangan.
3.      Etika dapat membantu menerapkan ajaran moral agama terhadap masalah-masalah baru dalam kehidupan manusia.
4.      Etika dapat membantu mengadakan dialog antar agama karena etika mendasarkan diri pada argumentasi rasional belaka, bukan pada wahyu.
Oleh karena itu perjalanan profesi hukum adalah perjalanan yang sangat dinamis, maka jelas bahwa dalam praktik akan ditemukan hal-hal baru yang tidak sepenuhnya tearatasi hanya melalui pendekatan ajaran-ajaran moral agama. Etika profesi hukum, dengan segala dasar-dasar rasionalitas yang melatarbelakangi akan sangat membantu membuka jalan pemecahan yang dapat diterima semua pihak dari berbaagai kalangan.

E.     Nilai Etika dan Moral Profesi Hukum
1.      Nilai Etika
Telah diuraikan bahwa bahan kajian etika adalah moralitas manusia. Sebelumnya telah disinggung pula, bahwa satuan dari moralitas itu adalah moral. Moral sendiri merupakan salah satu norma (social norms), atau meminjam istilah Hans Kelsen, moral adalah regulation of internal behavior. Jika moral merupakan suatu norma, maka dapat dipastikan moral mengandung nilai-nilai karena norma adalah konkretisasi dari nilai.
Nilai (value) adalah kualitas dari sesuatu yang bermanfaat sesuai dengan kebutuhan atau kepentingan manusia, baik lahir maupun batin. Nilai merupakan masalah penting yang dibahas oleh filsafat, tepatnya oleh cabang filsafat aksiologi. Tidak mengherankan apabila aksiologi disebut problems of human values. Louis O. Kattsof mengartikan aksiologi sebagai ilmu yang menyelidiki hakikat nilai, yang pada umumnya ditinjau dari sudut pandang kefilsafatan. Cabang filsafat ini merupakan salah satu dari tiga cabang pokok filsafat. Dua lainnnya yaitu, ontologi dan epistemologi.[10]
Nilai adalah kualitas suatu hal yang menjadikan hal itu disukai, diinginkan, berguna, dihargai, atau dapat menjadi objek kepentingan. Nilai moral mempunyai tuntutan yang lebih mendesak dan lebih serius. Mewujudkan nilai moral merupakan himbauan hati nurani. Salah satu ciri khas nilai moral adalah timbulnya suara dari hati nurani yang menuduh diri sendiri meremehkan, atau menentang nilai-nilai moral atau menguji diri bila dapat mewujudkan nilai-nilai moral.

2.      Moral Profesi Hukum
Jika dikatakan bahwa hukum pada hakikatnya merupakan norma, dan tiap-tiap norma pasti mengandung nilai, maka sekilas segera terjawab bahwa isi hukum adalah nilai. Nilai yang dimaksud di sini tidak lain sebenarnya merupakan moral, atau dalam lingkup yang lebih luas, moralitas.
Telah dijelaskan sebelumnya bahwa moral adalah hasil penilaian tentang baik buruk manusia sebagai manusia. Pengertian manusia di sini baik secara pribadi (individu) maupun secara berkelompok (masyarakat). Penilaian di sini berarti sesuatu tindakan memberi nilai atau meletakkan suatu kualitas tertentu terhadap seseorang atau masyarakat. Sebagai suatu kompleks dari nilai-nilai atau kumpulan moral, moralitas pada diri seseorang atau suatu masyarakat digunakan dalam dua hal, yakni:
a)      Sebagai standar normatif evaluasi (normative standards of evaluation), dan
b)      Aturan normatif perilaku (normative rules of conduct).
Dari pengertian standar normatif evaluasi dan aturan normatif perilaku, dapat disimpulkan bahwa yang pertama berkaitan dengan aktivitas menilai dalam arti proses, dan kedua dalam arti produk.
Norma hukum berisikan nilai-nilai, yaitu moralitas yang digunakan seseorang individu atau sekelompok masyarakat dalam dua hal tersebut. Norma hukum dapat digunakan untuk mengevaluasi sikap dan perilaku yang pernah dibuat atau untuk mengukur sikap dan perilaku tertentu yang akan dilakukan.
Pada uraian sebelumnya telah dikemukakan bahwa setiap norma hukum seharusnya mempunyai misi atau amanat moralitas yang ingin dicapai melalui norma itu. Disini berarti sampai pada persoalan tujuan hukum. Berbicara tentang tujuan hukum berarti berbicara mengenail nilai-nilai dasar hukum. Radbruch menyatakan bahwa sesuatu yang dibuat pasti memiliki cita atau tujuan. Jadi, hukum dibuat pun ada tujuannya. Tujuan ini merupakan nilai yang ingin diwujudkan manusia. Tujuan hukum yang utama ada tiga, yaitu:
1)      Keadilan,
2)      Kepastian, dan
3)      Kemanfaatan.
Nilai-nilai diatas sebenarnya merupakan moralitas dalam hukum. Norma hukum yang baik memang seharusnya mengandung tiga nilai tersebut, walaupun dalam kenyataannya sering tidak dapat dipenuhi.
Profesi hukum merupakan salah satu profesi yang menuntut pemenuhan nilai moral dan pengembangannya. Nilai moral itu merupakan kekuatan yang mengarahkan dan mendasari perbuatan luhur. Setiap profesional dituntut supaya memiliki nilai moral yang kuat. Franz Magnis Suseno mengemukakan lima kriteria nilai moral yang kuat mendasari kepribadian profesional hukum. Kelima kriteria tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:[11]
1)      Kejujuran. Kejujuran adalah dasar utama. Tanpa kejujuran maka profesional hukum mengingkari misi profesinya, sehingga dia menjadi munafik, licik, penuh tipu diri. Dua sikap yang terdapat dalam kejujuran, yaitu a) sikap terbuka. Ini berkenaan dengan pelayanan klien, kerelaan melayani secara bayaran atau cuma-Cuma; b) sikap wajar. Ini berkenaan dengan perbuatan yang tidak berlebihan, tidak otoriter, tidak sok kuasa, tidak kasar, tidak menindas, dan tidak memeras.
2)      Autentik. Autentik artinya menghayati dan menunjukkan diri sesuai dengan keasliannya, kepribadian yang sebenarnya. Autentik pribadi profesional hukum antara lain: a) tidak menyalahgunakan wewenang; b) tidak melakukan perbuatan yang merendahkan martabat (perbuatan tercela); c) mendahulukan kepentingan klien; d) berani berinisiatif dan berbuat sendiri dengan bijaksana, tidak semata-mata menunggu perintah atasan; e) tidak mengisolasi diri dari pergaulan.
3)      Bertanggung Jawab. Dalam menjalankan tugasnya, profesional hukum wajib bertanggung jawab, artinya a) kesediaan melakukan dengan sebaik mungkin tugas apa saja yang termasuk lingkup profesinya; b) bertindak secara proposional, tanpa membedakan perkara bayaran dan perkara cuma-cuma (prodeo).
4)      Kemandirian. Kemandirian moral artinya tidak mudah terpengaruh atau tidak mudah mengikuti pandangan moral yang terjadi disekitarnya, melainkan membentuk penilaian sendiri. Mandiri secara moral berarti tidak dapat dibeli oleh pendapat mayoritas, tidak terpengaruh oleh pertimbangan untung rugi (pamrih), menyesuaikan diri dengan nilai kesusilaan agama.
5)      Keberanian Moral. Keberanian moral adalah kesetiaan terhadap suatu hati nurani yang menyatakan kesediaan untuk menanggung risiko konflik. Keberanian tersebut antara lain: a) menolak segala bentuk korupsi, kolusi, suap, pungli; b) menolak tawaran damai ditempat atas tilang karena pelanggaran lalu lintas jalan raya: c) menolak segala bentuk cara penyelesaian melalui jalan belakang yang tidak sah..
Bertitik tolak dari pemikiran Magnis Suseno mengenai kriteria moral profesi hukum di atas, terdapat suatu gambaran bahwa seorang yang ingin menekuni profesi hukum secara baik, sangat perlu merenungkan kriteria di atas. Sebab suatu kenyataan yang tidak dapat dibantah bahwa redupnya penegakan hukum di Indonesia diakibatkan oleh adanya segelintir orang yang berprofesi sebagai advokat menyalahgunakan tujuan profesi hukum  yang sangat mulai ini.


[1] Rismawaty, Kepribadian & Etika Profesi, Graha Ilmu, Yogyakarta, 2008, hlm. 63
[2] Soekidjo Notoatmodjo, Etika dan Hukum Kesehatan, Rineka Cipta, Jakarta, 2010, hlm. 2
[3] Rismawaty, Kepribadian & Etika Profesi, Graha Ilmu, Yogyakarta, 2008, hlm. 70
[4] Supriadi, Etika & Tanggung Jawab Profesi Hukum Di Indonesia, Sinar Grafika, 2008, hlm. 7
[5] Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Kedua, Balai Pustaka, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta, 1991, hlm. 789
[6] Supriadi, Etika & Tanggung Jawab Profesi Hukum Di Indonesia, Sinar Grafika, 2008, hlm. 16-17
[7] Abdulkadir Muhammad, Etika Profesi Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997, hlm. 66
[8] Franz Magnis Suseno, Etika Dasar: Masalah-masalah Pokok Filsafat Moral, Kansius, Yogyakarta, 1991 hlm. 15
[9] Franz Magnis Suseno, Etika Dasar: Masalah-masalah Pokok Filsafat Moral, Kansius, Yogyakarta, 1991 hlm. 5
[10] Shidarta, Moralitas Profesi Hukum Suatu Kerangka Berpikir, PT Refika Aditama, Bandung, 2006, hlm. 30
[11] Supriadi, Etika dan Tanggung Jawab Profesi Hukum di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hlm. 19-20

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resume Buku Prof. Peter Mahmud Marzuki "PENELITIAN HUKUM"

ALIRAN SEJARAH HUKUM (Legal Historism)

Pinjam Pakai dan Pinjam Meminjam