Mahzab atau Aliran Hakim Dalam Menimbang dan Memutuskan Suatu Kasus
Mahzab-mahzab Hakim Dalam Mempertimbangkan
& Memutuskan Suatu Kasus
1.
Aliran
Legisme
Cara pandang aliran legisme adalah bahwa semua hukum
terdapat dalam undang-undang. Maksudnya diluar undang-undang tidak ada hukum.
Dengan demikian, hakim dalam melaksanakan tugasnya hanya melakukan pelaksanaan
undang-undang belaka (wetstiopasing),
dengan cara yuridische sylogisme, yakni suatu deduksi logis dari perumusan yang
umum (preposisi mayor) kepada suatu keadaan yang khusus (preposisi minor),
sehingga sampai kepada suatu kesimpulan (konklusi).
Sebagai
contoh:
a) Siapa
saja karena salahannya menyebabkan matinya orang dihukum penjara selama-lamanya
lima tahun (preposisi mayor).
b) Si
Ahmad karena salahnya menyebabkan matinya orang (preposisi minor).
c) Si
Ahmad dihukum penjara selama-lamanya lima tahun (konklusi).
Aliran ini berkeyakinan bahwa semua persoalan sosial
akan dapat diselesaikan dengan undang-undang. Oleh karena itu, mengenai hukum
yang primer adalah pengetahuan tentang undang-undang, sedangkan mempelajari
yurisprudensi adalah sekunder.
2. Aliran Freie Rechtslehre atau Freie Rechtsbewegung
atau Freie Rechtschule
Pandangan Aliran freie
rechtslehre/rechtsbewegung/rechtsschule berbeda cara pandang dengan aliran
legisme. Aliran ini beranggapan, bahwa di dalam melaksanakan tugasnya, seorang
hakim bebas untuk melakukan sesuatu menurut undang-undang atau tidak. Hal ini
dikarenakan pekerjaan hakim adalah menciptakan hukum. Aliran ini beranggapan
bahwa hakim benar-benar sebagai pencipta hukum (judge made law), karena keputusan yang berdasarkan keyakinannya
merupakan hukum. Oleh karena itu, memahami yurisprudensi merupakan hal primer
di dalam mempelajari hukum, sedangkan undang-undang merupakan hal yang
sekunder. Tujuan daripada freie rechtslehre menurut R. Soeroso adalah sebagai
berikut:
¨ Memberikan
peradilan sebaik-baiknya dengan cara member kebebasan kepada hakim tanpa
terikat pada undang-undang, tetapi menghayati tata kehidupan sehari-hari.
¨ Membuktikan
bahwa dalam undang-undang terdapat kekurangan-kekurangan dan kekurangan itu
perlu dilengkapi.
¨ Mengharapkan
agar hakim memutuskan perkara didasarkan kepada rechts ide (cita keadilan).
3.
Aliran
Rechtsvinding (Penemuan Hukum)
Salah satu pokok pandangan modern ini ialah bahwa
bukan sistem perundang-undangan yang merupakan titik tolak, tetapi masalah
kemasyarakatan yang konkrit yang harus dipecahkan. Undang-undang bukanlah
sesuatu yang penuh dengan kebenaran dan jawaban, yang paling tidak membutuhkan
beberapa penafsiran untuk dapat dilaksanakan dalam situasi konkrit, tetapi
lebih merupakan usulan untuk penyelesaian, suatu pedoman dalam penemuan hukum,
dan dalam kaitan itu masih banyak faktor-faktor penting lainnya yang dapat
digunakan untuk penyelesaian masalah-masalah hukum.
Aliran rechtsvinding
adalah suatu aliran yang berada di antara aliran legisme dan aliran freie
rechtslehre/rechtsbewegung/rechtsschule. Aliran ini berpendapat bahwa hakim
terikat pada undang-undang, tetapi tidak seketat sebagaimana pendapat aliran
legisme, sebab hakim juga mempunyai kebebasan.
Dalam hal ini, kebebasan hakim tidaklah seperti
pendapat freie rechtsbewegung, sehingga hakim di dalam melaksanakan tugasnya
mempunyai kebebasan yang terikat. (gebonden
vrijheid), atau keterikatan yang bebas (vrije
gebondenheid). Jadi tugas hakim merupakan melakukan rechtsvinding, yakni menyelaraskan undang-undang yang mempunyai
arti luas.
Kebebasan yang terikat dan keterikatan yang bebas
terbukti dari adanya beberapa kewenangan hakim, seperti penafsiran
undang-undang, menentukan komposisi yang terdiri dari analogi dan membuat
pengkhususan dari suatu asas undang-undang yang mempunyai arti luas.
Menurut aliran rechtsvinding
bahwa yurisprudensi sangat penting untuk dipelajari di samping undang-undang,
karena di dalam yurisprudensi terdapat makna hukum yang konkret diperlukan
dalam hidup bermasyarakat yang tidak ditemui dalam kaedah yang terdapat dalam
undang-undang. Dengan demikian memahami hukum dalam perundang-undangan saja,
tanpa mempelajari yurisprudensi tidaklah lengkap, Namun demikian, hakim
tidaklah mutlak terikat dengan yurisprudensi seperti di negara Anglo Saxon,
yakni bahwa hakim secara mutlak mengikuti yurisprudensi.
4.
Aliran
Begriffsjurisprudenz
Pada pertengahan abad 19 lahirlah aliran yang
dipelopori oleh Rudolf von Jhering (1818-1890) yang menekankan pada sistematik
hukum. Setiap putusan baru dari hakim harus sesuai dengan sistem hukum.
Berdasarkan ketentuan yang dibentuk oleh sistem hukum, maka setiap ketentuan
undang-undang harus dijelaskan dalam hubungannya dengan ketentuan undang-undang
yang lain, sehingga ketentuan-ketentuan undang-undang itu mrupakan satu
kesatuan yang utuh. Menurut aliran ini yang ideal adalah apabila sistem yang
ada itu berbentuk suatu suatu piramida dengan pada puncaknya suatu asas utama,
dari situ dapat dibuat pengertian-pengertian baru (Begriff).
Khas bagi aliran
Begriffsjurisprudenz ini ialah
hukum dilihat sebagai satu sistem tertutup mencakup segala-galanya yang
mengatur semua perbuatan sosial. Pendekatan hukum secara ilmiah dengan sarana
pengerian-pengertian yang diperhalus ini merupakan dorongan timbulnya
postivisme hukum, tetapi juga memberi argumentasi-argumentasi yang berasal dari
ilmu hukum, dan dengan demikian obyektif, sebagai dasar putusan-putusan.
Pasal-pasal yang tidak sesuai dengan sistem dikembangkan secara “ilmiah” dan
diterapkan inttepretasi restriktif.
5.
Aliran
Interessenjurisprudenz
Sebagai reaksi terhadap Begriffsjurisprudenz lahirlah
pada abad ke 19 di Jerman Interessenjurisprudenz, suatu aliran yang menitikberatkan pada
kepentingan-kepentingan (Interessen) yang difiksikan. Oleh karena itu aliran
ini disebut Interessenjurisprudenz.
Interessenjurisprudenz ini mengalami masa jayanya sebagai aliran ilmu
hukum pada dasawarsa pertama abad ke 20 di Jerman.
Aliran ini berpendapat bahwa peraturan hukum tidak
boleh dilihat oleh hakim sebagai formil-logis belaka, tetapi harus dinilai
menurut tujuannya. Menyadari bahwa sistematisasi hukum tidak boleh
dibesar-besarkan, maka von Jhering mengarah kepada tujuan yang terdapat di
belakang sistem dan merealisasi “idée keadilan dan kesusilaan yang ta’ mengenal
waktu”. Aliran ini berpendapat bahwa tujuan hukum pada dasarnya adalah untuk
melindungi, memuaskan atau memenuhi kepentingan atau kebutuhan hidup yang
nyata. Dalam putusannya hakim harus bertanya kepentingan manakah yang diatur atau
dimaksudkan oleh pembentuk undang-undang. Philip Heck, yang termasuk salah
seorang penganut aliran ini, berpendapat bahwa tanpa pengetahuan tentang
kepentingan sosial, moral, ekonomi kultural dan kepentingan lainnya, dalam
peristiwa tertentu atau yang berhubungan dengan peraturan tertentu, pelaksanaan
atau penerapan hukum yang tepat dan berarti, tidak mungkin.
Pembentuk undang-undang sewaktu merumuskan peraturan
telah mempertimbangkan pelbagai kepentingan dan akhirnya mengambil pilihan.
Dalam ketentuan undang-undang telah ditetapkan kepentingan-kepentingan mana
yang dimata pembentuk undang-undang itu
mempunyai nilai. Apabila kemudian diminta putusan dari hakim (dalam konflik
kepentingan), maka ia harus menyesuaikan dengan ukuran nilai yang dimuat dalam
undang-undang. Ia tidak boleh atas kemauannya sendiri menilai kepentingan
konkrit pihak-pihak yang bersangkutan, akan tetapi mengeluarkan unsur-unsur itu
yang telah dinilai oleh pembentuk undang-undang dan berkaitan dengan itu
mengambil putusan. Yang menentukan terutama adalah selalu penilaian oleh
pembentuk undang-undang. Hakim dalam putusannya harus bertanya kepentingan
manakah yang diatur atau dimaksudkan oleh pembentuk undang-undang.
Komentar
Posting Komentar