PERJANJIAN JUAL BELI DAN PERJANJIAN KREDIT
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah
Hokum
perikatan merupakan hokum yang mengatur mengenai perjanjian antara dua orang
atau lebih, yang dimana regulasi aturan-aturan dalam pernjanjian di atur dalam Burgelijk Wetboek pada buku III.
Dalam
hokum perikatan terdapat pula yang disebut dengan perikatan atau perjanjian
khusus yaitu perjanjian beli dan perjanjian kredit
Perjanjian
jual beli dan kredit berbeda sehingga, pada makalah ini akan membahas mengenai
teori perikatan khusus secara mendasar serta pembahsan yang lebih komprehensif.
B.
Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan perjanjian
jual beli?
2. Apa yang dimaksud dengan perjanjian
kredit?
C.
Tujuan Pembahasan
1. Mengetahui dan memahami perjanjian
jual beli
2. Mengetaui serta memahami perjanjian
kredit
BAB II
ISI
Perjanjian-perjanjian
khusus yang ada dalam KUHPerdata disebutkan dalam buku ke- III, dimulai pada
Bab ke-V sampai pada Bab ke-XVIII. Adapun penjelasan-penjelasan lebih rinci
mengenai bentuk-bentuk perjanjian khusus tersebut adalah sebagai berikut:
A.Pengertian Perjanjian Jual Beli.
Jual beli
termasuk dalam kelompok perjanjian bernama, artinya undang-undang telah
memberikan nama tersendiri dan memberikan pengaturan secara khusus terhadap
perjanjian ini. Pengaturan perjanjian bernama dapat diatur dalam Kitab
Undang-undang Hukum Perdata maupun Kitab Undang-undang Hukum Dagang. Perjanjian
jual beli diatur dalam pasal 1457-1540 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Menurut pasal 1457 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, jual beli adalah suatu
persetujuan yang mengikat pihak penjual berjanji menyerahkan sesuatu barang /
benda, dan pihak lain yang bertindak sebagai pembeli mengikat diri berjanji
untuk membayar harga. Dari pengertian yang diberikan pasal 1457 diatas,
persetujuan jual beli sekaligus membebankan dua kewajiban yaitu:[1]
1. Kewajiban pihak penjual menyerahkan
barang yang dijual kepada
pembeli.
2. Kewajiban pihak pembeli membayar
harga barang yang dibeli
kepada
penjual. Menurut Salim H.S., S.H.,M.S., Perjanjian jual beli adalah Suatu Perjanjian yang dibuat antara pihak penjual dan
pihak pembeli. Di dalam perjanjian itu
pihak penjual berkewajiban untuk menyerahkan objek jual
Menurut
Salim H.S., S.H.,M.S., Perjanjian jual beli adalah Suatu Perjanjian yang dibuat
antara pihak penjual dan pihak pembeli.[2]
Di dalam perjanjian itu pihak penjual berkewajiban untuk menyerahkan objek jual
beli kepada pembeli dan berhak menerima harga dan pembeli berkewajiban untuk
membayar harga dan berhak menerima objek tersebut.[3]
Unsur
yang terkandung dalam defenisi tersebut adalah :
1. Adanya subjek hukum, yaitu penjual
dan pembeli Unsur yang terkandung dalam defenisi tersebut adalah :
2. Adanya kesepakatan antara penjual
dan pembeli tentang barang dan harga
3. Adanya hak dan kewajiban yang timbul
antara pihak penjual dan pembeli
Unsur pokok
dalam perjanjian jual beli adalah barang dan harga, dimana antara penjual dan
pembeli harus ada kata sepakat tentang harga dan benda yang menjadi objek jual
beli. Suatu perjanjian jual beli yang sah lahir apabila kedua belah pihak telah
setuju tentang harga dan barang. Sifat konsensual dari perjanjian jual beli
tersebut ditegaskan dalam pasal 1458 yang berbunyi “ jual beli dianggap sudah
terjadi antara kedua belah pihak seketika setelah mereka mencapai kata sepakat
tentang barang dan harga, meskipun barang ini belum diserahkan maupu n harganya
belum dibayar”[4].
Apabila
terjadi kesepakatan mengenai harga dan barang namun ada hal lain yang tidak
disepakati yang terkait dengan perjanjian jual beli tersebut, jual beli tetap
tidak terjadi karena tidak terjadi kesepakatan. Akan tetapi, jika para pihak
telah menyepakati unsur esensial dari perjanjian jual belitersebut, dan para
pihak tidak mempersoalkan hal lainnya, klausul-klausul yang dianggap berlaku
dalam perjanjian tersebut merupakan ketentuan-ketentuan tentang jual beli
yang ada dalam perundang-undangan (BW) atau biasa disebut unsur naturalia.
Walaupun telah terjadi
persesuaian antara kehendak dan pernyataan, namun belum tentu barang itu
menjadi milik pembeli, karena harus diikuti proses penyerahan (levering) benda yang tergantung kepada jenis bendanya
yaitu : [5]
1. Benda Bergerak
Penyerahan
benda bergerak dilakukan dengan penyerahan nyata dan kunci atas benda tersebut.
2. Piutang
atas nama dan benda tak bertubuh
Penyerahan
akan piutang atas nama dan benda tak bertubuh lainnya dilakukan dengan sebuah
akta otentik atau akta di bawah tangan.
3. Benda
tidak bergerak
Untuk benda
tidak bergerak, penyerahannya dilakukan dengan pengumuman akan akta yang
bersangkutan, di Kantor Penyimpan Hipotek.
A.
Asas-asas dan Syarat Perjanjian Jual Beli
Asas-asas
yang terdapat dalam suatu perjanjian umumnya terdapat dalam perjanjian jual
beli. Dalam hukum perjanjian ada beberapa asas, namun secara umum asas
perjanjian ada lima yaitu : [6]
1.
Asas Kebebasan Berkontrak
Asas Kebebasan Berkontrak dapat
dilihat dalam Pasal 1338 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang berbunyi
“ Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi
mereka yang membuatnya”. Asas Kebebasan berkontrak adalah suatu asas yang
memberikan kebebasan kepada para pihak untuk :
a.
Membuat atau tidak membuat perjanjian,
b.
Mengadakan perjanjian dengan siapa pun,
c.
Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan,
dan persyaratannya, dan
d.
Menentukan bentuknya perjanjian, yaitu tertulis atau lisan.
Asas kebebasan berkontrak merupakan
asas yang paling penting di dalam perjanjian karena di dalam asas ini tampak
adanya ungkapan hak asasi manusia dalam membuat suatu perjanjian serta memberi
peluang bagi perkembangan hukum perjanjian
suatu perjanjian serta
memberi peluang bagi perkembangan hukum perjanjian.
2.
Asas Konsensualisme
Asas konsensualisme dapat dilihat
dalam pasal 1320 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Dalam pasal
tersebut dinyatakan bahwa salah satu syarat adanya suatu perjanjian adalah
adanya kesepakatan dari kedua belah pihak.[7] Asas
konsensualisme mengandung pengertian bahwa suatu perjanjian pada umumnya tidak
diadakan secara formal melainkan cukup dengan kesepakatan antara kedua belah
pihak saja. Kesepakatan merupakan persesuaian antara kehendak dan pernyataan
dari kedua belah pihak.
3.
Asas mengikatnya suatu perjanjian
Asas ini
terdapat dalam pasal 1338 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dimana
suatu perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi
pembuatnya. Setiap orang yang membuat kontrak, dia terikat untuk memenuhi
kontrak tersebut karena kontrak tersebut mengandung janji-janji yang harus
dipenuhi dan janji tersebut mengikat para pihak sebagaimana mengikatnya
undang-undang.
4.
Asas iktikad baik (Goede Trouw)
Perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikad
baik (Pasal 1338 ayat
(3)
KUHPerdata). Iktikad baik ada dua yaitu : [8]
a.
Bersifat
objektif, artinya mengindahkan
kepatutan dan kesusilaan.
Contoh, Si A melakukan
perjanjian dengan si B membangun rumah. Si A ingin memakai keramik cap gajah
namun di pasaran habis maka diganti cap semut oleh si B.
b.
Bersifat subjektif, artinya ditentukan
sikap batin seseorang. Contoh, si A inginmembeli motor, kemudian datanglah si B
(penampilan preman) yang mau menjual
motor tanpa surat-surat dengan harga sangat murah.
Si A tidak mau membeli karena
takut bukan barang halal atau barang
tidak legal.
5.
Asas Kepribadian
Pada umumnya
tidak seorang pun dapat mengadakan perjanjian kecuali untuk dirinya sendiri.
Pengecualiannya terdapat dalam pasal 1317 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tentang
janji untuk pihak ketiga.
Namun, menurut Mariam Darus ada 10 asas
perjanjian, yaitu : [9]
1.
Kebebasan mengadakan perjanjian
2.
Konsensualisme
3.
Kepercayaan
4.
Kekuatan
Mengikat
5.
Persamaan
Hukum
6.
Keseimbangan
7.
Kepastian
Hukum
8.
Moral
9.
Kepatutan
10.
Kebiasaan
Perdata
merupakan syarat sahnya perjanjian jual beli dimana perjanjian jual beli
merupakan salah satu jenis dari perjanjian. Pasal 1320 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata menyatakan bahwa syarat Syarat sahnya suatu perjanjian seperti
yang terdapat dalam pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum dari sahnya perjanjian
adalah :
1.
Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
Syarat pertama untuk sahnya suatu
perjanjian adalah adanya suatu kesepakatan atau konsensus pada para pihak. Yang
dimaksud dengan kesepakatan adalah persesuaian kehendak antara para pihak dalam
perjanjian. Jadi dalam hal ini tidak boleh adanya unsur pemaksaan kehendak dari
salah satu pihak pada pihak lainnya. Sepakat
juga dinamakan suatu perizinan,
terjadi oleh karena kedua
belah pihak sama sama setuju mengenai hal-hal yang pokok dari suatu
perjanjian yang diadakan. Dalam hal ini kedua belah pihak menghendaki sesuatu
yang sama secara timbal balik. Ada lima cara terjadinya persesuaian kehendak,
yaitu dengan :[10]
a.
Bahasa yang sempurna dan tertulis
b.
Bahasa yang sempurna secara lisan
c.
Bahasa yang tidak sempurna asal dapat
diterima oleh pihak lawan.
Karena dalam kenyataannya
seringkali seseorang menyampaikan dengan bahasa yang tidak sempurna tetapi
dimengerti oleh pihak lawannya.
d.
Bahasa isyarat asal dapat
diterima oleh pihak lawannya
e.
Diam atau membisu, tetapi asal
dipahami atau diterima pihak lawan Berdasarkan hal tersebut maka dapat disimpulkan bahwa terjadinya
kesepakatan dapat terjadi secara tertulis dan tidak tertulis . Seseorang yang
melakukan kesepakatan secara tertulis biasanya dilakukan dengan akta otentik
maupun akta di bawah tangan. Akta di bawah tangan adalah akta yang dibuat oleh
para pihak tanpa melibatkan pejabat yang berwenang membuat akta. Sedangkan akta
otentik adalah akta yang dibuat oleh atau dihadapan pejabat yang berwenang.
Menurut
pasal 1321 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, kata sepakat tidak didasarkan
atas kemauan bebas / tidak sempurna apabila didasarkan :
a.
Kekhilafan (dwaling)
b.
Paksaan
(geveld)
c.
Penipuan
(bedrog)
Dengan
adanya kesepakatan, maka perjanjian tersebut telah ada dan mengikat bagi kedua
belah pihak serta dapat dilaksanakan.
2.
Cakap untuk membuat suatu perjanjian
Cakap
artinya adalah kemampuan untuk melakukan suatu perbuatan hukum yang dalam hal ini
adalah membuat suatu perjanjian. Perbuatan hukum adalah segala perbuatan yang
dapat menimbulkan akibat hukum. Orang yang cakap untuk melakukan perbuatan
hukum adalah orang yang sudah dewasa. Ukuran kedewasaan adalah berumur 21 tahun sesuai dengan pasal 330 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata. Dalam pasal 1330
disebutkan bahwa orang yang tidak cakap untuk melakukan perbuatan hukum adalah :
a.
Orang yang belum dewasa
b.
Orang yang dibawah pengampuan
c.
Seorang istri.
Namun
berdasarkan fatwa Mahkamah Agung, melalui
Surat Edaran Mahkamah Agung No.3/1963 tanggal 5 September 1963, orang-orang
perempuan tidak lagi digolongkan sebagai yang tidak cakap. Mereka berwenang
melakukan perbuatan hukum tanpa bantuan atau izin suaminya.
3.
Suatu hal
tertentu
Suatu hal tertentu disebut juga
dengan objek perjanjian. Objek perjanjian harus
jelas dan ditentukan
oleh para pihak
yang dapat berupa
barang maupun jasa namun juga dapat berupa tidak berbuat sesuatu. Objek
Perjanjian juga biasa disebut dengan Prestasi. Prestasi terdiri atas :[11]
a.
memberikan sesuatu, misalnya membayar
harga, menyerahkan barang.
b.
berbuat sesuatu, misalnya memperbaiki
barang yang rusak, membangun rumah, melukis suatu lukisan yang dipesan.
c.
tidak berbuat sesuatu, misalnya perjanjian
untuk tidak mendirikan suatu bangunan,
perjanjian untuk tidak menggunakan merek dagang tertentu.
Prestasi dalam suatu
perikatan harus memenuhi syarat-syarat : [12]
a.
Suatu prestasi harus merupakan suatu
prestasi yang tertentu, atau sedikitnya dapat ditentukan jenisnya. Misalnya : A
menyerahkan beras kepada B 1 kwintal.
b.
Prestasi harus dihubungkan dengan suatu kepentingan.
Tanpa suatu
kepentingan orang tidak dapat mengadakan tuntutan. Misalnya Concurrentie Beding (syarat untuk tidak
bersaingan). Contoh: A membeli pabrik sepatu dari B dengan syarat bahwa B tidak
boleh mendirikan pabrik yang memproduksi sepatu pula. Karena A menderita kerugian, maka pabrik sepatu diganti
dengan produk lain. Dalam hal ini B
boleh mendirikan pabrik sepatu lagi, karena
antara A dan B sekarang tidak ada kepentingan
lagi.
c.
Prestasi harus diperbolehkan oleh
Undang-Undang, kesusilaan, dan ketertiban umum.
d.
Prestasi harus mungkin dilaksanakan.
4.
Suatu sebab yang halal
Di dalam
Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum perdata tidak dijelaskan pengertian sebab
yang halal. Yang dimaksud
dengan sebab yang halal adalah bahwa isi
perjanjian tersebut tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan,
kesusilaan dan ketertiban umum.
Syarat
pertama dan kedua merupakan syarat subjektif karena berkaitan dengan subjek
perjanjian dan syarat ketiga dan keempat merupakan syarat objektif karena
berkaitan dengan objek perjanjian. Apabila syarat pertama dan syarat kedua
tidak terpenuhi, maka perjanjian itu dapat diminta pembatalannya. Pihak yang
dapat meminta pembatalan itu adalah pihak yang
tidak cakap atau
pihak yang memberikan
ijinnya secara tidak bebas[13].
Sedangkan
apabila syarat ketiga dan keempat tidak terpenuhi maka akibatnya adalah
perjanian tersebut batal demi hukum artinya perjanjian tersebut dianggap tidak
pernah ada, sehingga para pihak tidak bisa menuntut apabila terjadi masalah di
kemudian hari.
B.
Subjek dan Objek Perjanjian
Jual Beli
Perjanjian jual
beli adalah merupakan perbuatan hukum. Subjek dari
perbuatan hukum adalah Subjek Hukum. Subjek Hukum terdiri dari manusia dan badan hukum. Oleh sebab itu, pada
dasarnya semua orang atau badan hukum dapat menjadi subjek dalam perjanjian
jual beli yaitu sebagai penjual dan pembeli, dengan syarat yang bersangkutan telah dewasa dan atau
sudah menikah. Namun secara yuridis ada beberapa orang yang tidak diperkenankan
untuk melakukan perjanjian jual beli, sebagaimana
dikemukakan berikut ini:[14]
1.
Jual beli Suami istri
Pertimbangan
hukum tidak diperkenankannya jual beli antara suami istri adalah karena sejak
terjadinya perkawinan, maka sejak saat itulah terjadi pencampuran harta, yang
disebut harta bersama kecuali ada perjanjian kawin. Namun ketentuan tersebut
ada pengecualiannya yaitu:
a.
Jika
seorang suami atau
istri menyerahkan benda-benda
kepada
isteri atau suaminya, dari
siapa ia oleh Pengadilan telah dipisahkan untuk memenuhi apa yang menjadi hak
suami atau istri menurut hukum.
b.
Jika penyerahan dilakukan oleh seorang
suami kepada isterinya, juga dari siapa ia dipisahkan
berdasarkan pada suatu alasan yang sah, misalnya mengembalikan benda-benda si
istri yang
telah dijual atau uang
yang menjadi kepunyaan istri, jika benda
itu dikecualikan dari persatuan.
c.
Jika si istri menyerahkan barang-barang
kepada suaminya untuk melunasi sejumlah uang yang ia telah janjikan kepada suaminya sebagai harta perkawinan.
2.
Jual beli oleh para Hakim, Jaksa, Advokat,
Pengacara, Juru Sita dan Notaris. Para Pejabat ini tidak diperkenankan
melakukan jual beli hanya terbatas pada benda-benda atau barang dalam sengketa.
Apabila hal itu tetap dilakukan, maka jual
beli itu dapat dibatalkan, serta dibebankan untuk penggantian biaya, rugi dan bunga.
3.
Pegawai yang memangku jabatan umum
Yang dimaksud dalam hal ini
adalah membeli untuk kepentingan sendiri terhadap barang yang dilelang.
Objek jual Beli
Yang dapat menjadi objek dalam jual
beli adalah semua benda bergerak dan
benda tidak bergerak, baik menurut tumpukan, berat, ukuran, dan timbangannya.
Sedangkan yang tidak diperkenankan
untuk diperjualbelikan adalah :[15]
a.
Benda atau barang orang lain
b.
Barang yang tidak diperkenankan oleh
undang-undang seperti obat terlarang
c.
Bertentangan dengan ketertiban, dan
d.
Kesusilaan yang baik
Pasal 1457 Kitab Undang-Undang hukum
Perdata memakai istilah zaak untuk
menentukan apa yang dapat menjadi objek jual beli. Menurut pasal 499 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata, zaak adalah barang atau hak yang dapat dimiliki. Hal tersebut berarti bahwa yang dapat
dijual dan
dibeli tidak hanya barang yang dimiliki, melainkan juga suatu hak
atas suatu barang yang bukan hak milik.
C.
Hak dan Kewajiban para pihak
dalam perjanjian Jual Beli
Hak dari
Penjual menerima harga barang yang telah dijualnya dari pihak pembeli sesuai
dengan kesepakatan harga antara kedua belah pihak. Sedangkan Kewajiban Penjual
adalah sebagai berikut :
1.
Menyerahkan hak milik atas barang yang diperjualbelikan
Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata mengenal tiga jenis benda yaitu benda bergerak, benda tidak bergerak
dan benda tidak bertubuh maka penyerahan hak miliknya juga ada tiga macam yang
berlaku untuk masing-masing barang tersebut yaitu :[16]
·
Penyerahan Benda Bergerak
Mengenai Penyerahan benda
bergerak terdapat dalam pasal 612 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menyatakan Penyerahan kebendaan
bergerak, terkecuali yang tak bertubuh dilakukan dengan penyerahan yang nyata
akan kebendaan itu oleh atau atas nama pemilik, atau dengan penyerahan kunci-kunci dari
bangunan dalam mana kebendaan itu berada.
·
Penyerahan Benda Tidak Bergerak
Mengenai
Penyerahan benda tidak bergerak diatur dalam Pasal 616-620 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata yang menyebutkan bahwa penyerahan barang tidak bergerak dilakukan
dengan balik nama. Untuk tanah dilakukan dengan Akta PPAT sedangkan yang lain
dilakukan dengan akta notaris.
·
Penyerahan Benda Tidak Bertubuh
Diatur dalam
pasal 613 KUH. Perdata yang menyebutkan penyerahan akan piutang atas nama
dilakukan dengan akta notaris atau akta dibawah tangan yang harus diberitahukan
kepada dibitur secara tertulis, disetujui dan diakuinya. Penyerahan tiap-tiap piutang karena surat bawa dilakukan
dengan penyerahan surat itu, penyerahan tiap-tiap piutang karena surat tunjuk
dilakukan dengan penyerahan surat disertai dengan endosemen.
2.
Menanggung kenikmatan tenteram atas barang
tersebut dan menanggung terhadap cacat-cacat
tersembunyi.Pasal 30 sampai dengan pasal 52 United Nations Convention on
Contract for the International Sale of Goods mengatur tentang
kewajiban pokok dari penjual yaitu sebagai berikut :[17]
a.
Menyerahkan barang
b.
Menyerahterimakan dokumen
c.
Memindahkan Hak Milik
Hak dari Pembeli adalah menerima
barang yang telah dibelinya, baik secara nyata maupun secara yuridis. Di dalam
Konvensi Perserikatan Bangsa- Bangsa tentang Penjualan barang-barang
Internasional (United Nations Convention
on Contract for the International Sale of Goods) telah diatur tentang
kewajiban antara penjual dan pembeli. Pasal 53 sampai 60 United Nations Convention on Contract for the International Sale of
Goods mengatur tentang kewajiban pembeli. Ada 3 kewajiban pokok pembeli
yaitu:
a.
Memeriksa barang-barang yang dikirim oleh Penjual
b.
Membayar harga barang sesuai dengan kontrak
c.
Menerima penyerahan barang seperti disebut
dalam kontrak Kewajiban pembeli untuk membayar harga barang termasuk tindakan
mengambil langkah-langkah dan melengkapi dengan formalitas yang mungkin
dituntut dalam kontrak atau oleh hukum dan peraturan untuk memungkinkan
pelaksanaan pembayaran. Tempat pembayaran di tempat yang disepakati kedua belah pihak.
Kewajiban Pihak Pembeli
adalah :
a.
Membayar harga barang yang dibelinya
sesuai dengan janji yang telah dibuat
b.
Memikul biaya yang ditimbulkan dalam jual beli, misalnya ongkos antar, biaya akta dan sebagainya kecuali kalau
diperjanjikan sebaliknya.
Oleh sebab itu dapat disimpulkan
bahwa Kewajiban dari pihak pembeli adalah merupakan Hak bagi pihak Penjual dan
sebaliknya Kewajiban dari Pihak Penjual adalah merupakan hak bagi pihak
Pembeli.
D. Bentuk bentuk Perjanjian Jual Beli
Pada
umumnya perjanjian tidak terikat kepada suatu bentuk tertentu, dapat dibuat
secara lisan dan tulisan yang dapat bersifat sebagai alat bukti apabila terjadi
perselisihan. Untuk beberapa perjanjian tertentu undang-undang menentukan suatu
bentuk tertentu, sehingga apabila bentuk itu tidak dituruti maka perjanjian itu
tidak sah. Dengan demikian bentuk tertulis tidaklah hanya semata-mata merupakan
alat pembuktian saja, tetapi merupakan syarat untuk adanya perjanjian tersebut.
Misalnya perjanjian mendirikan Perseroan Terbatas harus dengan akta Notaris.
Bentuk perjanjian jual beli ada dua yaitu :
1.
Lisan, yaitu dilakukan secara lisan dimana
kedua belah pihak bersepakat untuk mengikatkan dirinya melakukan perjanjian
jual beli yang dilakukan secara lisan.
2.
Tulisan, yaitu
Perjanjian Jual beli dilakukan secara tertulis biasanya dilakukan dengan
akta autentik maupun dengan akta di bawah tangan.
Akta Autentik adalah suatu akta yang dibuat
di dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau di
hadapan pegawai-pegawai umum yang
berkuasa untuk itu di tempat dimana akta dibuatnya.[18]
Mengenai Akta Autentik diatur dalam pasal 1868 Kitab Undang-undang Hukum
Perdata. Berdasarkan inisiatif pembuatnya akta autentik dibagi menjadi dua,
yaitu :
1.
Akta Pejabat (acte amtelijke)
Akta Pejabat adalah akta yang dibuat oleh pejabat yang diberi wewenang untuk itu dengan mana
pejabat tersebut menerangkan apa yang dilihat serta apa yang dilakukannya. Jadi inisiatifnya tidak berasal dari orang yang namanya diterangkan
di dalam akta itu. Contohnya Akta Kelahiran.
2.
Akta Para Pihak (acte partij)
Akta Para
Pihak adalah akta yang inisiatif pembuatannyadari para pihak di hadapan pejabat
yang berwenang. Contohnya akta sewa menyewa.
Akta di bawah tangan adalah akta yang dibuat
untuk tujuan pembuktian namun
tidak
dibuat di hadapan
pejabat yang berwenang.[19] Akta di
bawah tanga mempunyai
kekuatan pembuktian berdasarkan pengakuan dari para pihak yang membuatnya. Hal
ini bermakna kekuatan pembuktian akta di bawah tangan dapat dipersamakan dengan
akta autentik sepanjang para pembuat akta dibawah tangan mengakui dan
membenarkan apa yang telah ditandatanganinya. Dengan kata lain akta di bawah
tangan merupakan akta perjanjian yang baru memiliki kekuatan hukum pembuktian
apabila diakui oleh pihak-pihak yang menandatanganinya sehingga agar
akta perjanjian tersebut tidak
mudah dibantah, maka diperlukan pelegalisasian oleh
notaris, agar memiliki kekuatan hukum pembuktian yang kuat seperti akta
autentik.
Perbedaan prinsip antara
akta di bawah tangan dengan akta otentik adalah karena jika pihak lawan
mengingkari akta tersebut, akta di bawah tangan selalu dianggap palsu sepanjang
tidak dibuktikan keasliannya, sedangkan akta otentik selalu dianggap asli,
kecuali terbukti kepalsuannya.[20]
Maksudnya adalah bahwa jika suatu akta
di bawah tangan
disangkal oleh pihak lain, pemegang akta dibawah tangan harus dapat membuktikan
keaslian dari akta di bawah tangan tersebut, Sedangkan apabila akta otentik
disangkal oleh pihak lain, pemegang akta otentik tidak perlu membuktikan
keaslian akta tersebut tetapi pihak yang menyangkali yang harus membuktikan
bahwa akta otentik tersebut adalah palsu. Oleh karena itu, pembuktian akta di
bawah tangan disebut pembuktian keaslian sedangkan pembuktian akta otentik
adalah pembuktian kepalsuan.
E.
Risiko dalam perjanjian jual beli
Di dalam
hukum dikenal suatu ajaran yang dinamakan dengan Resicoleer. Resicoleer adalah
suatu ajaran , yaitu seseorang berkewajiban memikul kerugian, jika ada sesuatu
kejadian di luar kesalahan salah satu pihak yang menimpa benda yang menjadi
objek perjanjian. Risiko dalam Perjanjian
jual beli tergantung
pada jenis barang yang diperjualbelikan,
yaitu apakah :
a.
Barang telah ditentukan
Mengenai risiko dalam jual beli
terhadap barang tertentu diatur dalam
pasal 1460 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Hal pertama yang harus
dipahami adalah pengertian dari barang tertentu tersebut. Yang dimaksudkan dengan barang tertentu
adalah barang yang pada waktu perjanjian dibuat sudah ada dan ditunjuk oleh
pembeli.[21]Mengenai
barang seperti itu pasal 1460 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menetapkan
bahwa risiko terhadap barang tersebut ditanggung oleh si pembeli meskipun
barangnya belum diserahkan.
b.
Barang
tumpukan
Barang yang
dijual menurut tumpukan, dapat dikatakan sudah dari semula dipisahkan dari
barang-barang milik penjual lainnya, sehingga sudah dari semula dalam keadaan
siap untuk diserahkan kepada pembeli.
Oleh sebab itu dalam hal
ini, risiko diletakkan kepada si pembeli karena barang-barang tersebut telah
terpisah.
c.
Barang yang dijual berdasarkan timbangan,
ukuran atau jumlah
Barang yang masih harus ditimbang
terlebih dahulu, dihitung atau diukur sebelumnya dikirim (diserahkan) kepada si
pembeli, boleh dikatakan baru dipisahkan dari barang-barang milik si penjual
lainnya setelah dilakukan penimbangan, penghitungan atau pengukuran. Setelah
dilakukannya penimbangan, penghitungan atau pengukuran, maka segala risiko yang
terjadi pada barang tersebut adalah merupakan tanggung jawab dari si pembeli.
Sebaliknya apabila barang tersebut belum dilakukan penimbangan, penghitungan
atau pengukuran maka segala risiko yang ada pada barang tersebut merupakan
tanggungjawab dari pihak penjual. Hal ini diatur dalam pasal 1461KUHPerdata.
B.
Perjanjian Kredit
1. Pengertian Perjanjian Kredit
Berdasarkan Pasal 1754 Kitab
Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata) terdapat istilah perjanjian
pinjam-meminjam, yang dinyatakan sebagai berikut:
Pinjam-meminjam adalah perjanjian dengan mana pihak yang
satu memberikan pihak yang lain suatu jumlah tertentu barang-barang yang
menghabis karena pemakaian,dengan syarat bahwa pihak yang belakangan ini akan
mengembalikan sejumlah yang sama dari macam dan keadaan yang sama pula.
Perjanjian Kredit adalah perjanjian
pendahuluan dari penyerahan uang. Perjanjian pendahuluan ini merupakan hasil
permufakatan antara pemberi dan penerima pinjaman mengenai hubungan-hubungan
hukum antar keduanya[22].
Oleh karena itu, pengertian perjanjian kredit tidak terbatas pada apa yang
telah dijelaskan diatas akan tetapi lebih luas lagi penafsirannya. Perjanjian
kredit dapat juga disebut perjanjian pokok (prinsipil) yang bersifat riil.
Sebagai perjanjian prinsipiil, maka perjanjian jaminannya adalah assesoirnya.
Ada dan berakhirnya perjanjian
jaminan bergantung pada perjanjian pokok. Arti riil ialah bahwa terjadinya
perjanjian kredit ditentukan oleh penyerahan uang oleh bank kepada nasabah
debitor.[23]
Sehingga dapat dikatakan juga
perjanjian kredit merupakan perjanjian baku, dengan di sana sini diadakan
penyesuaian seperlunya.
Biasanya pihak bank telah mempunyai
draft tersendiri, dimana para pihak dapat mengisi data pribadi dan data tentang
pinjaman yang diambil, sedangkan jangka waktu dan bentuknya sudah dicetak
secara baku. Apabila debitur menerima semua ketentuan dan persyaratan yang
ditentukan oleh bank, maka debitur berkewajiban untuk menandatangani perjanjian
kredit tersebut.
Apabila debitur menolak, maka
debitur tidak perlu untuk menandatangani perjanjian kredit tersebut.
Selanjutnya untuk dapat terjadinya suatu perjanjian, maka ada beberapa syarat
yang harus dipenuhi salah satunya adalah sepakat, sehingga dengan
ditandatanganinya perjanjian kredit tersebut berarti berlakulah perjanjian
kredit antara kreditur dan debitur.
2. Isi Perjanjian Kredit
Pada praktek isi perjanjian kredit
berbeda-beda antara satu bank dengan bank lainnya, disesuaikan dengan kebutuhan
masing-masing. Perjanjian kredit tersebut dapat mengacu pada
ketentuan-ketentuan dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata), dapat
pula berdasarkan atas kesepakatan bersama, akan tetapi untuk aturan-aturan yang
memaksa harus sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam KUHPerdata.
Hal-hal yang dicantumkan dalam
perjanjian kredit meliputi definisi serta istilah-istilah yang akan digunakan
dalam perjanjian. Jumlah dan batas waktu pinjaman, pembayaran kembali pinjaman
(repayment), hak si peminjam dan dendanya apabipa debitur lalai membayar
bungan, terakhir dicantumkan berbagai klausula seperti hukum yangberlaku untuk
perjanjian tersebut.[24]
3. Subyek-subyek dalam perjanjian
kredit
a.
Pemberi Kredit (kreditur)
Berdasarkan Pasal 1 butir 12
Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 menyebutkan bahwa bank adalah badan usaha
yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya
kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam
rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.
berdasarkan Undang-undang tersebut
diatas, maka yang dimaksud kreditur adalah Bank. Selanjutnya jenis bank menurut
Pasal 5 ayat (1) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 adalah bank umum dan Bank
Perkreditan Rakyat (BPR). Bank umum menurut Pasal 5 ayat (1) Undang-undang
Nomor 7 Tahun 1992, dapat untuk mengkhususkan diri untuk melaksanakan kegiatan
tertentu atau memberikan perhatian yang lebih besar kepada kegiatan tertentu.
Bank Perkreditan rakyat, yaitu bank
yang dapat menerima simpanan hanya dalam bentuk deposito berjangka, tabungan
dan atau bentuk lain yang dipersamakan dengan itu pemberian kredit pada
hakekatnya melaksanakan secara langsung tugas-tugas pemerintah yang berkaitan
dengan pengembangan sektor ekonomi, untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat
menurut pola yamg ditetapkan oleh pemerintah.
b.
Penerima Kredit (Debitur)
Rumusan mengenai penerima kredit
diatur dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992, akan tetapi menurut Pasal 8
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992, “dalam pemberian kredit, bank umum wajib
mempunyai keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan debitur untuk melunasi
hutangnya sesuai dengan yang diperjanjikan”. Keyakinan bank tersebut menurut
penjelasan Pasal 8 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 berdasarkan penilaian yang
seksama terhadap watak, kemampuan, modal, agunan prospek usaha debitur.
Berkenaan dengan hal tersebut
pengaturan tentang debitur tidak diatur secara tegas siapa saja yang dapat
menjadi debitur, akan tetapi hanya disebutkan bahwa debitur adalah orang yang
mendapat fasilitas dari pihak kreditur (bank) berupa kredit dengan kewajiban
mengembalikan pada waktu yang telah disepakati. Oleh karena itu, dapat
disimpulkan bahwa debitur adalah perseorangan atau badan usaha yang mendapatkan
kredit dan wajib mengembalikan setelah jangka waktu yang telah ditentukan.
4. Jaminan pada Perjanjian Kredit
Kredit yang diberikan oleh bank
mengandung risiko dalam pelaksanaannya. sehingga, bank harus memperhatikan
asas-asas perkreditan yang sehat.[25] Perjanjian kredit dibuat
berdasarkan prinsip Character, Capacity, Capital, Collateral dan Conditio of
Economic yang merupakan unsur penting untuk menganalisa apakah calon
debitur bisa mendapat kredit dari bank atau tidak. Fungsi jaminan ini antara
lain adalah sebagai pengaman apabila di kemudian hari debitur tidak memenuhi
kewajiban-kewajibannya.
Berdasarkan Pasal 1131 dan Pasal
1132 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata) yang mengatur jaminan.
Pasal 1131 menyebutkan bahwa segala kebendaan si berhutang, baik yang bergerak
maupun yang tak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang akan ada dikemudian
hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatan perseorangan.
Berdasarkan uraian tersebut dapat
dikatakan bahwa semua harta kekayaan si berhutang di jadikan jaminan bagi semua
kewajibannya, yang mana hutang tersebut meliputi :
a. Benda bergerak dan tidak bergerak;
b. Benda yang sudah ada pada saat perjanjian dibuat;
c. Benda yang baru akan ada pada saat perjanjian dibuat.
Selanjutnya Pasal 1132 KUHPerdata
menjelaskan bahwa kebendaan tersebut menjadi jaminan bersama-sama bagi semua
orang yang menghutangkan padanya, pendapatan penjualan benda-benda itu
dibagi-bagi menurut keseimbangan, yaitu menurut besar kecilnya piutang
masing-masing, kecuali apabila di antara para berpiutang itu ada alasan-alasan
yang sah untuk didahulukan.
Berdasarkan hal tersebut diatas,
maka Pasal 1131 dan 1132 KUHPerdata merupakan suatu perlindungan kepada
kreditur yang bersifat umum yang artinya bahwa yang dapat dijadikan jaminan
adalah semua harta debitur.
Menurut Hartono Hadisoeprapto menjelaskan yang dimaksud dengan jaminan adalah
sesuatu yang diberikan kepada kreditur untuk menimbulkan keyakinan bahwa
debitur akan memenuhi kewjiban yang dapat dinilai dengan uang yang timbul dari
suatu perikatan.[26] Jadi
tujuannya adalah untuk memberikan keyakinan kepada kreditur bahwa piutangnya
akan dikembalikan oleh debitur.
Pandangan Subekti menjelaskan
berkenaan dengan lembaga jaminan sebagai berikut : karena lembaga jaminan yang
baik, adalah lembaga yang dapat secara mudah membantu memperoleh kredit itu
bagi pihak yang memerlukan,yang mana tidak melemahkan posisi (kekuatan) si
Kreditur untuk melakukan atau meneruskan usahanya, serta dapat memberikan kepastian
kepada si pemberi kredit dalam arti barang jaminan setiap waktu tersedia untuk
di eksekusi,artinya jaminan tersebut dapat dengan mudah diuangkan untuk
melunasi hutang si penerima kredit[27]
Perjanjian Jaminan merupakan salah
satu perjanjian yang bersifat accesoir (tambahan) yaitu perjanjian yang selalu
menyertai perjanjian pokok. sehingga perjanjian Jaminan dapat berakhir bila
perjanjian pokoknya telah berakhir.
5. Jangka Waktu
Perjanjian kredit perlu ditentukan
jangka waktu. Karena kredit adalah pinjaman dan akhirnya pada suatu waktu harus
dikembalikan kepada penyedia kredit. Terlebih lagi untuk perbankan bahwa kredit
yang diberikan itu berasal dari dana masyarakat.[28]oleh
karena itulah perlu dicantumkannya item jangka waktu agar setiap kreditur dapat
bertanggung jawab terhadap kewajibannya.
Jika jangka waktu telah ditentukan
dan penerima kredit ingkar janji, perlu ditentukan hukuman atas kelalaian
itu,apakah berupa denda, bunga,biaya dan lain-lain. Sehingga penyelesaian
kredit itu tidak berlarut-larut. Hal ini akan memudahkan proses penyelesaian
baik dilihat dari sudut penyedia dan penerima kredit
BAB III
KESIMPULAN
Perjanjian-perjanjian khusus yang ada
dalam KUHPerdata disebutkan dalam buku ke- III, dimulai pada Bab ke-V sampai
pada Bab ke-XVIII. Adapun penjelasan-penjelasan lebih rinci mengenai
bentuk-bentuk perjanjian khusus tersebut adalah perjanjian jual beli dan
perjanj ian kredit.
pengertian perjanjian jual beli adalah Jual beli termasuk dalam kelompok
perjanjian bernama, artinya undang-undang telah memberikan nama tersendiri dan
memberikan pengaturan secara khusus terhadap perjanjian ini. Pengaturan
perjanjian bernama dapat diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata maupun
Kitab Undang-undang Hukum Dagang. Perjanjian jual beli diatur dalam pasal
1457-1540 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Menurut pasal 1457 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata, jual beli adalah suatu persetujuan yang mengikat
pihak penjual berjanji menyerahkan sesuatu barang / benda, dan pihak lain yang
bertindak sebagai pembeli mengikat diri berjanji untuk membayar harga. Dari
pengertian yang diberikan pasal 1457 diatas, persetujuan jual beli sekaligus
membebankan dua kewajiban yaitu:[29]
1. Kewajiban pihak penjual menyerahkan
barang yang dijual kepada
pembeli.
2. Kewajiban pihak pembeli membayar
harga barang yang dibeli
kepada penjual.
Sedangkan perngertian dari
perjanjian kredit adalah Berdasarkan Pasal 1754 Kitab Undang-undang Hukum
Perdata (KUHPerdata) terdapat istilah perjanjian pinjam-meminjam, yang
dinyatakan sebagai berikut:
Pinjam-meminjam adalah perjanjian dengan mana pihak yang
satu memberikan pihak yang lain suatu jumlah tertentu barang-barang yang
menghabis karena pemakaian,dengan syarat bahwa pihak yang belakangan ini akan
mengembalikan sejumlah yang sama dari macam dan keadaan yang sama pula.
Perjanjian
Kredit adalah perjanjian pendahuluan dari penyerahan uang. Perjanjian
pendahuluan ini merupakan hasil permufakatan antara pemberi dan penerima
pinjaman mengenai hubungan-hubungan hukum antar keduanya[30].
Oleh karena itu, pengertian perjanjian kredit tidak terbatas pada apa yang
telah dijelaskan diatas akan tetapi lebih luas lagi penafsirannya. Perjanjian
kredit dapat juga disebut perjanjian pokok (prinsipil) yang bersifat riil.
Sebagai perjanjian prinsipiil, maka perjanjian jaminannya adalah assesoirnya
DAFTAR
PUSTAKA
Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perikatan, Bandung : Alumni, 1982,
hlm. 20.
Salim H.S.,Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan
Kontrak, Jakarta : Sinar Grafika, 2003, hlm. 50
Dr. Ahmadi Miru, Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak,
Jakarta : PT Raja Grafindo Persada,
2007, hlm. 69.
Djumhana, Hukum Perbankan di
Indonesia, Bandung:PT Citra Aditya Bakti,2000, hlm. 387.
Komariah, Hukum Perdata, Malang : UPT Penerbitan
Universitas Muhamadiyah, 2008, hlm. 148.
Handri Rahardjo, Hukum Perjanjian di Indonesia, Jakarta
: Pustaka Yustisia, 2009, hal 45.
Handri Rahardjo, Cara Pintar memilih dan mengajukan kredit,
Yogyakarta : Pustaka Yustisia, 2003, hlm.10.
Hadi Soeprapto,Hartono.Pokok-Pokok Hukum Perikatan dan Hukum Jaminan.Yogyakarta:Liberty,1984,hal 50
Mariam Darus Badrulzaman,.Aneka
Hukum Bisnis.Jakarta:1994,hal 145 .
Mariam Darus Baruldzaman.Bab-bab
tentang Credit Verband,Gadai dan Fiducia.Bandung: PT Citra Aditya
Bahkti,1991, hlm. 28.
M. Yahya Harahap, Segi-segi
Hukum Perjanjian, Bandung : Alumni,1986, hlm. 181.
Mariam Darus
Badrulzaman, KUHPERDATA Buku III,
Bandung : Alumni, 2006, hlm.108-120
M. Yahya Harahap, Segi-segi
Hukum Perjanjian, Bandung : Alumni,1986, hlm. 181.
Salim H.S, Hukum
Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, Jakarta : Sinar Grafika, 2003,
hlm. 49.
Salim H.S.,Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan
Kontrak, Jakarta : Sinar Grafika, 2003, hal 33.
Salim H.S.,Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan
Kontrak, Jakarta : Sinar Grafika, 2003, hlm. 51
Subekti, Jaminan-Jaminan untuk Pemberian Kredit menurut Hukum di
Indonesia.Bandung:Alumni,1982,hlm. 29
Prof.R.Subekti, Aneka Perjanjian, Bandung : Citra Aditya
Bakti, 1995, hlm. 2.
[2]
Salim H.S, Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan
Kontrak, Jakarta : Sinar Grafika, 2003, hlm. 49.
[5]
Salim H.S.,Hukum Kontrak
Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, Jakarta : Sinar Grafika, 2003, hlm.
49.
[6]
Ibid hal.9.
[7]
Ibid, hal 10.
[8] Handri Rahardjo, Hukum Perjanjian di Indonesia, Jakarta : Pustaka Yustisia, 2009,
hal 45.
[9]
Mariam Darus Badrulzaman, KUHPERDATA Buku III, Bandung : Alumni, 2006, hlm.108-120
[10]
Salim H.S.,Hukum
Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, Jakarta : Sinar Grafika, 2003,
hal 33.
[11]
Dr.
Ahmadi Miru, Hukum Kontrak dan
Perancangan Kontrak, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2007, hlm. 69.
[13]
Abdul
Kadir Muhammad, Hukum Perikatan,
Bandung : Alumni, 1982, hlm. 20.
[14]
Salim
H.S.,Hukum Kontrak Teori dan Teknik
Penyusunan Kontrak, Jakarta : Sinar Grafika, 2003, hlm. 50
[15]
Salim H.S.,Hukum
Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, Jakarta : Sinar Grafika, 2003,
hlm. 51
[16]
Dr. Ahmadi Miru, Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak, Jakarta : PT Raja Grafindo
Persada, 2007, hlm. 128.
[17]
Salim H.S.,Hukum
Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, Jakarta : Sinar Grafika, 2003,
hlm. 56.
[18]
Handri
Rahardjo, Cara Pintar memilih dan
mengajukan kredit, Yogyakarta : Pustaka Yustisia, 2003, hlm.10.
[19]
Ibid 11.
[20] Dr.
Ahmadi Miru, Hukum Kontrak dan
Perancangan Kontrak, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2007, hlm. 15
[21]
R. Subekti, Aneka Perjanjian, Bandung : PT Citra Aditya Bakti, 1995, hlm. 25.
[22]
Mariam Darus Baruldzaman.Bab-bab tentang Credit Verband,Gadai dan
Fiducia.Bandung: PT Citra Aditya Bahkti,1991, hlm. 28.
[26]
Hadi Soeprapto,Hartono.Pokok-Pokok Hukum Perikatan dan Hukum Jaminan.Yogyakarta:Liberty,1984,hal
50
[27]
Subekti, Jaminan-Jaminan
untuk Pemberian Kredit menurut Hukum di Indonesia.Bandung:Alumni,1982,hlm. 29
[30]
Mariam Darus Baruldzaman.Bab-bab tentang Credit Verband,Gadai dan
Fiducia.Bandung: PT Citra Aditya Bahkti,1991, hlm. 28.
Komentar
Posting Komentar