BEDAH KASUS PUTUSAN PENGADILAN TENTANG PERNIKAHAN BEDA AGAMA
BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Istilah
yang digunakan dalam bahasa Arab pada istilah-istilah fiqih tentang perkawinan
adalah munakahat nikah, sedangkan dalam bahasa Arab pada perundang-undangan
tentang perkawinan, yaitu Ahkam Al-Zawaj atau Ahkam izwaj. Dan dalam bahasa
Inggris, baik dalam buku-buku maupun perundang-undangan tentang perkawinan
digunakan istilah Islamic Marriage Law, dan Isłamic Marriage
Ordinance.Sementara dalam bahasa Indonesia digunakan istilah Hukum Perkawinan
Yang dimaksud dengan munakahat, yaitu hukum yang mengatur hubungan antaranggota
keluarga. Ada yang menyamakan antar hukum keluarga dan hukum perkawinan,
Walaupun ada yang menyamakan antara hukum keluarga dengan hukum perkawinan,
namun menurut Musthafa Ahmad al-Zarqa ruang lingkup hukum keluarga lebih luas
dari pada hukum perkawinan. Ruang lingkup hukum keluarga (al-ahwal
al-syakhshiyah) pada dasamya meliputi tiga macam subsistem hukum yaitu;
Perkawinan (munakahati dan hal-hal yang bertalian dengannya), Perwalian dan
wasiat (al-walayah wal washaya), dan Kewarisan tal-mawarits.[1]
B. RUMUSAN
MASALAH
1. Apa pengertian dari perkawinan?
2. Bagaimana penentuan hukum dalan
perkawinan beda agama?
3. Bagaimana praktek pernikahan beda
agama diindonesia dan akibat hukumnya?
C. TUJUAN
Untuk memahami bagaimana terjadinya
suatu perkawinan dan untuk mengetahui bagaimana putusan dalam hubungan
perkawinan perbedaan agama.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
PERKAWINAN
Perkawinan bukan sekedar hubungan
antara laki-laki dan perempuan untuk hidup bersama berdasarkan kebutuhan
biologis, tetapi perkawinan juga ditentukan oleh hukum. Setiap negara
memberlakukan suatu peraturan tertentu agar seorang perempuan dan seorang
laki-laki dapat hidup bersama. Suatu pasangan yang berkomitmen untuk melakukan
perkawinan menandakan bahwa keduanya saling berjanji untuk saling mentaati
peraturan-peraturan hukum yang berlaku mengenai hak dan kewajiban masing-masing
pihak selama dan sesudah hidup bersama berlangsunhg, dan mengenal kedudukan
keturunannya dalam masyarakat.[2]
Menurut
Prof. Mahmud junus, tujuan perkawinan ialah menurut perintah Allah untuk
memperoleh Tujuan perkawinan dalam Islam selain untuk memenuhi kebutuhan hidup
jasmani dan rohani manusia, keturunan yang sah dalam masyarakat, dengan
mendirikan rumah tangga yang damai dan teraturjuga sekaligus untuk membentuk
keluarga dan memelihara serta meneruskan keturunan dalam menjadikan hidupnya di
dunia ini, juga mencegah perzinahan, agar tercipta ketenangan dan ketentraman
jiwa bagi yang bersangkutan, ketentraman keluarga dan masyarakat.[3]
Aturan perkawinan bagi bangsa Indonesia
adalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang berlaku secara
resmi sejak tanggal diundangkan, yaitu tanggal 2 Januari 1974, kemudian berlaku
secara efektif pada tanggal 1 Oktober 1975, melalui Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan. Undang-undang tersebut sudah berlaku secara
formal yuridis bagi bangsa Indonesia, dan telah menjadi bagian dari hukum
positif. Undang-undang perkawinan ini, selain meletakkan asas-asas, sekaligus
menampung prinsip-prinsip dan memberikan landasan hukum menjadi pegangan dan
berlaku bagi berbagai golongan masyarakat Indonesia. Di mana dalam
Undang-undang tersebut mengatur prinsip-prinsip perkawinan itu sendiri, harta
bersama suami isteri dalam perkawinan, pembatasan thalâq dan rujûk, hubungan
orang tua dengan anak dan lain-lain sebagainya. Dalam konsepsi hukum Indonesia,
masalah perkawinan telah mendapat pengaturan hukumnya secara nasional, yakni
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan), dan
Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975.[4]Seiring dengan perkembangan
masyarakat Indonesia yang semakin kompleks, permasalahan yang terjadi juga
semakin kompleks. Termasuk juga kompleksitas masalah perkawinan.
Berbagai jenis ataupun kasus perkawinan di
Indonesia yang layak untuk diperbincangkan, karena perkawinan merupakan
perbuatan hukum yang menimbulkan sebab akibat antara pasangan yang melakukan
perkawinan maupun Negara yang dihuni oleh pasangan tersebut, salah satunya
perkawinan beda agama yang merupakan akhir ini menjadi fenomena di Indonesia
baik dari kalangan artis maupun masyarakat awam, bahkan aktivis dialog antar
agama maupun kaum agamawan terdidik.
Perkawinan beda agama merupakan ikatan
lahir batin antara seorang pria dan wanita yang berbeda agama maupun Negara
menyebabkan bersatunya dua peraturan yang berlainan mengenai syarat-syarat dan
tata cara pelaksanaan sesuai hukum agamanya masing-masing, dengan tujuan
membentuk keluarga bahagia dan kekal berdasarkan tuhan yang Maha Esa.[5]Beragam agama dan aliran
kepercayaan di Indonesia tidak menutup kemungkinan perkawinan beda agama antar
agama dan aliran kepercayaan akan terjadi, misalnya kasus perkawinan Sabria
Kono (Islam) dengan Rio Febrian (Kristen) sudah resmi menjadi suami istri sejak
3 Februari 2010 lalu. Mereka melegalkan pernikahannya juga untuk berwisata.
Proses legalitas pernikahan di Bangkok juga dinilainya tidak susah. Prosesnya
yang sama seperti di Indonesia, yaitu pemerintahan memberikan legalisasi dan
akan dilegalkan di Indonesia.
Dalam Pasal 1 ayat (3) Undang - undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 disebutkan bahwa Indonesia adalah
Negara hukum. Sebagai Negara yang berdasarkan atas hukum, Indonesia dalam
menjalankan pemerintahannya memiliki lembaga- lembaga pemerintahan salah
satunya lembaga yudikatif dan hal ini dapat terlihat dari Pasal 24 Undang -
undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan bahwa :
“Kekuasaan Kehakiman
dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan Peradilan yang berada di
bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama,
lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan
sebuah Mahkamah Konstitusi”.
Lebih jauh lagi juga di atur lebih khusus
dalam Pasal 10 ayat (1) Undang - undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Pokok-pokok
Kekuasaan Kehakiman disebutkan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh
Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya, serta oleh sebuah
Mahkamah Konstitusi. Badan peradilan yang dimaksud mencakup 4 (empat) wilayah
hukum, yang secara resmi diakui dan berlaku di Indonesia yaitu Peradilan Umum,
Peradilan Agama, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara. Keempat
lembaga peradilan diatas, masing-masing memiliki kekuasaan (kewenangan) yang
terdiri atas kekuasaan relatif (relative competentie) dan kekuasaan mutlak atau
absolut (absolute competentie). Kewenangan relatif berkaitan dengan wilayah
hukum suatu pengadilan atau kewenangan untuk mengatur pembagian kekuasaan
mengadili pengadilan yang serupa tergantung sari tempatdari tempat tinggal
tergugat. Sedangkan kewenangan absolut (kekuasaan mutlak) berkaitan dengan
wewenang suatu badan pengadilan dalam memeriksa jenis perkara tertentu yang
secara mutlak tidak dapat diperiksa oleh badan pengadilan lain atau menyangkut
pembagian kekuasaan antar badan-badan peradilan.[6]
Berkaitan dengan kewenangan absolut suatu
peradilan, peradilan agama dan peradilan umum memiliki kewenangan yang sama
yaitu bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara -
perkara di tingkat pertama salah satunya di bidang Perkawinan. Dalam hal ini
yang membedakannya adalah untuk peradilan agama hanya berkaitan dengan
perkawinan yang dilakukan antara orang - orang yang beragama Islam, sedangkan
peradilan umum untuk mereka yang non-muslim. Hal ini dijelaskan dalam Pasal 2
Undang - undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang perubahan atas Undang - undang Nomor
7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama yang menyatakan bahwa Peradilan Agama
adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang
beragama Islam mengenai perkara tertentu sebagaimana dimaksud dalam Undan -
undang ini.
B.
PERKAWINAN
BEDA AGAMA
Perkawinan antar agama yang terjadi dalam kehidupan
masyarakat, seharusnya tidak terjadi jika dalam hal ini negara atau pemerintah
secara tegas melarangnya dan menghilangkan sikap mendua dalam mengatur dan
melaksanakan suatu perkawinan bagi rakyatnya. Sikap ambivalensi pemerintah
dalam perkawinan beda agama ini terlihat dalam praktek bila tidak dapat
diterima oleh Kantor Urusan Agama, dapat dilakukan di Kantor Catatan Sipil dan
menganggap sah perkawinan berbeda agama yang dilakukan di luar negeri. Dari
kenyataan yang terjadi di dalam masyarakat terhadap perkawinan beda agama,
menurut aturan perundang - undangan itu sebenarnya tidak dikehendaki.[7]
Hal ini sering menimbulkan penafsiran yang berbeda -
beda di beberapa kalangan masyarakat. Sebagian ada yang berpendapat tidak sah
karena tidak memenuhi ketentuan yang berdasarkan agama maupun berdasarkan
Undang - undang. Sementara di sisi lain ada yang berpendapat sah sepanjang
dilakukan berdasarkan agama / keyakinan salah satu pihak. Sementara seluruh
agama yang ada di Indonesia tidak membolehkan adanya perkawinan yang dilakukan
jika kedua calon berbeda agama. Sebagai salah satu alternatif agar perkawinan
keduanya tetap dapat dilaksanakan, Wahyono mengatakan bahwa ada empat cara yang
biasa ditempuh pasangan beda agama ini antara lain meminta penetapan
pengadilan, perkawinan dilakukan menurut masing-masing agama, penundukan
sementara pada salah satu hukum agama atau menikah di luar negeri.[8] Ketentuan - ketentuan ini
disebut sebagai salah satu cara penyeludupan hukum bagi perkawinan beda agama.
Perceraian yang dilakukan antar suami istri yang
memiliki agama dan keyakinan yang sama tidak ada masalah dalam pengajuan
permohonan / gugatannya kepada pengadilan, karena jelas jika perceraian itu
dilakukan oleh mereka yang memiliki agama Islam maka pengadilan agama yang akan
memutusnya, namun jika perceraian dilakukan oleh mereka yang menganut agama di
luar Islam maka pengadilan Negeri yang akan memutusnya karena sesuai dengan
kewenangan absolut suatu pengadilan. Hal ini menjadi dilema jika perceraian itu
dilakukan oleh mereka yang melakukan perkawinan beda agama yang dilangsungkan
di luar negeri dan juga kebanyakan penyelesaian perceraiannya dilangsungkan di
Pengadilan Negeri. Disini timbul pertanyaan apakah Pengadilan Negeri berwenang
memutus perceraian beda agama ini. Dimana di ketahui bahwa Negara Indonesia
sendiri tidak mengakui adanya perkawinan beda agama di Indonesia. Di sini
terjadi suatu ketidakpastian dalam sistem hukum Indonesia, karena Undang -
undang Perkawinan tidak melarang perkawinan beda agama ini secara tegas,
sehingga banyak pihak yang menginginkan perkawinan beda agama ini, dengan
menggunakan cara-cara tertentu untuk melangsungkan perkawinannya dengan
memenfaatkan celah hukum yang ada dalam Undang - undang Perkawinan ini.
Penyelesaian perceraian beda agama di Indonesia proses
penyelesaian perceraiannya sama dengan perceraian pada umumnya. Perkawinan beda
agama seakan-akan di perbolehkan di Indonesia berdasarkan pada Pasal 66 Undang
- undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, sehingga tidak terdapat
perbedaan mengenai proses penyelesaiannya dengan perceraian pada umumnya, di
mana seseorang dapat mengajukan permohonan cerai atau gugatan cerainya ke
Pengadilan Negeri buat mereka yang memiliki agama di luar Islam dan pengadilan
agama bagi mereka yang memiliki agama Islam. Kemudian jika mereka melakukan
perkawinan beda agama maka gugatan cerai atau permohonan cerai dapat diajukan
ke Pengadilan Negeri di wilayah tempat tinggal penggugat.
Alasan suatu Peradilan di Indonesia menerima perkara
perceraian perkawinan beda agama karena berdasarkan Pasal 66 Undang - undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dimana Regeling op de Gemengde
Huwelijken (GHR) menjadi berlaku karena Undang - undang perkawinan tidak
mengatur perkawinan beda agama sehingga Regeling op de Gemengde Huwelijken
(GHR) menjadi tetap berlaku. Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menganggap
perkawinan beda agama adalah perkawinan campuran sebagaimana yang diatur dalam
Pasal 57 Undang - undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, sehingga
pengadilan menerimanya karena perceraian perkawinan beda agama termasuk
kompetensi absolut suatu pengadilan untuk menyelesaikannya dan pengadilan juga
tidak boleh menolak perkara yang masuk kepadanya atas dasar tidak ada hukum
yang mengaturnya sebagaimana tercantum dalam Pasal 16 ayat (1) Undang - undang
Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Akibat Hukum terhadap anak dan harta dari perceraian
beda agama adalah sama dengan akibat hukum dari perceraian pada umumnya. Di
mana akibat hukum dari suatu perceraian akan berkenaan dengan hadhanah dan
harta perkawinan. Dari perceraian Yuni Shara dengan Henry Siahaan hak atas
pemeliharaan kedua anaknya yaitu Cavin Obrient Salomo Siahaan dan Cello Obin
Siahaan jatuh kepada Penggugat yaitu Yuni Shara. Kemudian mengenai penyelesaian
dari harta perkawinannya itu diselesaikan secara terpisah dari gugatan cerai
yang diajukannya. Proses penyelesaian harta perkawinan karena perceraian
dilakukan menurut hukumnya masing-masing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37
Undang - undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
C.
PENENTUAN
HUKUM DAN HUKUM PERKAWINAN BEDA AGAMA
Putusan Hakim MK merupakan keputusan yang dikeluarkan
oleh salah satu lembaga peradilan kaitannya dengan uji materiil terhadap pasal
atau ayat perundang-undangan di Indonesia. Keputusan MK tersebut bersifat final
dan terakhir terhadap keberadaan konstitusi yang diajukan kepadanya, berarti
putusan MK tidak bisa diajukan banding.[9]
Permasalahan pada materi putusan MK No.
68/PUU/XII/2014 adalah tentang muatan materi Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang
Perkawinan yang menimbulkan kesalahpahaman tentang pemberlakuan nikah beda
agama.[10]
Menurut Fitzgerald, sebagaimana dikutip oleh Sudikno,
mengatakan bahwa interpretasi hukum secara umum ada 2 (dua) macam yaitu:[11]
1. Interpretasi
yang bersifat harfiah, yakni memahami hukum semata-mata merujuk pada kalimat di
dalam peraturan, karena kalimat menjadi inti dan sekaligus pegangan di dalam
memutuskan perkara.
2. Interpretasi
yang bersifat fungsional, artinya penafsiran yang tidak semata-mata mengikatkan
diri pada kalimat yang menjadi acuan, tetapi lebih jauh mengusahakan pemahaman
terhadap maksud yang sebenarnya dari dibuatnya peraturan tertentu.
Namun, sudah dijelaskan secara tersirat
dalam Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 8 huruf (f) undang-undang perkawinan melalui
penafsiran fungsional atau konstekstual, kedua pasal tersebut saling melengkapi
dalam menjelaskan bahwa hukum agama juga diperlukan dalam pembangunan hukum
perkawinan di Indonesia[12].
D.
PERKAWINAN
BEDA AGAMA DALAM HUKUM DI INDONESIA
1. Perkawinan
Beda Agaman sebelum adanya Undang-Undang Perkawinan.
Sebelum
adanya UU Perkawinan, keadaan hukum perkawinan di Indonesia beragam. Setiap
golongan penduduk berlaku hukum perkawinan yang berbeda dengan golongan
penduduk yang lain[13]. Persoalan ini
menimbulkan masalah hukum perkawinan antargolongan, yaitu tentang hukum
perkawinan manakah yang akan diberlakukan untuk perkawinan antara dua orang
dari golongan yang berbeda.
Pengertian
perkawinan campuran dapat dilihat pada Pasal 1 GHR yang menyatakan bahwa
perkawinan campuran ialah perkawinan antara orang-orang di Indonesia yang
tunduk kepada hukum-hukum yang berlainan. Berdasarkan pasal GHR tersebut, para
ahli hukum berpendapat bahwa yang dimaksud perkawinan campuran adalah
perkawinan antara laki-laki dan perempuan yang masing-masing pada umumnya
takluk pada hukum yang berlainan. Dalam menentukan hukum mana yang berlaku bagi
orang-orang yang melakukan perkawinan campuran, GHR menyatakan bahwa dalam hal
seorang perempuan melakukan perkawinan campuran, maka selama perkawinannya itu
belum putus, tunduk kepada hukum yang berlaku bagi suaminya, baik di lapangan
hukum publik maupun hukum sipil (Pasal 2).
Pada
Pasal 7 ayat (2) GHR dinyatakan bahwa dalam perkawinan campuran ini, perbedaan
agama, bangsa, atau asal sama sekali tidak menjadi halangan untuk melangsungkan
perkawinan.
2. Perkawinan
Beda Agama setelah adanya Undang-Undang Perkawinan
UU
Perkawinan memberikan peranan yang sangat menentukan sah/tidaknya suatu
perkawinan kepada hukum agama dan kepercayaan masing-masing calon mempelai.
Keadaan tersebut nampak jelas dalam Pasal 2 UU Perkawinan, yaitu “Perkawinan
adalah sah apabila dilakukan menurut agama dan kepercayaannya masing-masing.”
Dalam penjelasan Pasal 2 ayat (1) dinyatakan bahwa tidak ada perkawinan di luar
hukum agamanya dan kepercayaannya itu.
Menurut
Prof. Dr. Hazairin SH, secara tegas dan jelas memberikan penafsiran pasal
tersebut bahwa bagi orang Islam tidak ada kemungkinan untuk kawin dengan
melanggar ‘hukum agamanya sendiri’[14]. Demikian juga bagi orang
Kristen, dan bagi orang Hindu. Karena itu, hal ini menjadi jalan buntu bagi
para calon mempelai yang berbeda agama unuk melaksanakan perkawinan antaragama.
E.
PRAKTEK
PERNIKAHAN BEDA AGAMA DI INDONESIA
Pelaksanaan perkawinan antara dua orang yang memeluk
agama yang berbeda, salah satu pihak, biasanya menundukkan diri atau masuk
agama pihak lain, baik masuk agama semu atau sesungguhnya. Misalnya : seorang
non-muslim yang hendak melangsungkan perkawinan dengan seorang muslim dengan
menggunakan hukum Islam, dengan pencacatan oleh KUA, sebelumnya harus
mengucapkan ikrar syahadat.
Adapun seorang Katolik yang hendak melangsungkan
perkawinan dengan seorang yang beragama lain (non-Katolik) dengan sakramen
gereja Katolik, maka harus mendapatkan dispensasi perkawinan terlebih dahulu
dari keuskupan wilayah.
Jika seorang beragama Buddha hendak melangsungkan
perkawinan dengan seorang nonBuddha dengan berdasarkan agama Buddha, biasanya pihak
non-Buddha masuk agama Buddha semu dengan mengganti status agama dalam Kartu
Tanda Penduduk (KTP).
F.
PUTUSAN
PENGADILAN
Berdasarkan kajian Putusan di Pengadilan, penulis
menemukan mengenai perkara beda agama terdapat di beragam pengadilan Seperti
berikut :
1. No.
71/Pdt.P/2017/PN Bla. Membahas tentang pernikahan beda agama yang akan di
lakukan oleh Neneng Oktora Budi Asri tetap beragama Islam dan Pemohon Yafet
Arianto tetap beragama kristen di tolak oleh Putusan Mahkamah Agung.
2. No.
387 PK/PDT/2010 1. Saminah, 2. Gregorius, 3. Dwi lestari terhadap 1. Soeparno,
2. Maryati, 3. Siti Aminah, 4. Saban, mengenai hak waris beda agama yang di
ajukan di pengadilan negeri berdasarkan hukum Islam mereka tidak mendapatkan
bagian. Hal tersebut dipertegas oleh ketentuan dalam Kompilasi Hukum Islam yang
merujuk pada Ayat-ayat yang berserakan di Kitab Suci Al Quran, maupun
Hadits-hadits Nabi Muhammad S.A.W yang diriwayatkan oleh semua Periwayat maupun
mazab-mazab/ aliran-aliran yang berkembang (Sunni, Syiah, dan lain-lain). Jadi,
sangat ironis jika perkara ini diajukan ke Pengadilan Agama, karena yang akan
kehilangan hak warisnya adalah justru Para Pemohon yang mengajukan Kasasi ini
sendiri, karena sebagai non Muslim tidak berhak mewaris. Putusan Pengadilan
Negeri menetapkan bahwa penggugat tidak mendapatkan hak waris karena berbeda
agama.
3. No.
162/Pdt.G/2018/PTA.Bdg. berdasarkan putusan pengadilan tinggi yang Menimbang,
bahwa keberatan Pembanding yang menyatakan Terbanding tidak berhak atas bagian
almarhumah Soedaryati dan menjadi hak milik para Pembanding, Majelis Hakim
Tingkat Banding berpendapat oleh karena dengan meninggalnya Drs. Maratimbo
Tambunan (orang tua angkat para Penggugat/Pembanding), para Pembanding telah
mendapat bagian masing-masing sebesar 1/6 dari setengah (50%) harta Drs.
Maratimbo Tambunan dengan Soedariah dan Soedariah mendapat 50 % ditambah 1/6
dari setengah (50%) sebagaimana putusan Pengadilan yang telah berkekuatan hukum
tetap, yaitu bukti P.6, P7 dan P.8, hal ini sesuai pula dengan maksud dari
ketentuan Pasal 209 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam dimana terhadap anak angkat
yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah, sehingga bagian Soedariah
menjadi milih mutlak Soedariah dan oleh karena Soedariah telah meninggal dunia
maka harta tersebut jatuh dan menjadi hak Terbanding sebagai adiknya yang masih
hidup pada saat sekarang, oleh karena itu keberatan tersebut harus ditolak.
G.
AKIBAT
HUKUM
Kasus yang terjadi pada pasangan Andy Vonny Gani P
yang beragama Islam dengan Adrianus Petrus Hendrik Nelwan yang beragama
Protestan. Mereka mendatangi KUA Tanah Abang Jakarta, mengajukan permohonan
agar perkawinan mereka dapat dilangsungkan menurut agama Islam, namun KUA
menolak permohonan tersebut karena adanya perbedaan agama. Kemudian, keduanya
menghadap ke Kantor Catatan Sipil, namun Kantor Catan Sipil juga menolaknya.
Oleh karena KUA dan Kantor Catatan Sipil menolak melamgsungkan pernikahan
mereka, maka akhirnya mereka mengajukan permohonan ke pengadilan Negeri Jakarta
Pusat. Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan penetapannya No.
382/Pdt/1986/PN.JKT.PST, tanggal 11 April 1986 menolak permohonan mereka dan
menguatkan penolakan KUA dan Kantor Catatan Sipil[15]. Adapun contoh lain dari
kasus pernikahan beda agama, yaitu[16]:
·
Sesuai dengan Fatwa MUI tanggal 1 Juni
1980 kemudian diulangi tanggal 8 November 1986, maka perkawinan antar laki-laki
Islam dengan wanita Ahlul Kitab “haram hukumnya”. Anak-anak hanya bernasab
kepada ibunya saja, dan tidak kepada bapak. Demikian juga anak tidak mewarisi
dari bapa.
·
Bilama pendapat kedua yaitu perkawinan
antara laki-laki bergama Islam dengan wanita Ahlul Kitab (QS.Al-Maidah ayat 5)
akibat hukumnya sama dengan perkawinan
laki-laki Islam dengan wanita Islam yang memenuhi rukun-rukun dan syarat-syarat perkawinan.
Anak menjadi “anak sah” dan berhak
mewarisi antara ayah dan anak. Demikian juga antara suami istri sebagai suami istri yang sah. Tetpai
sebaliknya, jika wanitanya yang Islam,
dan laki-laki Ahlul Kitab, maka perkawinan menjadi “tidak sah”
·
Jika dipenuhi persyaratan laki-laki itu
harus taat, patuh dan bertaqwa kepada Allah benar-benar taqwa dan dapat
membimbing isteri dan anak-anaknya menjadi Muslim dan Muslimah, maka akibat
hukum dari perkawinan beda agama itu “sah”, asal dipenuhi baik syarat maupun
rukun-rukun perkawinan, seperti membayar mahar, ijab qabul dan sebagainya.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Jadi didalam hukum islam sendiri telah ada sebuah
larangan adanya perkawinan beda agama yang berdasarkan (Q.S. al-Baqarah ayat
221) “Janganlah kamu kawini perempuan-perempuan musyrik sebelum mereka beriman,
sesungguhnya perempuan hamba yang beriman lebih baik dari perempuan muyrik
merdeka, walau ia menakjubkanmu. Janganlah kamu mengawinkan anak perempuanmu
kepada laki-laki musyrik sebelum ia beriman. Sesungguhnya laki-laki hamba yang
beriman lebih baik daripada laki-laki merdeka, walau ia menawan hatimu” oleh
sebab itu solusi dari perkawinan beda agama diindonesia ini adalah Pelaksanaan perkawinan antara dua orang yang
memeluk agama yang berbeda, salah satu pihak, biasanya menundukkan diri atau
masuk agama pihak lain, baik masuk agama semu atau sesungguhnya.
DAFTAR PUSTAKA
Mardani,
Hukum Perkawinan Islam di Dunia Islam
Modern, (Yogyakarta: Graha Ilmu,2011)
Abdul Qodir, Pencatatan Pernikahan Dalam Perspektif
Undang-undang dan Hukum Islam, (Depok: Azza Media, 2014)
Asmin, Status Perkawinan Antar Agama Ditinjau dari
Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974, (Jakarta: Dian Rakyat, 1986).
Rusli dan R. Tama, Perkawinan Antar Agama dan Masalahnya
(Bandung : Penerbit Pionir Jaya, 2000).
Retnowulan Sutantio dan
Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara
Perdata dalam Teori dan Praktek, (Bandung : Mandar Maju 2005).
Ismiyati, “ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO. 68/PUU/XII/2014 KAITANNYA DENGAN NIKAH
BEDA AGAMA MENURUT HUKUM ISLAM DI INDONESIA”, AL-AHKAM Vol. 27 No. 2,
Oktober 2017.
Sri Wahyuni, “KONTROVERSI PERKAWINAN BEDA AGAMA DI
INDONESIA”
Sri Turatmiyah dan
Arfianna Novera, “FENOMENA PERKAWINAN DAN
PERCERAIAN BEDA AGAMA MENURUT UU NO. I TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN”
Blog Gudang ilmu hukum, Perkawinan beda agama di Indonesia, di
akses tanggal 14 November 2018
Gracie23’s Weblog, Solusi
Beda agama=Paramadina, Prof. Wahyono Darmabrata membahas pernikahan antar agama
di Indonesia yang tidak disahkan secara hukum di akses tanggal 14 November 2018.
[2]
Abdul Qodir, Pencatatan Pernikahan Dalam
Perspektif Undang-undang dan Hukum Islam, (Depok: Azza Media, 2014) hal.12.
[3]
Mardani, Hukum Perkawinan Islam di Dunia
Islam Modern, (yogyakarta: Graha Ilmu,2011) hal.11
[4]Asmin, Status Perkawinan Antar
Agama Ditinjau dari Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974, (Jakarta: Dian
Rakyat, 1986), Cet. Ke-1, hlm. 16.
[5]Rusli dan R. Tama, Perkawinan Antar
Agama dan Masalahnya (Bandung : Penerbit Pionir Jaya, 2000), hlm. 16
[6]Retnowulan Sutantio dan Iskandar
Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek, Mandar Maju,
Bandung : 2005, hlm.11
[7]Blog Gudang ilmu hukum, Perkawinan
beda agama di Indonesia, di akses tanggal 14 November 2010
[8]Gracie23’s Weblog, Solusi Beda
agama=Paramadina, Prof. Wahyono Darmabrata membahas pernikahan antar agama di
Indonesia yang tidak disahkan secara hukum di akses tanggal 14 November 2010
[9]
Ismiyati, “ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH
KONSTITUSI NO. 68/PUU/XII/2014 KAITANNYA
DENGAN NIKAH BEDA AGAMA MENURUT HUKUM ISLAM DI INDONESIA”, AL-AHKAM Vol. 27
No. 2, Oktober 2017, hal. 160
[10]
Ismiyati, “ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH
KONSTITUSI NO. 68/PUU/XII/2014 KAITANNYA
DENGAN NIKAH BEDA AGAMA MENURUT HUKUM ISLAM DI INDONESIA”, AL-AHKAM Vol. 27
No. 2, Oktober 2017, hal. 161
[11]
Ismiyati, “ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH
KONSTITUSI NO. 68/PUU/XII/2014 KAITANNYA
DENGAN NIKAH BEDA AGAMA MENURUT HUKUM ISLAM DI INDONESIA”, AL-AHKAM Vol. 27
No. 2, Oktober 2017, hal. 161
[12]
Ismiyati, “ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH
KONSTITUSI NO. 68/PUU/XII/2014 KAITANNYA
DENGAN NIKAH BEDA AGAMA MENURUT HUKUM ISLAM DI INDONESIA”, AL-AHKAM Vol. 27
No. 2, Oktober 2017, hal. 163
[16]Sri
Turatmiyah dan Arfianna Novera, “FENOMENA
PERKAWINAN DAN PERCERAIAN BEDA AGAMA MENURUT UU NO. I TAHUN 1974 TENTANG
PERKAWINAN” hal. 12
Komentar
Posting Komentar