Mengenal Aliran Kriminologi


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang 
Ilmu kriminologi, sebagaimana ilmu-ilmu lain, baru lahir pada abad ke-19,  dimulai pada tahun 1830, bersamaan dengan dimulainya ilmu sosiologi. Karena begitu pentingnya penjelasan mengenai sebab kejahatan memunculkan berbagai pikiran dan aliran memandang sebab-sebab lahirnya kejahatan. Munculnya penggolongan aliran-aliran atau mazhab kriminologi seiring dengan perkembangan masyarakat dan intelektual kala itu.
Sementara Atmasasmita menggambarkan tentang aliran perkembangan pemikiran kriminologi, dimulai dari aliran klasik yang muncul pada abad ke-18 dengan tokoh utamanya C. Becaria dan Jeremy Bentham. Kemudian, aliran kriminologi berkembang menjadi aliran positive, yaitu tumbuh pada abad ke-19, tokohnya C. Lombroso dan Enrico Ferri. Dan aliranya bergerak menjadi aliran Sociological School (pada abad 19), tokohnya Emile Durkheim dan G. Tarde. Dan pada abad 20 muncul aliran Social Defense School, tokohnya Marc Ancel. [1]

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud dengan aliran  dalam kriminologi ?
2.      Apa saja jenis-jenis aliran dalam kriminologi ?

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Aliran Dalam Kriminologi. 
Aliran-aliran atau sering dikenal sebagai Schools dalam kriminologi menunjuk kepada proses perkembangan pemikiran dasar dan konsep-konsep tentang kejahatan dan pelakunya. Yang dimaksud dengan aliran disini adalah cara pandang (kerangka acuan, paradigm, perspektif) yang digunakan oleh para kriminolog dalam melihat, menafsirkan, menanggapi, dan menjelaskan fenomena kejahatan.
Oleh karena pemahaman kita terhadap dunia sosial terutama dipengaruhi oleh cara menafsirkan peristiwa yang di alami/dilihat, sehingga bagi para ilmuan cara pandang yang dianutnya akan mempengaruhi wujud penjelasan maupun teori yang dihasilkan. Dengan demikian untuk dapat memahami dengan baik penjelasan dan teori-teori dalam kriminologi, perlu diketahui perbedaan-perbedaan aliran pemikiran/paradigma dalam kriminologi. [2]

B.     Jenis-jenis Aliran Dalam Kriminologi
1.      Aliran Klasik 
Aliran klasik yang dilahirkan oleh seorang filsuf Inggris, Jeremy Bentham 1748-1832 hampir seluruhnya terpisah dari dogma teologia, semula berkembang di Inggris pada pertengahan abad ke-19, kemudian menyebar ke Eropa dan Amerika. Aliran ini mendasarkan ajaranya pada Hedonistic Psychology. Dalam filsafat, hedonisme adalah aliran yang mendambakan bahwa kebahagiaan adalah factor utama dalam kehidupan manusia. Bentham menghendaki lebih utama mencegah kejahatan dari pada menghukumnya dan menyebutkan beberapa tindakan terhadap pelaku kejahatan.[3] Bentham dalam mencari dasar kebenaran, sebagai landasan untuk membentuk suatu sistem etika dan suatu pembuatan undang-undang yang pantas harus sesuai dengan  “pandangan yang memberi keterangan tentang kebenaran”. Pandanganya tentang hukum pidana mempertahankan :
a.       Beratnya kejahatan harus diukur sesuai dengan kejahatan sosial masing masing daripada kedosaan atau kualitas kerohanian lainya.
b.      Kejahatan disebabkan oleh usaha bijaksana manusia untuk memperbesar kesenangan dan untuk mengurangi penderitaan mereka.
Cesare Bonesana Merchese The Beccaria 1738-1794 tokoh utama aliran klasik yang pada tahun 1764 telah menggunakan doktrin ini kedalam teknologi (teori hukuman). Mengatakan bahwa pencurian adalah kejahatan yang timbul akibat kesengsaraan dan putus asa.[4] Beccaria sangan keberatan dengan sifat semena mena sistem yudisial dan pidana eropa pada zamanya, yang diluarbiasa kerasnya, mendapatkan pengakuan melalui penyiksaan, dan benar benar bergantung pada kehendak hati penguasa. Karena para penjahat potensial sama sekali tidak bisa memperhitungkan sifat hukum pidana dan ancaman hukumanya jika dilanggar, hukuman tidak banyak mempunyari nilai pencegah.
Beccaria berkepentingan untuk merombak sifat kejam, berlebihan, dan tidak bisa diperkirakan hukuman, menurutnya tidak masuk akal untuk menghukum pelanggar hukum dengan hukum yang tidak adil. Beccaria berperan dalam penghapusan penyiksaan sebagai alat yang sah untuk mendapatkan pengakuan.[5] Menurutnya, semua orang yang melanggar undang-undang tertentu harus menerima hukuman yang sama, tanpa mengingat umur, kesehatan jiwa, kaya/miskin, posisi social dan keadaan-keadaan lainnya. Pendapat ekstrim ini kemudian diperlunak mengenai dua hal yakni anak-anak dan orang yang tidak waras dikecualikan dengan pertimbangan bahwa mereka tidak mampu untuk memperhitungkan secara wajar suka duka dan hukuman yang diterapkan pun dalam batasbatas tertentu.[6] Oleh karena itu, dalam sebuah karyanya yang berjudul Essay on Crime and Punishment, Beccaria mengatakan bahwa tujuan menghukuman yang paling sah adalah penjeraan (Detterence) bukan pembalasan dendam sosial. Dan ia mengusulkan agar pengadilan pidana bagi pelaku sebanding dengan kerugian yang diakibatkan. Demikian juga Bentham mengusulkan bahwa hukuman harus mempunyari dampak penjeraan bagi lekaunya.[7]

2.      Aliran Positivis Kriminologi 
Aliran positivis lahir pada abad ke-19 yang dipelopori oleh Cassare Lombroso (1835-1909), Enrico Ferri (1856-1928), dan Raffaele Garofalo (1852-1934). Mereka menggunakan pendekatan metode ilmiah untuk mengkaji kejahatan dengan mengkaji karakter pelaku dari sudut pandang ilmu biologi, spikologi, dan sosiologi serta objek analisisnya adalah kepada pelaku bukan kepada kejahatanya.[8]
Aliran kriminologi positivis menggunakan metode ilmiah sebagai hubungan sebab akibat. Sebab akibat itu dapat dipelajari dari gejala-gejala alam. Positif berarti penggunaan segi peninjauan dan metodologi ilmu alam dalam studi dari masalah kejahatan. Dalam mempelajari kejahatan, aliran pemikirian positivis menempatkan factor penentunya pada hakikat manusia sebagai individu. Tingkah laku manusia adalah hasil dari hubungan sebab akibat antara individu dengan berbagai aspek lingkunganya, dan hubungan tersebut mempunyai kedudukan seperti suati hukum alam. Hukum alam itu berlaku untuk semua orang, sehingga orang yang memiliki pengalaman yang sama akan cenderung bertingkah laku serupa.[9]
Perbedaan yang paling penting antara aliran klasik dan aliran positifis, yaitu bahwa aliran positifis lebih mengutamakan pencarian fakta empiris untuk mengkonfirmasikan ide bahwa kejahatan ditentukan oleh banyak factor. Hal ini jelas merupakan pergeseran menjauhi penalaran Beccaria dan Bentham, yang memandang bahwa kejahatan merupakan akibat dari kehendak bebas dan hedonisme individual.[10] Jadi aliran ini menolak pandangan adanya pembalasan berdasarkan kesalahan yang subjektif. Aliran positivis melihat kejahatan bukan dari sudut pandang perbuatanya, melainkan pelakunya sendiri yang harus dilihat dan didekati secara nyata dan persuasive. Tujuan pendekatan pada pelaku ini adalah untuk mempengaruhi pelaku kejahatan secara positif sepanjang masih dapat dibina dan diperbaiki.

3.      Aliran Kritis Kriminologi
    Krimimnologi kritis berpendapat bahwa fenomena kejahatan adalah sebagai konstruksi sosial, artinya apabila masyarakat mendefinisikan tindakan tertentu sebagai kejahatan, maka orang-orang tertentu dan tindakan-tindakan pada waktu tertentu memenuhi batasan  sebagai kejahatan. Ini berarti bahwa kejahatan dan penjahat bukanlah fenomena yangberdiri sendiri yang dapat diidentifikasikan dan dipelajari secara obyektif oleh ilmuan sosial, sebab dia ada hanya karena hal itu dinyatakan sebagai demikian oleh “masyarakat”. Oleh karenanya, kriminoligi kritis mempelajari proses-proses dimana kumpulan tertentu dari orang-orang dan tindakan-tindakan ditunjukan sebagai criminal pada waktu dan tempat tertentu.
   Kriminologi kritis bukan sekedar mempelajari perilaku dari orang-orang yang didefinisikan sebagai kejahatan, akan tetapi juga perilaku dari agen-agen control social (aparat penegak hukum), disamping mempertanyakan dijadikannya tindakan-tindakan tertentu sebagai kejahatan.
Dalam menemukan sebab kejahatan menurut aliran kritis dapat digunakan dua pendekatan. Pendekatan kritis ini secara relatif dapat dibedakan antara pendekatan "interaksionis" dan "konflik".[11]
a.    Pendekatan interaksionis
Pendekatan interaksionis berusaha untuk menentukan mengapa tindakan-tindakan dan orang-orang tertentu didefinisikan sebagai kriminal dimasyarakat tertentu dengan cara mempelajari "persepsi" makna kejahatan yang dimiliki masyarakat yang bersangkutan. Mereka juga mempelajari makna kejahatan yang dimiliki agen kontrol sosial dan orang-orang yang diberi batasan sebagai penjahat. Disamping itu juga dipelajari makna proses sosial yang dimiliki kelompok bersangkutan dalam mendefinisikan seseorang sebagai penjahat. Dengan demikian untuk dapat memahami kejahatan, perlu dipelajari seluruh proses kriminalisasi, dalam arti baik proses-proses yang mempengaruhi pembentukan undang-undang yakni yang dijadikan orang (orang) tertentu sebagai penjahat.
Hubungan antara kejahatan dan proses kriminalisasi secara umum dinyatakan dengan digunakannya konsep "penyimpangan" (deviance) dan reaksi sosial. Kejahatan dipandang sebagai bagian dari "penyimpangan sosial" dalam arti bahwa tindakan yang bersangkuatan "berbeda" dari tindakan - tindakan yang dipandang sebagai normal atau "biasa" dimasyarakat, dan terhadap "tindakan menyimpang" tersebut diberikan reaksi sosial yang negatif, dalam arti secara umum masyarakat memperlakukan orang - orang tersebut sebagai "berbeda" dan "jahat".
Dengan demikian siapa yang dipandang menyimpang dari masyarakat tertentu tergantung pada masyarakat itu sendiri. Kadang -kadang kondisi yang mempengaruhi pemberian batasan itu tidak begitu jelas, sehingga pada akhirnya banyak sekali tergantung dari sikap polisi, jaksa dan hakim. (Misalnya pada kasus-kasus "perkosaan", khususnya tentang batas - batas "godaan" yang boleh dilakukan pria). Dalam arti luas, kejahatan (penyimpangan) seperti halnya kecantikan, ada di mata yang memandangnya. Dengan demikian penyimpangan dan dan reaksi sosial merupakan hubungan timbal balik yang hanya dapat dipahami dalam hubungan satu dengan yang lain. Dasar pemikiran interaksionis ini bersumber pada "symbolic interactionism" yang dikemukakan oleh Mead (1863-1931) yang menekankan bahwa "sumber" perilaku manusia tidak hanya ditentukan oleh peranan kondisi - kondisi sosial akan tetapi juga peranan individu dalam menangani, menafsirkan dan berinteraksi dengan kondisi - kondisi yang bersangkutan. Menurutnya manusia sebagai pencipta dan sekaligus sebagai produk dari lingkungannya. Sebaliknya pendekatan konflik lebih memfokuskan studinya dalam mempertanyakan "kekuasaan" dalam mendifinisikan kejahatan.
b.   Pendekatan konflik
Menurut pendekatan “konflik” orang berbeda karena kekuasaan yang dimilikinya dalam perbuatan dan bekerjanya hukum. Secara umum dapat dijelaskan bahwa mereka yang memiliki kekuasaan yang lebih besar dan mempunyai kedudukan yang tinggi dalam mendefinisikan kejahatan adalah sebagai kepentingan yang bertentangan dengan kepentingan dirinya sendiri. Secara umum kejahatan sebagai kebalikan dari kekuasaan; semakin besar kekuasaan seseorang atau sekelompok orang semakin kecil kemungkinannya untuk dijadikan kejahatan dan demikian juga sebaliknya. Orientasi sosio-psikologis teori ini pada teori-teori interaksi sosial mengenai pembentukan kepribadian dan konsep “proses sosial” dari perilaku kolektif.
Pendekatan konflik beranggapan, bahwa hukum sebenarnya berisi nilai-nilai yang tidak mencerminkan keinginan seluruh masyarakat, tetapi hanya mencerminkan keinginan dari sekelompok warga masyarakat yang pada waktu itu memiliki kekuasaan dalam bidang politik, ekonomi dan sosial.
Menurut kriminologi konflik, orang berbeda karena memiliki perbedaan kekuasaan dalam mempengaruhi perbuatannya dan bekerjanya hukum Secara umum dikatakan bahwa mereka yang mempunyai tingkat kekuasaan yang lebih besar mempunyai kedudukan yang lebih baik (menguntungkan) dalam mendefinisikan perbuatan - perbuatan yang bertentangan dengan nilai - nilai dan kepentingannya sebagai kejahatan. Bersamaan dengan itu, mereka dapat mencegah dijadikannya tindakan - tindakan tersebut bertentangan dengan nilai - nilai dan kepentingan masyarakat yang lebih kecil kekuasaannya.
Secara umum dapat dikatakan bahwa kejahatan merupakan kebalikan dari kekuasaan: semakin besar kekuasaan yang dimiliki seseorang atau kelompok orang - orang, semakin kecil kemungkinannya untuk dijadikan sebagai kejahatan dan begitu sebaliknya. Orientasi sosio - psikologis teori konflik terletak pada teori - teori interaksi sosial mengenai pembentukan kepribadian dan konsep "proses sosial" dari perilaku kolektif.
Pengaruh timbal balik yang berlangsung secara terus menerus didalam menjaga keseimbangan (stabilitas) yangmemberi arti penting bagi ciri "perilaku kolektif yang berbeda dengan ide perilaku individual yang stimulan. Arus yang berubah ubah dari tindakan kolektif ini memberi kesempatan terhadap kemungkinan terjadinya pergeseran posisi secara terus menerus, dalam arti kemungkinan mendapatkan status atau sebaliknya akan kehilangan. Akibatnya ada kebutuhan untuk menjaga dalam mempertahankan posisinya, disamping untuk selalu berusaha memperoleh kesempatan dalam memperbaiki status didalam hubungan dengan kelompok-kelompok yang ada Dengan demikian, menurut aliran pemikiran ini, konflik dipandang sebagai sesuatu yang penting dan mendasar dari proses sosial dimana kelangsungan sosial bergantung.


DAFTAR PUSTAKA

Atmasasmita, Romli .2007. Teori dan Kapita Selekta Kriminologi, Bandung: PT. Refika Aditama.
Bonger, W.A .1981, Pengantar Tentang Kriminologi, Jakarta: Ghalia Indonesia.
Darmawan, Kemal dan Purniani ,1994. Mazhab dan Penggolongan Teori Dalam Kriminologi, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.
Hagan, Frank E. 2013.Pengantar Kriminologi: Teori, Metode, dan Perilaku Kriminal, Kncana, Jakarta, 2013Siagian, Amrizal Pengantar Studi Kriminologi : Perkembangan Pemikiran Dan Teori Kriminologi . Ciputat: UIN Jakarta Press.
Lay, Alexander dan Tobu  Mulya Lubis .2009. Kontroversi hukuman mati, Jakarta: Kompas.
Lilly, J. Robert  ,2015. Teori Kriminologi: Konteks dan Konsekuensi, , Jakarta: Prenada Media Group.
Siswosoebroto, Koesriani .2009. Pendekatan Baru Dalam Kriminologi, Jakarta:Universitas Trisaksi.


[1] Amrizal Siagian, Pengantar Studi Kriminologi : Perkembangan Pemikiran Dan Teori Kriminologi, UIN Jakarta Press, Ciputat, 2013, hlm. 39.

[2] Romli Atmasasmita, Teori dan Kapita Selekta Kriminologi, PT. Refika Aditama, Bandung, 2007, hlm. 9.
[3] Bonger, W.A, Pengantar Tentang Kriminologi, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1981, hlm. 45.
[4] Ibid.
[5] Frank E. Hagan, Pengantar Kriminologi: Teori, Metode, dan Perilaku Kriminal, Kncana, Jakarta, 2013, hlm. 136.
[6] Purniani dan Kemal Darmawan, Mazhab dan Penggolongan Teori Dalam Kriminologi, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1994, hlm. 21.
[7] Amrizal Siagian, Perkembangan Pemikiran dan Teori Kriminologi, UIN Jakarta Press, Jakarta, 2013, hlm. 41.
[8]  Tobu Mulya Lubis dan Alexander lay, Kontroversi hukuman mati, Kompas, Jakarta, 2009, hlm. 273.
[9] Ibid, Hlm. 43.
[10] J. Robert Lilly, Teori Kriminologi: Konteks dan Konsekuensi, Prenada Media Group, Jakarta, 2015, hlm. 26.
[11] Koesriani Siswosoebroto, Pendekatan Baru Dalam Kriminologi, Penerbit :Universitas Trisaksi, Jakarta, 2009, hlm. 103

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resume Buku Prof. Peter Mahmud Marzuki "PENELITIAN HUKUM"

ALIRAN SEJARAH HUKUM (Legal Historism)

Pinjam Pakai dan Pinjam Meminjam