FILSAFAT HUKUM MAHZAB HUKUM ALAM
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Filsafat
Hukum Alam (Natural Law) lahir sejak zaman Yunani, berkembang di zaman Romawi
sampai ke zaman modern ini. Pemuka Hukum Alam adalah Plato (429-347 BC),
Aristotle (348-322 BC) zaman Yunani, Marcus Tullius Cicero (106-43 BC) zaman
Romawi, St. Agustine (354-430), dan St. Thomas Aquinas (1225-1274) dari
kalangan Kristen, Grotius (15831645), Thomas Hobbes (1588-1679), John Locke
(1632-1704).
Teori
Hukum berkenaan dengan pertanyaan, apa yang dimaksud dengan Hukum Alam (Natural
Law)? Dihubungkan dengan Teori Hukum Alam (Natural Law), maka Teori Hukum
lebih berhubungan dengan karakter dari hukum atau karakter dari suatu sistem
hukum daripada isinya, yaitu peraturan perundang-undangan yang spesifik. Namun
demikian, setiap penjelasan yang tepat mengenai Hukum Alam (Natural Law), akan
mengakomodasi fungsi dan administrasi dari ketentuan-ketentuan hukum tertentu
dari suatu sistem hukum. Hal ini dapat dilakukan dengan berbagai cara, ada
yang menekankan kepada satu atau lebih aspek khusus di dalam mana hukum
positif beroperasi. Analisis hukum yang lainnya memberikan tekanan yang khusus
kepada kekuasaan dan posisi dari pembuat undang-undang, sementara yang lainnya
memberikan penekanan kepada pengadilan, yang lainnya melihat sikap dari
masyarakat yang menjadi subjek hukum, dan lainnya lagi menekankan kepada moral
dan nilai-nilai sosial di mana hukum itu bertujuan untuk mereflesikannya dan
mendorongnya.
Analisis
dari unsur-unsur hukum seperti tersebut di atas, metode pendekatannya umumnya
dikenal sebagai “doktrin Hukum Alam”, “positivisme”, dan “realisme”,
kesemuanya menawarkan sesuatu yang sangat berharga untuk diperhatikan dan
dengan demikian membuatnya saling bersaing, kadang-kadang menimbulkan konflik,
dalam usaha untuk mendapat pengakuan. Kontribusi masing-masing seringkali
digunakan sebagai alasan kritik terhadap metode yang lain.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah
Hukum Alam (Natural Law)
Sama
halnya dengan banyak bidang studi lainnya, sejarah hukum dari alam (the law of
nature) dimulai pada zaman Yunani. Filsafat Yunani melahirkan standar yang
absolut mengenai hak dan keadilan. Hal ini didasarkan pada kepercayaan pada
berlakunya kekuasaan supernatural atas hukum, di mana manusia seharusnya
mematuhinya. Pernyataan riil pertama dari Teori Hukum Alam (Natural Law) dari
sudut terminologi filsafat berasal dari abad ke 6 SM. Hukum manusia dikatakan
mendapat tempatnya dalam tatanan benda-benda berdasarkan atas kekuatan yang
mengontrol segala hal. Reaksi dari ajaran ini datang pada abad-abad berikutnya
dimana ada perbedaan dan kemungkinan timbulnya konflik antara Hukum Alam
(Natural Law) dan hukum yang dibuat manusia.
Pada
zaman Yunani, Aritoteles dan Plato membangun kembali Hukum Alam (Natural Law).
Sampai hari ini hanya Aristoteles yang mempunyai pengaruh terbesar dalam
doktrin Hukum Alam (Natural Law). Aristoteles menganggap manusia adalah bagian
dari alam, bagian dari sesuatu, tetapi juga, diikuti dengan akal yang
cemerlang, yang membuat manusia sesuatu yang istimewa dan memberikannya
kekhususan yang menonjol.
Pengakuan
terhadap akal manusia membentuk dasar bagi konsepsi Stoic mengenai Hukum Alam
(Natural Law). 2Stoic mengatakan, akal berlaku terhadap semua bagian dari alam
semesta dan manusia adalah bagian dari alam semesta, diperintah akal. Manusia
hidup pada dasarnya jika ia hidup menurut akalnya. Doktrin Hukum Alam (Natural
Law) kemudian sampai pada tingkat di mana alam universal memimpin, melalui
akal dan kritik yang dijalankan oleh manusia, langsung kepada tingkah laku
yang seharusnya secara normatif dijalankan. Keharusan yang normatif ini
dianggap bagian yang integral dan didukung oleh moral. Stoic menambahkan unsur
agama dalam tingkah laku manusia. Era cemerlang dari Hukum Alam (Natural Law)
lahir dari doktrin hukum agama dari Thomas Aquinas. Pada masa itu Tuhan dari
agama Kristen dianggap sebagai sumber kekuatan akal yang berasal dari Tuhan.
Misalnya hal ini diketemukan dalam 10 Perintah Tuhan.
Sekuralisasi
dari Hukum Alam (Natural Law) kemudian datang belakangan pada masa Thomas
Hobbes dan Grotius. Ahli-ahli filsafat abad ke-17 ini pada umumnya menolak
konsepsi bahwa Tuhan adalah sumber tertinggi dari hukum, mereka berpendapat
Hukum Alam (Natural Law) itu mengindikasikan bahwa tindakan manusia itu datang
dari kesepakatan mereka atau ketidak sepakatan mereka, berdasarkan akal atau
kebutuhan moral, dan akibatnya perbuatan itu dilarang atau diperintahkan oleh
Tuhan.
Dalam
perkembangan selanjutnya Thomas Hobbes mempunyai motif politik dengan
menggunakan Hukum Alam (Natural Law) untuk membenarkan perlunya pemerintahan
yang absolut, kekuasaan politik yang besar untuk melindungi rakyat biasa
melawan mereka sendiri dan melawan kekurangan/kelemahan mereka sendiri. Reaksi
terhadap Thomas Hobbes datang dari Jeremy Bentham dengan ajarannya
utilitarianisme – kebahagiaan setinggi-tingginya untuk sebesar-besarnya umat
manusia. Ajaran Bentham adalah penolakan total dari doktrin Hukum Alam
(Natural Law).
Pembela
doktrin Hukum Alam Modern, antara lain Professor d’Entreves yang mengatakan
alam masalah analisis terhadap sifat dari hukum: “jawaban kaum Positivis
adalah mengorbankan apa yang seharusnya (the ought) kepada apa yang menjadi
(the is); sarjana Hukum Alam (Natural Law) mengorbankan apa yang menjadi (the
is) kepada apa yang seharusnya (the ought); tentu persoalannya adalah
bagaimana hukum dapat dinyatakan dalam bentuk menjadi (an is) dan yang
seharusnya (an ought), bagaimana keduanya dapat menjadi fakta dan proposisi
seharusnya (an ought proposition). Saya percaya ada unsur kebenaran pada kedua
pihak, dan bahwa kata akhir bukanlah masalah Teori Hukum sebagaimana juga
bukan Teori Politik.” Pendapat dari Prof. d’Entreves membuktikan kenyataan
bahwa doktrin Hukum Alam dan Positivisme mempunyai peranan yang saling
melengkapi untuk memecahkan persoalan-persoalan sifat dari hukum. Hukum
internasional merupakan indikator yang baik untuk mendukung pendapatnya
tersebut. Lemahnya hukum internasional sekarang ini tidak karena tidak adanya
penegakkan tetapi karena tidak adanya “peranan moral internasional”
(“international moral sence”).
Menghubungkannya
dengan sikap modern terhadap Hukum Alam yang memusatkan perhatian kepada aspek
spesifik tertentu tentang isinya, Hard berpendapat isi minimum dari Hukum Alam
adalah “core of good sence” (perasaan yang baik). Hard berpendapat Hukum Alam
bisa diketemukan melalui akal, dan apa hubungannya dengan hukum manusia dan
moralitas. Dalam hubungan ini, pertanyaan mengenai bagaimana manusia hidup
bersama, harus kita asumsikan bahwa keinginan mereka, dalam garis besarnya
adalah untuk hidup.
Pada
abad ke 18 terjadi perdebatan antara Blackstone dan Bentham yang mempengaruhi
Teori Hukum (Legal Theory). Blackstone adalah penganut Hukum Alam dari
Inggris, sebaliknya Bentham adalah pengkritik Hukum Alam. Menurut Blackstone
hukum itu adalah rule of action,aturan untuk berbuat yang diterapkan secara
tidak diskriminatif kepada semua macam tindakan apakah animate or inanimate,
rasional atau tidak rasional. Rule of action dilakukan oleh yang superior di
mana yang inferior terikat untuk menaatinya. Hukum dari alam menurut
Blackstone adalah kehendak dari Penciptanya (Maker).[1]
B. Pengertian Hukum Alam
Pembahasan
tentang sifat daripada hukum, sebagian mengenai “hukum dari alam” (“the law of
nature”). Berdasarkan idologi tertentu yang ada dibdlakangnya, berbagai nama
dipergunakan untuk subjek yang sama, seperti hukum alam semesta (the law of
the universe), hukum Tuhan (the law of God), hukum yang kekal/abadi (the
eternal law), hukum dari umat manusia (the law of mankind) dan hukum dari akal
(the eternal of reason).
Klaim
yang sentral terhadap “hukum dari alam” (“the law of nature”) ialah apa yang
sifatnya alamiah, yang seharusnya terjadi. Hukum dari alam (“the law of
nature”) seharusnya menjadi hukum yang mengatur untuk semua benda, termasuk
manusia dan hubungan-hubungan manusia. Hipotesa dari asumsi di belakang teori
ini, bahwa hukum atau seperangkat hukum menguasai atau mengatur semua hal, apakah
itu grafitasi, gerakan, phisik, dan reaksi kimia, insting binatang atau
tindakan manusia. Boleh dikatakan tindakan kita yang tertentu dan reaksinya
ditentukan oleh hukum dari alam (the law of nature) dan segala yang terjadi
berlawanan adalah berlawanan dengan alam. Jika sebuah batu dijatuhkan dalam
keadaan gravitasi normal, ia akan menentang hukum grafitasi jika terangkat ke
udara.
Menurut
hukum gravitasi, batu itu akan jatuh ke bawah, namun demikian batu itu tidak
mempunyai akal dan tidak memiliki kapasitas untuk memilih apa yang ia
inginkan. Sebaliknya, manusia memiliki kemampuan dalam berbagai kombinasi.
Tidak seperti batu, manusia tidak terikat dengan sendirinya, secara psikologis
atau spiritual untuk mengikuti hukum yang seharusnya ditaatinya dalam hubungan
sesama mereka. Kita “seharusnya” (“ought”) dapat dipakai dalam hubungan dengan
batu dalam pernyataan seperti : “batu itu seharusnya jatuh (ought to fall) ke
bawah bila kita melepaskannya”.
C.
Teori Hukum Alam
Teori
hukum alam, bisa dibilang sebagai sebuah paradigma yang paling tua sekaligus
paling besar pengaruhnya bagi perkembangan ilmu hukum sampai hari ini.
Teori-teori hukum yang dikembangkan setelah periode hukum alam, sesungguhnya
merupakan pengembangan/penyempurnaan saja dari paradigma hukum alam. Dalam
teori hukum alam, hukum dianggap sebagai nilai yang universal dan selalu hidup
di setiap sanubari orang, masyarakat, maupun negara. Hal ini disebabkan karena
hukum niscaya harus tunduk kepada batasan-batasan moral yang menjadi guideline bagi hukum itu sendiri.
Bahkan disebutkan bahwa di atas sistem hukum positif negara, ada sebuah sistem
hukum yang lebih tinggi, bersifat Ketuhanan yang berdasarkan atas akal budi
atau hukum alam itu sendiri, jadi hukum alam lebih superior dibanding hukum
negara. Hal ini terjadi karena adanya keabsahan dari norma-norma yang bukan
makna dari tindakan-tindakan kemauan manusia, karena itu nilai-nilai yang
mereka bentuk adalah sama sekali tidak sewenang-wenang, subjektif atau relatif[2].
Hukum alam tampil sebagai suatu hukum dari akal budi manusia dan menyalurkan
hasrat penyelidikan tentang tindakan kemauan dari seseorang yang menampilkan
diri (bertindak) sebagai legislator moral atau hukum.[3]
Para
pemikir hukum paradigma hukum alam, berkeyakinan bahwa keadilan merupakan
sebuah nilai esensial dari hukum, bahkan sering keduanya diidentikkan sebagai
sebuah nilai yang tunggal dan menyatu. Hukum memiliki banyak tujuan dalam
dirinya, karena hukum tidak hanya berfungsi sebagai sebuah alat untuk menegakkan
keadilan, namun juga berfungsi sebagai cermin rasa keadilan dan kedaulatan
rakyat dalam suatu negara [4]
Terlebih
dahulu kita harus membedakan antara pemikiran tentang hukum alam yang tumbuh
di Yunani dengan pemikiran tentang hukum alam yang tumbuh di Romawi. Dan perlu
kita ketahui bahwa tidak ada teori tunggal tentang hukum alam, masing-masing
pakar atau filsuf yang menganut aliran ini, cenderung mempunyai pandangan khas
masing-masing.
Membicarakan
hukum tidak terlepas dengan kaitannya dengan cita hukum yang senantiasa
merupakan pembicaraan mengenai keadilan pula. Menurut Plato, kekuatan moral
adalah unsur hakikat dari hukum, sebab tanpa adanya moralitas, maka hukum akan
kehilangan supremasi dan indenpendensinya. Keadilan atau ketidakadilan menurut
hukum akan diukur oleh nilai moralitas yang mengacu pada harkat dan martabat
manusia.[5]
Hukum
negara bagi Plato, merupakan hal
yang sangat penting guna menegakkan keadilan, karena hanya dengan instrumen
hukum (perundang-undangan) yang didapat dari persetujuan atau hasil kontrak
sosial antara rakyat dengan penguasa hukum baru dapat diransformasikan ke dalam
jiwa masyarakat sehingga hukum akan dihormati dan dipatuhi oleh masyarakat dan
bukan sekadar dipaksakan dari luar.
Meskipun Plato tidak memiliki teori secara eksplisit mengenai hukum alam, namun
pemikirannya tentang alam, menurut John Wild, mengandung beberapa elemen yang
ditemukan dalam teori hukum alam.Menurut Plato, kita semua hidup dalam dunia
yang tertata.Inti dari dunia yang tertata ini, atau alam, adalah bentuk-bentuk,
yang paling fundamental adalah Bentuk Kebaikan, yang Plato menguraikannya
sebagai “wilayah yang paling cemerlang dari suatu makhluk”.Bentuk Kebaikan
adalah asal mula segala hal dan jika itu terlihat maka akan menuntun seseorang
untuk berbuat secara bijak
Aristoteles,
murid Plato memiliki pandangan yang sedikit berbeda dengan Plato. Hukum menurut
Aristoteles, merupakan sebuah “kandang” yang dapat menjinakkan manusia. Hukum
negara bertujuan tidak hanya untuk memperoleh keadilan namun juga untuk
mendapatkan kebahagiaan untuk semua warga negara.[6] Aristoteles menolak sebuah
anggapan bahwa hukum adalah sekedar alat konvensi praktis semata, pengatur lalu
lintas, menghukum pelaku kejahatan, atau memaksa warga negara untuk membayar
pajak.
Aristoteles
berpendapat bahwa keadilan haruslah dibagikan oleh negara ke setiap warga
negara dan hukum yang baik adalah hukum yang menjaga agar keadilan sampai
kepada semua orang tanpa terkecuali dan non-diskriminatif. Secara eksplisit
beliau menyatakan “Keadilan adalah suatu kebijakan politik yang
aturan-aturannya menjadi dasar dari peraturan negara dan aturan-aturan ini
merupakan ukuran tentang apa yang hak” [7].
Plato
dan Aristoteles merupakan pelopor dari paradigma hukum alam, yang
tulisan-tulisannya telah banyak mempengaruhi fikiran-fikiran filsuf muda zaman
romawi kuno seperti St. Agustinus dan Thomas Aquinas, yang keduanya merupakan
tokoh-tokoh pembaharuan hukum alam.
St. Agustinus,
seorang filsuf yang mengikuti jejak pemikiran Plato, menekankan pentingnya
keadilan dalam setiap hembusan napas hukum negara, dia mengatakan “Hukum yang
tidak adil sama sekali bukan hukum”, Ia membedakan hukum antara hukum ilahi (jus divinum) dan hukum manusia (jus humana). Apa yang disebut hukum alam
adalah hukum ilahi, sedangkan hukum manusia tidak lain adalah sebuah kebiasaan
(customs). Termasuk dalam hukum
manusia ini ada dua macam hukum yang ditemukan dalam tradisi hukum bangsa
Romawi yakni jus gentium, hukum
antarbangsa yang secara histrois berlaku dalam lingkup imperium Romawi yang
mengatur hubungan bangsa Romawi dengan jajahannya dan jus civile yang berlaku khusus bagi bangsa Romawi itu sendiri.[8]
Dalam
kajian filsafatnya, ia mencoba untuk mensinergikan antara Filsafat Moral Plato
dengan ajaran Kristen yang dia anut. Agustinus berkeyakinan bahwa satu-satunya
jalan yang paling tepat untuk mengenal Tuhan sekaligus mengenal manusia, adalah
melalui kitab suci, filsafat digunakan sebagai alat yang efektif untuk
menjelaskan dan mengonfirmasikan kebenaran-kebenaran imani, sehingga iman
Kristen yang sejati tidak akan tercemari oleh iman yang membuta.[9]
Selain itu Thomas van Aquinas juga merupakan salah satu tokoh filsafat hukum
alam yang termasyhur di zamannya. Ia mengatakan bahwa segala kejadian di alam dunia ini
diperintah dan dikemudikan oleh akal ketuhanan, hukum ketuhanan adalah yang
tertinggi. Hukum dibagi ke dalam empat golongan:
a.
Lex Aeterna, rasio Tuhan sendiri yang
mengatur segala sesuatu dan merupakan sumber dari segala hukum. Rasio ini tidak
dapat ditangkap oleh panca indera manusai;
b.
Lex Divina, bagian dari rasio Tuhan yang
dapat ditangkap panca indera manusia berdasarkan waktu yang diterimanya;
c.
Lex Naturalis, hukum alam, yaitu
penjelmaan dari lex aeterna di dalam rasio manusia;
d.
Lex Positivis, hukum yang berlaku
merupakan pelaksanaan dari hukum alam oleh manusia berkaitan dengan syarat
khusus yang diperlukan oleh keadaan dunia. Hukum positif dibagi menjadi dua,
yaitu hukum positif yang dibuat oleh Tuhan (kitab-kitab suci) dan hukum positif
yang dibuat oleh manusia.
Ia
banyak mengambil sari-pati pemikiran Aristoteles tentang hukum alam yang
merupakan standar regulatif dari hukum positif;beliau menyatakan: “semua hukum
buatan manusia dalam penalarannya memiliki kedudukan sebagai yang diturunkan
dari hukum alam, jika suatu aspek hukum tidak diturunkan oleh hukum alam, maka
hukum tersebut cacat sebagai hukum, hukum tersebut tidak dapat memberikan
keadilan dan itu bukanlah hukum”[10].
Thomas
menggambarkan hukum alam sebagai puncak hierarki hukum abadi, dimaknai suatu
pengaturan rasional atas segala sesuatu dimana Tuhan yang menjadi penguasa alam
semesta.[11]
Dari kedua tokoh Teologis diatas, hukum alam disintesiskan dengan dogma agama,
yang kemudian menimbulkan paradigma hukum agama yang mendikotomikan antara
hukum negara sekuler dengan hukum yang berlandaskan atas dogma agama dan
moralitas.
Paradigma
hukum alam tidak mengenal batas keyakinan dan geografis, paradigma ini juga
telah memengaruhi filsuf-filsuf muslim, seperti Al-Syafii (820 M), Al- Farabi
(870-950M) yang mendalami pemikiran Plato, Ibn Sina (980-1037 SM) yang di
daratan Eropa dikenal dengan nama Avicenna, dan Ibn Rushd (1126-1198) yang di
daratan Eropa dikenal dengan nama Averroes, yang keduanya mendalami pemikiran
Aristoteles.
Huge
de Groot atau Grotius adalah Bapak Hukum Internasional karena yang
mempopulerkan konsep hukum dalam hubungan antar negara seperti hukum perang dan
damai serta hukum laut. Menurutnya sumber hukum adalah rasio manusia karena
karakteristik yang membedakan manusia dan makhluk lain adalah kemampuan
akalanya, seluruh kehidupan manusia harus berdasarkan pada kemampuan akalnya
dan hukum alam adalah hukum yang muncul sesuai kodrat manusia yang tidak
mungkin dapat diubah oleh Tuhan sekalipun karena hukum alam diperoleh manusia
dari akalnya tetapi Tuhanlah yang memberikan kekuatan mengikatnya.
Landasan-landasan pembatasan terhadap hukum yang dibuat manusia harus dibatasi
dengan tiang hukum alam sebagai mana dikemukakan oleh Grotius yakni : Milik
orang lain harus dijaga;prinsip kesetiaan pada janji; prinsip ganti rugi dan
prinsip perlunya hukuman karena pelanggaran atas hukum alam. Dengan demikian
hukum akan ditaati karena hukum akan memberikan suatu keadilan sesuai dengan
porsinya.
D. Fungsi Hukum Alam
Menurut Soedjono Dirdjosisworo, fungsi
hukum alam terhadap hukum positif adalah sebagai berikut:
a. Hukum
alam sebagai sarana koreksi bagi hukum positif.
b. Hukum
alam menjadi inti hukum positif seperti hukum internasional.
c. Hukum
alam sebagai pembenaran hak asasi manusia.
Menurut Friedman[12], fungsi hukum alam adalah
sebagai berikut:
a. Instrumen utama pada saat hukum perdata
Romawi kuno ditransformasikan menjadi suatu sistem internasional yang luas.
b. Menjadi senjata yang dipakai oleh kedua
pihak (pihak gereja dan pihak kerajaan) dalam pergaulan mereka.
c. Keabsahan hukum internasional
ditegakkan atas nama hukum alam.
d. Menjadi tumpuan pada saat orang
melancarkan perjuangan bagi kebebasan individu berhadapan dengan absolutisme.
e. Dijadikan senjata para hakim di
Amerika, pada saat memberikan tafsiran terhadap konstitusi mereka, dengan
menolak campur tangan negara melalui perundang-undangan yang ditujukan untuk
melakukan pembatasan ekonomi.
E. Kekuatan dan Kelemahan Hukum Alam
Prinsip
utama hukum alam adalah hukum tersebut bersifat universal. Nilai-nilai yang
diajarkan dalam hukum alam berlaku bagi semua pihak, tidak berubah karena
kaitannya dengan alam. Unversalitas tersebut menjadi kekuatan hukum alam,
karena ia menjadi ukuran validitas hukum positif. Hukum alam dapat digunakan
sebagai landasan dalam melakukan kritik terhadap keputusan-keputusan dan
peraturan-peraturan, dan bahkan mengkritik hukum.Universalitas ini terlihat
pada pemberlakuan nilai-nilai (values) dan moral, yakni dengan nilai-nilai yang
diturunkan dari Tuhan, yang secara filosofis menjadi acuan bagi pembentukan
hukum positif. Dengan kekuatan tersebut, hukum alam dapat memberikan jawaban
atas persoalan-persoalan moral yang tidak dapat diselesaikan oleh hukum masa
kini.
Namun
demikian, universalitas tersebut juga menjadi kelemahan dari hukum alam
sendiri. Karena sifatnya yang universal, maka perlu untuk dilakukan
‘positivisasi’ nilai-nilai dalam hukum alam tersebut, agar secara konkrit dapat
diketahui bentuk hukumnya untuk dapat diterapkan dalam kehidupan sosial.
Prinsip-prinsip dalam hukum alam bersifat abstrak, sehingga perlu
di-‘breakdown’ atau diterjemahkan ke dalam peraturan yang lebih konkrit.
Mengacu
pada Struktural-Fungsional (Talcott Parson), secara singkat dapat dikatakan
bahwa kekuatan hukum alam adalah pada nilai-nilainya (the values) dan
kelemahannya adalah pada kekuatan berlakunya (the energy).
F. Tokoh-Tokoh
Hukum Alam
Penulis tidak
mungkin membahas secara khusus keseluruhan pendapat para tokoh dan pakar hukum
dalam makalah ini, olehnya itu penulis akan mengelompokkan tokoh dan pakar itu
menurut zamannya, dan bagi pembaca yang ingin mendalami persoalan hukum alam
ini secara khusus, dapat mencarinya pada literatur-literatur lain yang
membahasnya secara lebih terinci:[13]
a. Tokoh-tokoh
hukum alam Yunani, antara lain: Socrates, Plato, Aristoteles.
b. Tokoh-tokoh
hukum alam Romawi, antara lain: Cicero, Gaius.
c. Tokoh-tokoh
hukum alam abad pertengahan, antara lain: Augustine, Isidore, Thomas Aquinas,
William of Occam.
d. Tokoh-tokoh
hukum alam diabad keenam belas hingga kedelapaan belas antara lain :Jhon Locke,
Montesquieu, Rousseau.
e. Tokoh-tokoh
Idealisme Transendental, antara lain: Kant, Hegel.
f.
Tokoh-tokoh kebangkitan kembali hukum
alam, antara lain adalah: Kholer, Stammler, Leon Duguit, Geny, Dabin, Le Fur,
Rommen, Maritain, Renard, Gustaw, Radhbuch, Del Vecchio, Fuller, Recasens
Sinches.
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pemukan-pemuka
Hukum Alam seperti Thomas Aquinas mengatakan hukum ada empat macam : the
eternal law, the natural law, the divine law, and human (positive) law. Menurut
Aquinas, Hukum Positif berasal dari Hukum Alam. Kadang-kadang Hukum Alam mendiktekan
bagaimana seharusnya Hukum Positif. Misalnya, Hukum Alam mensyaratkan bahwa
pembunuhan itu terlarang. Pada lain waktu Hukum Alam memberikan ruang kepada
manusia untuk memilih (berdasarkan adat lokal atau pilihan kebijakan). Hukum
Alam menghendaki peraturan jalannya mobil untuk keselamatan pihak lain. Akan
tetapi Hukum Alam memberikan keleluasaan kepada pilihan manusia, jalan di
sebelah kiri atau di sebelah kanan, kecepatan kendaraan 55 mil/jam atau 65
mil/jam. Perbebatan tentang pemikiran Aquinas terus berlangsung, misalnya,
apakah Aquinas percaya Norma Moral berasal secara langsung dari pengetahuan
manusia atau berdasarkan pengalaman penjelmaan alam atau produk dari pengertian
praktis dan pemikiran berdasarkan pengalaman manusia.
Reaksi
dari ajaran ini datang pada abad-abad berikutnya dimana ada perbedaan dan
kemungkinan timbulnya konflik antara Hukum Alam (Natural Law) dan hukum yang
dibuat manusia. Pada zaman Yunani, Aritoteles dan Plato membangun kembali Hukum
Alam (Natural Law). Sampai hari ini hanya Aristoteles yang mempunyai pengaruh
terbesar dalam doktrin Hukum Alam (Natural Law). Aristoteles menganggap manusia
adalah bagian dari alam, bagian dari sesuatu, tetapi juga, diikuti dengan akal
yang cemerlang, yang membuat manusia sesuatu yang istimewa dan memberikannya
kekhususan yang menonjol.
DAFTAR
PUSTAKA
strauss,
Leo (1968). "Natural Law". International Encyclopedia of the Social
Sciences. Macmillan, dalam http://en.wikipedia.org/wiki/Natural_law
B.
Arief Sidharta, Hukum dan Logika, (Bandung:
PT Alumni, 2000)
E. Sumaryono, Etika
dan Hukum: Relevansi Teori Hukum
Kodrat Thomas Aquinas, (Yogyakarta: Kanisius,2000)
Friedman, Lawrence M, Law and Society (New Jersey:Printice Hall,1977)
Moh.
Mahfud MD,Bahan Kuliah Politik Hukum,Program
Pascasarjana UII
Rapar,
Filsafat Politik Agustinus, (Jakarta:Rajawali
Press,1989)
Rasjidi
dan Ira Thania Rasjidi, Dasar-dasar
Filsafat dan Teori Hukum, (PT: Cipta Aditya Bakti,2004)
Satjipto
Raharjo, Ilmu Hukum, (jakarta:CV
Rajawali Press,1982)
Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, Filsafat,
Teori dan Ilmu Hukum Pemikiran Menuju Masyarakat yang Berkeadilan dan
Bermartabat, Jakarta, Rajawali Pres, 2014
W.
Poespoprodjo, Filsafat Moral Kesusilaan
dan Teori dan Praktek, (Bandung: Remaja Karya, 1986)
[1] strauss, Leo
(1968). "Natural Law". International Encyclopedia of the Social Sciences.
Macmillan, dalam http://en.wikipedia.org/wiki/Natural_law
[3] Ibid, hlm 35
[4] Moh.
Mahfud MD,Bahan Kuliah Politik Hukum,Program
Pascasarjana UII,hlm 12
[5] W.
Poespoprodjo, Filsafat Moral Kesusilaan
dan Teori dan Praktek, (Bandung: Remaja Karya, 1986), hlm. 134
[6] Rasjidi
dan Ira Thania Rasjidi, Dasar-dasar
Filsafat dan Teori Hukum, (PT: Cipta Aditya Bakti,2004),hlm 79
[7] Satjipto
Raharjo, Ilmu Hukum, (jakarta:CV
Rajawali Press,1982)hlm 163
[8] Rapar, Filsafat Politik Agustinus, (Jakarta:Rajawali
Press,1989)hlm 7
[9] Ibid,hlm 8
[10] E.
Sumaryono, Etika dan Hukum: Relevansi Teori Hukum Kodrat Thomas Aquinas,
(Yogyakarta: Kanisius,2000) hlm 19
[11] Ibid, hlm 20
[12]
Friedman, Lawrence M, Law and Society (New
Jersey:Printice Hall,1977) hlm 17
[13] Teguh
Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, Filsafat, Teori dan Ilmu Hukum Pemikiran
Menuju Masyarakat yang Berkeadilan dan Bermartabat, Jakarta, Rajawali Pres,
2014 hlm.101
Komentar
Posting Komentar