Mengenal Antropologi Hukum


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Indonesia dikenal sebagai negara yang bercorak multikultural, multietnik, agama, ras, dan multi golongan. Sesanti Bhinneka Tunggal Ika secara de facto mencerminkan kemajemukan budaya bangsa dalam naungan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Wilayah negara yang membentang luas dari Sabang sampai Merauke. Indonesia memiliki sumber daya alam (natural resources) yang kaya dan melimpah bak untaian zamrud mutu manikam di bentang garis katulistiwa, dan berwujud sebagai sumber daya budaya (cultural resources) yang beragam coraknya (Koentjaraningrat, 1988; Hardjono, 1991).
Dari satu sisi, secara teoritis keragaman budaya (multikultural) merupakan konfigurasi budaya (cultural configuration) yang mencerminkan jatidiri bangsa, dan secara empirik menjadi unsur pembentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Selain itu, kemajemukan budaya juga menjadi modal budaya (cultural capital) dan kekuatan budaya (cultural power) yang menggerakkan dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara (Dhari dan Suparman, 1999).
Namun demikian, dari sisi yang lain kemajemukan budaya juga menyimpan potensi konflik yang dapat mengancam integrasi bangsa, karena konflik antar budaya dalam wujud pertikaian antar etnik, antar penganut agama, ras maupun antar golongan bersifat sangat sensitif dan rentan terhadap suatu kondisi yang menjurus ke disintegrasi bangsa. Hal ini sangat mungkin terjadi apabila konflik tersebut tidak dikelola, dimaknai, dan diselesaikan secara santun, damai, dan bijaksana oleh pemerintah bersama seluruh komponen anak bangsa.
Dari perspektif antropologi, konflik merupakan fenomena sosial yang tak terpisahkan (inherent) dari kehidupan manusia, apalagi dalam masyarakat bercorak multikultural. Ia tidak mungkin dihindari atau diabaikan dalam kehidupan bersama. Yang harus dilakukan adalah bagaimana konflik itu dikelola, dikendalikan, diakomodasi, dan diselesaikan secara damai dan bijaksana agar tidak menimbulkan disintegrasi sosial dalam kehidupan masyarakat (Bohanan, 1967; Spradley & McCurdy, 1987).
Dari perspektif antropologi hukum, fenomena konflik muncul karena adanya konflik nilai (con- flict of value), konflik norma (conflict of norm), dan/atau konflik kepentingan (conflict of interest) dari komunitas etnik, agama, maupun golongan termasuk juga komunitas politik dalam masyarakat. Selain itu, dapat dicermati bahwa konflik yang terjadi dalam masyarakat juga bersumber dari persoalan diskriminasi pengaturan dan perlakuan pemerintah pusat terhadap komunitas-komunitas masyarakat di daerah, dengan menggunakan istilah yang disebut Bodley (1982) sebagai politik pengabaian (political of ignorance), sebagai perlakuan yang mengabaikan, menggusur, dan bahkan mematisurikan nilai-nilai, norma-norma hukum rakyat (folk law), termasuk religi dan dan tradisi-tradisi masyarakat di daerah melalui dominasi hukum negara (state law) yang bercorak sentralisme hukum (legal centralism).
 Secara  konvensional  cita  hukum  (idea  of law atau rechts idee) sebagaimana dikemukakan Gustav Radbruch adalah untuk menciptakan keadilan (gerechtmatigheid atau justice), kemanfaatan (doelmatigheid atau utilitity), dan kepastian hukum (rechtmatigheid atau legal certainty). Sedangkan tujuan dari hukum adalah untuk menjaga keteraturan (social order) dan ketertiban sosial (legal order) dalam masyarakat, sehingga fungsi hukum lebih ditekankan sebagai instrumen pengawasan sosial (social control). Dalam masyarakat yang lebih kompleks, cita hukum dikembangkan sebagai alat untuk merekayasa kehidupan sosial (social engineering).

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa saja pendapat para ahli terkait antropologi hukum ?
2.      Apa saja bentuk – bentuk pernyataan hukum dalam antropologi hukum ?

C.     Tujuan Makalah
1.      Agar mahasiswa memahami pendapat para ahli antropologi hukum.
2.      Agar mahasiswa memahami bentuk – bentuk pernyataan hukum.



BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pendapat Para Ahli Terkait Antropologi Hukum
Dari optik ilmu hukum, antropologi hukum pada dasarnya adalah disiplin ilmu hukum empiris (tatsachenwissenschaap) yang memusatkan perhatiannya pada studi-studi hukum dalam kenyataannya di masyarakat dengan menggunakan pendekatan antropologis. Kendati demikian, dari sudut pandang antropologi, sub-disiplin antropologi budaya yang memfokuskan kajiannya pada fenomena hukum sebagai alat pengendalian social (social control) dalam masyarakat secara luas dikenal sebagai antropologi hukum)[1]
Studi tentang hukum sebagai sistem pengendalian sosial (social control) dalam kehidupan masyarakat telah banyak dilakukan oleh para ahli antropologi (Black, 1976, 1984). Karena itu, dikatakan bahwa para antropolog memberi kontribusi yang sangat bermakna dalam pengembangan konsep hukum yang dioperasikan dalam masyarakat (Griffiths, 1986:2).
Anthropologist have focussed upon micro processes of legal action and interaction, they have made the universal fact of legal pluralism a central element in the understanding of the working of law in society, and they have self-consciously adopted a comparative and historical approach and drawn the necessary conceptual and theoritical conclusion from this choice (Griffiths, 1986:2).

Para ahli antropologi mempelajari hukum bukan hanya sebagai produk dari hasil abstraksi logika sekelompok orang yang memiliki otoritas yang diformulasikan dalam bentuk peraturan, tetapi lebih mempelajari hukum sebagai perilaku sosial.[2]
Hukum dalam perspektif antropologi dipelajari sebagai bagian yang integral dari kebudayaan secara keseluruhan, dan karena itu hukum dipelajari sebagai produk dari interaksi sosial yang dipengaruhi oleh aspek-aspek kebudayaan yang lain, seperti politik, ekonomi, ideologi, religi, struktur sosial, dll. (Pospisil, 1971); atau hukum dipelajari sebagai proses sosial yang berlangsung dalam kehidupan masyarakat (Moore, 1978). Karena itu, hukum dalam perspektif antropologi bukan semata-mata berwujud peraturan perundang-undangan yang diciptakan oleh Negara (state law), tetapi juga hukum dalam wujudnya sebagai peraturan-peraturan lokal yang bersumber dari suatu kebiasaan masyarakat (customary law/folk law), termasuk pula di dalamnya mekanisme-mekansime pengaturan dalam masyarakat (self regulation) yang juga berfungsi sebagai sarana pengendalian sosial (legal order).
Jadi, Antropologi Hukum termasuk kelanjutan dari usaha manusia dalam masyarakat untuk memelihara sistem kemasyarakatannya, maka ia menghasilkan kesamaan dan keserasian perilaku dari para anggota individu dalam masyarakat atau sebagian dari masyarakat itu. Pola ulangaan dari perilaku manusia yang selalu sama dan serasi dan sering berlaku itulah disebut norma atau upaya. Oleh karenanya maka dalam studi tentang hukum bagi para ahli Antropologi sebagaimana dikatakan Hoebel : jadi jelaslah bahwa lapangan penelitian Antropologi hukum ditujukan pada suatu garis perilaku yang menunjukkan kejadiaannya secara terus menerus, itulah yang dikatakan “kebiasaan” atau “adat” dalam arti itulah yang merupakan “norma” atau ”upaya”. Norma disini adalah norma perilaku, yaitu kaidah perbuatan, bukan semata-mata kaidah kata-kata yang dapat didengar dari keterangan atau dapat dibaca dari tulisan, oleh karenanya kenyataannya yang lebih menentukan dari kepustakaan yaitu kenyataan-kenyataan kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat, sebagai nomra-norma sosial.
Tetapi adanya kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat itu belum tentu dan tidak semuanya merupakan kebiasaan-kebiasaan yang bersifat hukum. Oleh karena tidak semua norma sosial itu dibenarkan harus berlaku dan dipertahankan oleh masyarakat dengan perangkat-perangkat penguasanya. Diantara cirinya ialah apakah kebiasaan atau adat itu mempunyai sanksi sosial, baik sanksi yang bersifat positif maupun yang bersifat negatif. Sanksi yang dimaksud bukan berarti ancaman saja tetapi berarti penguat atau pengkuhan. Yang bersifat pengukuhan misalnya berupa pujian, kehormatan, tanda jasa, medali, hadiah, piagam, sedangkan yang bersofat ancaman atau hukuman berupa alis naik, bibir keriting, ejek cela, ditertawakan, dijiwir telinga, tidak diundang makan, disisihkan dalam pergaulan, diboikot sumber pencaharian, disiksa tubuh, dikurung atau dibuang. Dengan adanya sanksi itu maka norma sosial menjadi norma hukum.[3]
Sejauh mana sanksi hukum itu mendapat perhatian dan dirasakan sebagai hukuman bagi para anggota masyarakat, tergantung pada nilai dan perilaku yang tumbuh dari kesadaran anggota masyarakat serta bagaimana sikap tindak dari para petugas masyarkat bersangkutan. Dalam hukum perundangan tidak sulit kita mengetahuinya, dapat dilihat dari peraturan perundang-undangan, dimeja hijau, dimuka hakim, pada instansi-instansi tertentu: tetapi dalam hukum adat tidak mengetahui, karena apa yang dikatakan hukum adat tidak dalam bentuk peraturan yang sistematik dan dikodifikasi. Apa yang dikatakan kitab hukum adat bukanlah kitab perundangan, ia hanya merupakan catatan atau tulisan tentang hukum yang diperlakukan masyarakatnya dimasa lampau dan belum tentu masih berlaku dan dipertahankan dimasa sekarang. Demikian pula halnya dengan apa yang dikatakan peradilan diluar pengadilan Negara, seperti peradilan desa, peradilan adat, atau juga peradilan wasit, yang kebanyakan tidak mempunyai kantor yang tetap, tidak mempunyai hakim yang bertugas sehari-hari dan kedudukan hakimnya didasarkan pada susunan masyarakat bersangkutan.
B.      Bentuk – Bentuk Pernyataan Hukum dalam Antropologi Hukum
Dalam abad ke 18 tertdapat suatu pendapat umum dikalangan intelektual barat yang menaruh perhatian pada penelitian terhadap manusia dan masyarakat, yangan menyataka bahwa terdapat beberapa prinsip umum hukum yang bersifat universal, walaupun manifestasinya mungkin berbeda dalam berbagai kebudayaan. Pada abad ke 20 timbul perbedaan pendapat mengenai masalah apakah hukum terdapat pada setiap masyarakat, hal itu sebenarnya merupakan terus suatu perdebatan yang berkisar pada definisi hukum, atau pertanyaan “apakah hukum itu?”. Kalau hukum dirumuskan atas dasar prosedur sebagaimana dikemukakan oleh Radcliff-Brown dan pengikut-pengikutnya, maka hukum merupakan suatu pengendalian sosial yang dilakukan dengan perantaraan penerapan secara sistematis dari kekuatan fisik suatu masyarakat yang terorganisasi seacara politis. Apabila definisi tersebut digunakan sebagai patokan analisis, maka masyarakat-masyarakat Andaman, yurok, dan ifugaw, umpamanya, tidak mempunyai hukum. Akan tetapi, kalau hukum dirumuskan dalam arti yang sangat luas sehingga mencakup semua proses pengendalian sosial, sebagaimana yang pernah dilakukan Malinowski, maka dapat dikatakan bahwa semua masyarakat mempunyai hukum. Namun, harus dicatat bahwa disatu pihak penggunaan istilah hukum tidak mempunyai arti sedangkan dipihak lain lebih identic artinya dengan pengendalian sosial.
Perdebatan tersebut diatas ternyata tidak terbatas pada ruang lingkup hukum, akan tetapi, akan berkisar pada usaha untuk membedakan antara hukum dengan adat istiadat, sebagimana pernah di kemukakan oleh Nadel dan Kantorowicz. Apakah hukum dan istiadat dianggap sama, tergantung pada pengertian yang diberikan pada adat istiadat, yakni sebagai kebudayaan (sebagaimana dinyatakan oleh Tylor), perilaku adat, atau norma sosial yang kesemuanya merupakan aspek-aspek idela kebudayaan.
Para Antropolog telah memberikan sumbangan secara tidak langsung pada rumusan definsi hukum dengan cara memperluas pengetahuan mengenai variasi upaya-upaya hukum yang dilakukan oleh manusia. Akan tetapi, kegiatan-kegiatan secara langsung untuk mendefinisikan hukum tidak banyak hasilnya. Dewasa ini pusat perhatian telah beralih dari masalah-masalah filosofis dan teoritis ke masalah-masalah empiris,yakni atribut-atribut universal dari hukum dan adanya berbagai taraf-taraf hukum dalam suatu masyarakat. Dalam setiap masyarakat terdapat berbagai kerangka hukum, sesuai dengan taraf kemajemukan masyarakt tersebut. Kerangaka hukum tersebut mungkin mempunyai hubungan saling bergantung dengan unsur-unsur lain, atau mungkin berdiri sendiri, atau mungkin hukum mempengaruhi unsur-unsur lainnya dalam masyarakt yang bersangkutan. Semula ide tersebut di perkenalkan oleh Durkheim dalam bukunya yang berjudul “The Difision Of Labor” dan kemudian dikembangkan oleh beberapa Antropolog seperti misalnya, Sechneider, Pospisil, Guliver, Nader dan Metzger, Winans maupun Etgerthon. Para Antropolog sudah tidak berusaha apakah ada hukum atau tidak pada masyarakat-masyarakat bersahaja atas dasar suatu definisi hukum tunggal. Pertanyaan atau masalah yang kebih banyak dipergunakan sebagai patokan adalah bagaimanakah sebaiknya mengidentifikasikan hukum untuk kepentingan penelitian.
Bagi keperluan penelitian budaya silang, perlu ada kesepakatan terlebih dahulu terhadap suatu definisi hukum operasional, agar mungkin mengadakan perbandingan. Semua masyarakat mempunyai aturan aturan yang mengatur perilaku manusia, aturan-aturan tertentu bersifat hanya sebagai patokan perferensi, namun yang lain dianggap sebagai patokan perilaku yang pantas yang diharuskan. Pada berbagai masyarakt dan situasi, apabila suatu aturan dilanggar maka masyarakat lazaimnya telah sepakat untuk menerapkan upaya-upaya penghukuman tertentu. Hal itu manjadi pusat perhatian dari para Antropologi hukum. Akan tetapi seorang Antropoloh hukum dapat memulainya dengan salah satu perbuatan melanggar yang kemudian ditangani oleh lembaga-lembaga hukum misalnya pembunuhan atau pencurian. Bohanan misalnya mengajukan masalah apakah pembunuhan yang dilakukan oleh orang-orang afrika mempunyai dasar yang sama dengan pembunuhan yang dilakukan oleh orang-orang eropa atau Amerika.
Menurut Nader, maka tidaklah mudah untuk memisahkan pertanyaan mengenai definsi hukum dengan atribut-atribut hukum yang berlaku secara universal. Akan tetapi, beberapa penelitian telah dilakukan untuk mengidentifikasikan atribut-atribut hukum tersebut. Hal itu telah lama dibicarakan dengan berbagai sudut pandang dengan para filosof maupun ahli-ahli hukum. Blackstone misalnya pernah meneliti menganai aspek-aspek hukum umum dari sudut sejarah hukum dan filsafat (Commentaries On The Laws Of England) menurut Blackstone maka didalam beberapa hal terdapat persamaan-persamaan yang tidak dapat dihindari karena hakekat masyarakat itu sendiri.
Cara Blackstone meneliti persamaan-persamaan secara universal adalah berbeda dengan pendekatan yang diterapkan para Antropolog. Hal ini disebabkan oleh Karena Blackstone bertitik tolak dengan asumsi dasar, bahwa setiap lembaga hukum Inggris memounyai lembaga hukum analog pada masyarakat-masyarakt lainnya. Blackstone melakukan hal itu oleh karena dia lebih memusatkan perhatian pada persamaan dari pada perbedaan-perbedaan. Kecuali dari itu, maka dia juga lebih banyak memperhatikan penemuan terhadap lembaga hukum serta perkembangannya, dari pada difusi maupun bagaimana lembaga hukum mempengaruhi unsur-unsur lainnya dalam masyarakat namun perlu diakui bahwa hasil-hasilnya memang perlu diperhatikan, dalam mana Blackstone telah membahas beberapa aspek hukum yang penting seperti misalnya kewarisan yang mungkin bersifat universal.
Nader menyebut Balckstone sebagai suatu contoh, oleh karena dia berusaha untuk memoermaslaahkan dan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang dilontanrkan para Antropolog dalam usahanya untuk membuat generalisasi-generalisasi empiris. Akan tetapi, justru tak banyak penelitian Antropologi Empiris terhadap hukum yang mengarah pada hal-hal yang universal tersebut. Beberapa penganut aliran Evolusionisme abad ke 19 mengajukan teori-teori tahap-tahap pekembangan hukum, sebagaimana yang dilakukan oleh Maine pada tahun 1861. Akan tetapi semenjak Maine tersebut penelitian terhadap atribut-atribut hukum universal tidak begitu diperhatikan, sampai muncul hasil-hasil penelitian Malinowski (1926), Hoebel (1954), Gluckmen (1955 dan 1965) dan Pospisil (1958). Namun, pendekatan yang terapkan mereka tidak sama, dan juga berbeda dengan pola yang diterapkan oleh Maine. Malinowski menyatakan misalnya, bahwa hukum merupakan suatu kebutuhan instrumental yang harus dipenuhi, sebagaimana halnya dengan kebutuhan biologis, agar manusia mampu bertahan hidup.[4]
Studi-studi antropologis mengenai hukum diawali dengan munculnya pertanyaan-pertanyaan mendasar : apakah hukum itu ?; dan apakah hukum itu terdapat dalam setiap bentuk masyarakat ? (Nader, 1965:4; Bohannan, 1967:4; Hoebel, 1967:187; Roberts, 1979:17). Untuk menjawab pertanyaan di atas menjadi menarik untuk mengungkapkan diskusi dari dua ahli antropologi ternama, yaitu A.R. Radcliffe-Brown dan Bronislaw Malinowski, yang memberikan pandangannya masing-masing mengenai hukum, sebagaimana diuraikan dalam Nader (1965:4-5); Koentjaraningrat (1989:28-9); Moore (1978:218-223) seperti berikut :
1.      Di satu sisi, hukum dalam pandangan Radcliffe-Brown adalah suatu sistem pengendalian sosial yang hanya muncul dalam kehidupan masyarakat yang berada dalam suatu bangunan Negara, karena hanya dalam suatu organisasi sosial seperti Negara terdapat pranata-pranata hukum seperti polisi, pengadilan, penjara dll. sebagai alat-alat Negara yang mutlak harus ada untuk menjaga keteraturan sosial dalam masyarakat. Karena itu, dalam masyarakat-masyarakat bersahaja yang tidak terorganisasi secara politis sebagai suatu Negara tidak mempunyai hukum. Walaupun tidak mempunyai hukum, ketertiban sosial dalam masyarakat tersebut diatur dan dijaga oleh tradisi-tradisi yang ditaati oleh warga masyarakat secara otomatis-spontan (automatic-spontaneous submission to tradition).
2.      Di sisi lain, Malinowski berpendapat bahwa hukum tidak semata-mata terdapat dalam masyarakat yang terorganisasi suatu Negara, tetapi hukum sebagai sarana pengendalian sosial (legal order) terdapat dalam setiap bentuk masyarakat. Hukum dalam kehidupan masyarakat bukan ditaati karena adanya tradisi ketaatan yang bersifat otomatis-spontan, seperti dikatakan Radcliffe-Brown, tetapi karena adanya prinsip timbal-balik (principle of reciprocity) dan prinsip publisitas (principle of publicity). Sistem pertukaran sosial yang berkembang dalam masyarakat Trobriand menjadi pengikat sosial dan daya dinamis yang menggerakkan kehidupan ekonomi dan sosial masyarakat melalui prinsip resiprositas atau timbal-balik dalam bentuk pertukaran benda dan tenaga, menggerakkan hubungan-hubungan ekonomi, pertukaran jasa antar kerabat, menggerakkan kehidupan kekerabatan, sistem pertukaran mas kawin, dan juga menggerakkan hubungan antar kelompok dalam bentuk upacara-upacara yang berlangsung dalam kehidupan bersama.
Dari pandangan dua ahli antropologi di atas dapat dikatakan bahwa apabila hukum diberi pengertian yang sempit, hanya sebagai sistem pengendalian sosial yang diciptakan oleh lembaga legislatif dan diterapkan oleh aparat penegakan hukum seperti polisi, pengadilan, jaksa, atau penjara dalam kehidupan organisasi negara, maka hukum diartikan bahwa masyarakat-masyarakat sederhana yang tidak terorganisasi sebagai suatu Negara tidak memiliki hukum. Tetapi, kalau hukum diberi pengertian yang lebih luas, yaitu sebagai proses-proses pengendalian sosial yang didasarkan pada prinsip resiprositas dan publisitas yang secara empiris berlangsung dalam kehidupan masyarakat, maka semua bentuk masyarakat betapapun sederhananya memiliki hukum dalam bentuk mekanisme-mekanisme yang diciptakan untuk menjaga keteraturan sosial atau sebagai sarana pengendalian sosial (Nader, 1965:4; Radfield, 1967:3; Pospisil, 1967:26; Bohannan, 1967:48).[5]
Wacana antropologis mengenai hukum dalam perkembangan selanjutnya memperoleh elaborasi dari kalangan antropolog yang lain. Konsep hukum yang dikemukakan Malinowski memperoleh komentar dan kritik dari Bohannan (1967:45-9)[6], yang pada pokoknya menyatakan seperti berikut :
1.      Mekanisme resiprositas  (reciprocity) dan publisitas  (publicity) sebagai kriteria untuk mengatur hak dan kewajiban dalam kehidupan masyarakat pada dasarnya bukanlah merupakan hukum seperti dimaksudkan Malinowski, tetapi hanya merupakan suatu kebiasaan (custom) yang digunakan masyarakat untuk menjaga keteraturan sosial.
2.      Pengertian Hukum harus dibedakan dengan tradisi (tradition) atau kebiasaan (custom), atau lebih spesifik norma hukum mempunyai pengertian yang berbeda dengan kebiasaan. Norma hukum adalah peraturan hukum yang mencerminkan tingkah laku yang seharusnya (ought) dilakukan dalam hubungan antar individu. Sedangkan, kebiasaan merupakan seperangkat norma yang diwujudkan dalam tingkah laku dan berlangsung dalam kurun waktu yang lama. Kadangkala kebiasaan bisa sama dan sesuai dengan peraturan-peraturan hukum, tetapi kebiasaan bisa juga bertentangan dengan norma-norma hukum. Ini berarti, peraturan hukum dan kebiasaan adalah dua institusi yang sama-sama terwujud dalam bentuk norma-norma yang mengatur perilaku masyarakat dalam hubungan antar individu, dan juga sama-sama berfungsi sebagai sarana pengendalian sosial dalam kehidupan masyarakat.
3.      Kendatipun kebiasaan dan peraturan hukum saling berbeda satu sama lain, karena kebiasaan terwujud sebagai institusi non hukum dan peraturan merupakan institusi hukum, tetapi dalam masyarakat selalu ditemukan kedua bentuk institusi tersebut (institusi hukum dan institusi non hukum). Norma-norma hukum dalam masyarakat cenderung mengabaikan atau menggusur atau bahkan sebaliknya memfungsikan keberadaan kebiasaan-kebiasaan sebagai institusi non hukum dalam penyelesaian kasus-kasus sengketa yang terjadi dalam masyarakat.
4.      Peraturan-peraturan hukum juga mengembangkan kebiasaan-kebiasaan sebagai institusi hukum melalui proses pelembagaan ulang (reinstitutionalized) dan dinyatakan ulang (restated), sehingga peraturan hukum juga dikatakan sebagai suatu kebiasaan yang telah dilembagakan kembali untuk tujuan-tujuan yang ingin dicapai hukum tersebut.


BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Studi tentang hukum sebagai sistem pengendalian sosial (social control) dalam kehidupan masyarakat telah banyak dilakukan oleh para ahli antropologi Karena itu, dikatakan bahwa para antropolog memberi kontribusi yang sangat bermakna dalam pengembangan konsep hukum yang dioperasikan dalam masyarakat.
Dalam ilmu sosiologi hukum terdapat tiga fungsi hukum, yaitu hukum sebagai sosial control, rekayasa sosial dan penyelesaian sengketa. Timbulnya teori tersebut di latar belakangi oleh pendapat-pendapat para ahli antropologi tentang apa situ hukum. Seperti pendapat Radcliffe-Brown yang mengemukakan bahwa fungsi hukum adalah sebagai sistem pengendalian sosial, lalu dari sisi lain Malinowski berpendapat bahwa hukum tidak hanya ada di kalangan masyarakat yang terstrukur, namun hukum sudah pasti ada di kalangan masyarakat biasa, contohnya seperti hukum adat dsb.
Dari pandangan dua ahli antropologi di atas dapat dikatakan bahwa apabila hukum diberi pengertian yang sempit, hanya sebagai sistem pengendalian sosial yang diciptakan oleh lembaga legislatif dan diterapkan oleh aparat penegakan hukum seperti polisi, pengadilan, jaksa, atau penjara dalam kehidupan organisasi negara, maka hukum diartikan bahwa masyarakat-masyarakat sederhana yang tidak terorganisasi sebagai suatu Negara tidak memiliki hukum. Tetapi, kalau hukum diberi pengertian yang lebih luas, yaitu sebagai proses-proses pengendalian sosial yang didasarkan pada prinsip resiprositas dan publisitas yang secara empiris berlangsung dalam kehidupan masyarakat, maka semua bentuk masyarakat betapapun sederhananya memiliki hukum dalam bentuk mekanisme-mekanisme yang diciptakan untuk menjaga keteraturan sosial atau sebagai sarana pengendalian sosial.





DAFTAR PUSTAKA

Pospisil, Anthropology of Law, 1971.
K. N. Llewellyn, E. Adamson Hoebel, Cheyenne Way Conflict and Case Law in Primitive Jurisprudence. 1941.
Hilman Hadikusuma, Antropologi Hukum Indonesia,PT. Alumni, Bandung. 2010.
Bohannan, Justice and Judgment Among the of Nigeriai, London,  Oxford University Press.
Soerjono Soekanto, Antropologi Hukum, Jakarta: CV Rajawali, 1984.
Bohannan, Justice and Judgment Among the of Nigeriai, London,  Oxford University Press.
Paul Bohannan, Law and Welfare: Studies in the Antropology of Conflict, New York: The Natural History Press, 1967.


[1] Pospisil, Anthropology of Law, 1971.
[2] K. N. Llewellyn, E. Adamson Hoebel, Cheyenne Way Conflict and Case Law in Primitive Jurisprudence. 1941.
[3] Hilman Hadikusuma, Antropologi Hukum Indonesia,PT. Alumni, Bandung. 2010. Hlm. 11.



[4] Soerjono Soekanto, Antropologi Hukum, Jakarta: CV Rajawali, 1984, hlm 6.
[5] Bohannan, Justice and Judgment Among the of Nigeriai, London,  Oxford University Press.
[6] Paul Bohannan, Law and Welfare: Studies in the Antropology of Conflict, New York: The Natural History Press, 1967.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resume Buku Prof. Peter Mahmud Marzuki "PENELITIAN HUKUM"

ALIRAN SEJARAH HUKUM (Legal Historism)

Pinjam Pakai dan Pinjam Meminjam