RESUME HUKUM INTERNASIONAL BUKU KARYA MOCHTAR KUSUMAATMADJA
BAB I Pengertian, Batasan dan Istilah Hukum Internasional 1.
Hukum Internasional (pengertian dan batasan) Yang dimaksudkan dengan istilah
hukum internasional dalam pembahasan ini ialah hukum internasional publik, yang
harus kita bedakan dari hukum perdata internasional. Hukum perdata
internasional adalah keseluruhan kaidah dan asas hukum yang mengatur hubungan
perdata yang melintasi negara. Hukum internasional publik adalah keseluruhan
kaidah dan asas hukum yang mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas
negara (hubungan internasional) yang bukan bersifat perdata. Dari uraian diatas
tampak persamaan dan perbedaan antara hukum internasional publik dan hukum
perdata internasional. Persamaannya ialah bahwa keduanya mengatur hubungan atau
persoalan yang melintasi batas negara (internasional). Perbedaannya terletak
dalam sifat hukum hubungan atau persoalan diaturnya (objeknya). Yang jelas
ialah bahwa hubungan atau persoalan internasional demikian bukan merupakan
persoalan perdata, sehingga bukan pula merupakan hubungan atau persoalan yang
diatur hukum perdata internasional. Inilah sebabnya mengapa batasan kita yang
negative lebih tepat menggambarkan kenyataan hubungan internasional pada dewasa
ini. Memang, ada kalanya batas antara hubungan atau persoalan hukum perdata
internasional pub suklar ditarik dengan tegas, sehingga ada sarjana yang
mengusulkan agar perbedaan itu dihapuskan dan digunakan saja istilah lain. 2.
Istilah Hukum Internasional Selain istilah hukum internasional, orang juga
mempergunakan istilah hukum bangsa-bangsa, hukum antarbangsa atau hukum
antarnegara untuk lapangan hukum yang sedang dibicarakan. Istilah hukum
internasional ini tidak mengandung keberatan, karena perkataan internasional
walaupun menurut asal katanya searti dengan antarbangsa sudah lazim dipakai
orang untuk segala hal atau peristiwa yang melintasi batas wilayah suatu
Negara. Hukum bangsa-bangsa akan dipergunakan untuk menunjukan pada kebiasaan
atau aturan (hukum) yang berlaku dalam hubungan antara raja-raja zaman dahulu,
ketika hubungan demikian baik karena jarangnya maupun karena sifat hubungannya,
belum dapat dikatakan merupakan hubungan antara anggota suatu masyarakat
bangsa-bangsa. Hukum antarbangsa atau hukum antarnegara akan digunakan untuk
menunjuk pada kompleks kaidah dan asas yang mengatur hubungan antara anggota
masyarakat bangsa-bangsa atau negara-negara yang kita kenal sejak munculnya
negara dalam bentuknya yang modern sebagai negara nasional. 3. Bentuk
perwujudan khusus Hukum Internasional (Hukum Internasional Regional dan hukum
Internasional khusus (special)). Dalam mempelajari hukum internasional, kita
akan jumpai beberapa bentuk perwujudan atau pola perkembangan yang khusus
berlaku disuatu bagian dunia (region) tertentu. Dengan demikian, dapat
dikatakan bahwa disamping hukum internasional yang berlaku umum (general)
terdapat pula hukum internasional regional, yang terbatas daerah lingkungan
berlakunya, seperti apa yang lazim dinamakan hukum internasional amerika atau
hukum internasional amerika latin. Adanya berbagai lembaga hukum internasional
regional demikian disebabkan oleh keadaan yang khusus terdapat dibagian dunia
itu. Walaupun menyimpang, hukum internasional regional itu tidak usah
bertentangan dengan hukum internasional yang berlaku umum. bahkan ada kalanya suatu
lembaga atau konsep hukum yang mula-mula timbul dan tumbuh sebagai suatu konsep
atau lembaga hukum internasional regional, kemudian diterima sebagai bagian
dari hukum internasional umum. Dengan demikian hukum internasional regional
dapat memberikan sumbangan berharga kepada hukum internasional yang benar-benar
universal. Bentuk perwujudan lain dari hukum internasional khusus, selain hukum
internasional regional, kita jumpai dalam bentuk kompleks kaidah yang khusus
berlaku bagi negara-negara tertentu saja, seperti konvensi eropa mengenai
hak-hak asasi manusia. Beberapa bentuk hukum internasional khusus yang telah
diterangkan diatas merupakan pencerminan keadaan, kebutuhan, taraf perkembangan
dan tingkat integrasi yang berbeda-beda dari bagian masyarakat internasional
yang berlainan. Karena itu, ketentuan hukum internasional regional dan hukum
internasional khusus ini, walaupun dapat dibedakan dari hukum internasional
umum karena memiliki cirri-ciri yang khas, merupakan begian yang tak dapat
dipisahkan dari hukum internasional umum. 4. Hukum internasional dan hukum
dunia Dalam usaha menjelaskan pengertian hukum internasional, perlu juga
kiranya dikemukakan perbedaannya dengan pengertian hukum dunia yang akhir-akhir
ini mulai dipergunakan orang. Kedua pengertian ini menunjukan pada konsep
mengenai tertib hukum masyarakat dunia yang berlainan pangkal tolaknya.
Pengertian hukum internasional didasarkan atas pikiran adanya suatu masyarakat
internasional yang terdiri atas sejumlah Negara yang berdaulat dan mereka
(independent) dalam arti masing-masing berdiri sendiri yang satu tidak dibawah
kekuasaan yang lain. Dengan perkataan lain, hukum internasional merupakan suatu
tertib hukum koordinasi antara anggota masyarakat internasional yang sederajat.
Anggota masyarakat hukum internasional tunduk pada hukum internasional sebagai
suatu tertib hukum yang mereka terima sebagai perangkat kaidah dana asas yang
mengikat dalam hubungan antarmereka. Pengertian hukum dunia berpangkal pada
dasar pikiran yang lain. Menurut konsep ini yang rupanya banyak dipengaruhi
analogi dengan hukum tata negara , hukum dunia merupakan semacam negara dunia
yang meliputi semua negara didunia ini. Negara dunia secara hirarki berdiri
diatas Negara-negara nasional. Tertib hukum dunia menurut konsep ini merupakan
suatu tertib hukum subordinasi. BAB II Masyarakat dan Hukum Internasional 1.
Adanya masyarakat internasional sebagai landasan sosiologis hukum internasional
a. Adanya suatu masyarakat internasional Karena masyarakat internasional
berlainan dari suatu negara dunia merupakan kehidupan bersama dari
negara-negara yang merdeka dan sederajat, unsur pertama yang harus dibuktikan
ialah adanya sejumlah negara didunia ini. Adanya sejumlah besar negara didunia
ini merupakan suatu kenyataan yang tidak dapat dibantah lagi dan jelas bagi
setiap orang yang memperhatikan kehidupan sehari-hari. Jumlah negara didunia
pada dewasa ini melebihi seratus negara. Akan tetapi, adanya sejumlah besar
negara belum berarti adanya suatu masyarakat internasional. Pertama-tama harus
dapat pula ditunjukan adanya hubungan yang tetap antara anggota masyarakat
internasional, apabila Negara itu masing-masing hidup terpencil satu dari yang
lainnya. Adanya hubungan yang tetap dan terus-menerus demikian, juga merupakan
kenyataan yang tidak dapat dibantah lagi. Saling membutuhkan antar
bangsa-bangsa diberbagai lapangan kehidupan yang mengakibatkan timbulnya
hubungan yang tetap dan terus-menerus ab=ntara bangsa-bangsa, mengakibatkan
pula timbulnya kepentingan untuk memelihara dan mengatur hubungan demikian.
Untuk menertibkan, mengatur dan memelihara hubungan internasional ini
dibutuhkan hukum guna menjamin unsur kepastian yang diperlukan dalam setiap
hubungan yang teratur. Hubungan antara orang atau kelompok orang yang tergabung
dalam ikatan kebangsaan atau kenegaraan yang berlainan itu dapat merupakan
hubungan taklangsung atau resmi yang dilakukan oleh para pejabat Negara yang
mengadakan berbagai perundingan atas nama Negara dan meresmikan persetujuan
yang dicapai dalam perjanjian antarnegara. Disamping hubungan antarnegara yang
resmi demikian, orang dapat juga mengadakan hubungan langsung secara
perseorangan atau gabungan dilapangan perniagaan, keagamaan, ilmu penegetahuan,
olahraga atau perburuhan yang melintasi batas negara. Jadi, yang dinamakan
masyarakat internasional itu pada hakikatnya ialah hubungan kehidupan antar
manusia. Masyarakat internasional sebenarnya merupakan suatu kompleks kehidupan
bersama yang terdiri dari aneka ragam masyarakat yang jalin menjalin dengan
erat. b. Asas hukum bersamaan sebagai unsur masyarakat hukum internasional
Faktor pengikat yang nonmaterial ialah adanya asas kesamaan hukum antara
bangsa-bangsa didunia ini, betapapun berlainan wujudnya hukum positif yang
berlaku dimasing-masing negara tanpa adanya suatu masyarakat hukum
bangsa-bangsa. Asas pokok hukum yang bersamaan inilah yang dalam ajaran
mengenai sumber hukum formal dikenal dengan asas hukum umum yang diakui oleh
bangsa-bangsa yang beradab merupakan penjelmaan hukum alami. Adanya hukum alami
yang mengharuskan bangsa-bangsa didunia ini hidup berdampingan secara damai
dapat dikembalikan pada akal manusia dan naluri untuk mempertahakan jenisnya.
2. Kedaulatan Negara (hakikat dan fungsinya dalam masyarakat internasional )
Hakikat dan fungsi kedaulatan dalam masyarakat internasional perlu dijelaskan
mengingat pentingnya peran negara dalam masyarakat dan hukum internasional
dewasa ini. Kedaulatan merupakan kata yang sulit karena oaring memberikan arti
yang berlainan padanya. Menuru sejarah, asal kata kedaulatan yang dalam bahasa
inggris dikenal dengan istilah souvereignity berasla dari bahasa latin
superanus berarti teratas. Negara dikatakan berdaulat karena kedaulatan
merupakan suatu sifat hakiki negara. Bila dikatakan negara itu berdaulat,
dimaksudkan bahwa negara itu mempunyai kekuasaan tertinggi. Pengertian
kedaulatan negara sebagai kekuasaan tertinggi inilah yang banyak menimbulkan
salah paham. Menurut asal katanya, kedaulatan memang berarti kekuasaan
tertinggi. Negara berdaulat memang berarti bahwa negara itu tidak mengakui
kekuasaan yang lebih tinggi daripada kekuasaannya sendiri. Dengan perkataan
lain, Negara memiliki monopoli kekuasaan, suatu sifat khas organisasi
masyarakat dan kenegaraan dewasa ini yang tidak lagi membenarkan orang
perseorangan mengambil tindakan sendiri apabila ia dirugikan. Walaupun
demikian, kekuasaan tertinggi ini mempunyai batas-batasnya. Ruang berlaku
kekuasaan tertinggi ini dibatasi oleh batas wilayah negara itu, artinya suatu
negara hanya memiliki kekuasaan tertinggi didalam batas wilayahnya. Bahwa
kekuasaan suatu negara terbatas dan bahwa batas itu terdapat dalam kedaulatan
negara lain merupakan konsekuensi yang logis dari paham kedaulatan sendiri dan
mudah sekali dipahami apabila kita mau memikirkan persoalan ini secara konsekuen.
Dilihat secara demikian, paham kedaulatan tidak usah bertentangan dengan adanya
suatu masyarakat internasional yang terdiri dari negara-negara yang
masing-masing berdiri sendiri. Paham demikian juga tidak akan bertentangan
dengan hukum internasional yang mengatur masyarakat itu. 3. Masyarakat
internasional dalam peralihan (transition) (perubahan-perubahan dalam peta bumi
politik, kemajuan teknologi dan struktur masyarakat internasional). Masyarakat
internasional kini sedang mengalami berbagai perubahan yang besar dan pokok,
yang perlu kita perhatikan untuk dapat benar-benar memahami hakikat masyarakat
internasional. Kita yang melihatnya sebgai proses pertumbuhan susunan
masyarakat yang tidak wajar, yaitu suatu masyarakat internasional dimana asas pokok
pergaulan internasional belum terwujud kearah suatu masyarakat dimana asas
pokok masyarakat dan hukum internasional ini mendapat perwujudannya dalam
kenyataan, harus menyambut proses ini sebagai suatu proses yang tak dapat
dielakkan. Perubahan terhadap konsep lama bukan sesuatu yang mengkhawatirkan
melainkan harus kita lihat sebagai kejadian yang tak dapat dielakkan. Dilihat
secara demikian, perubahan penting yang terjadi dalam konsep ilmi hukum yang
berkenaan dengan perjanjian, kewajiban negara, nasionalisasi, hukum laut
publik, tidak perlu dikhawatirkan. Bahkan, harus dilihat sebagai proses
pertumbuhan kearah hukum internasional yang wajar, bebas dari berbagai konsep
dan lembaga yang menggambarkan atau merupakan akibat dominasi bangsa-bangsa
oleh beberapa bangsa didunia ini. Perkembangan kedua yang mempunyai akibat yang
besar sekali terhadap perkembangan masyarakat internasional dan hukum
internasional yang mengaturnya ialah kemajuan teknologi. Kemajuan teknik dalam
berbagai alat perhubungan menambah mudahnya perhubungan yang melintasi batas
negara. Kenajuan teknologi persenjataan menimbulkan berbagai masalah baru dan
keharusan meninjau kembali ketentuan mengenai hukum perang. Kemajuan dalam
teknologi telah dan sedang mengakibatkan berbagai perubahan besar dalam konsep
hukum laut dan timbulnya konsep baru untuk mengikuti perkembangan yang pesat
ini. Perkembangan teknologi dan akibatnya mau tidak mau harus diikuti dan
dilayani oleh para sarjana ilmu hukum internasional apabila cabang ilmi hukum
tidak mau ketinggalan. Berbagai perubahan yang terjadi dalam struktur
organisasi masyarakat internasional merupakan golongan ketiga yang tidak kurang
pentingnya dari kedua golongan yang telah diuraikan diatas. Perubahan dalam
struktur organisasi masyarakat internasional ini sangat penting karena
berlainan dengan kedua golongan perubahan yang terlebih dahulu, mempunyai
akibat langsung terhadap struktur masyarakat internasional yang didasarkan atas
negara yang berdaulat. Perkembangan yang penting dalam golongan ini ialah
timbulnya berbagai organisasi atau lembaga internasional yang mempunyai
eksistensi terlepas dari negara-negara. Dipihak lain, ada perkembangan yang
memberikan kompetensi hukum kepada para individu dalam beberapa hal tertentu.
Kedua gejala ini menunjukan bahwa disamping mulai terlaksananya suatu
masyarakat internasional dalam arti yang benar dan efektif berdasarkan asas
kedaulatan, kemerdekaan dan persamaan derajat antarnegara-negara sehingga
dengan demikian terjelma hukum internasional sebagai hukum koordinasi, timbul
suatu kompleks kaidah yang lebih memperlihatkan cirri-ciri hukum subordinasi.
BAB III Sejarah Hukum Internasional dan Perkembangannya Perdamaian Westphalia
dianggap sebagai peristiwa penting dalam sejarah hukum internasional modern.
Bahkan, dianggap sebagai suatu peristiwa yang meletakkan dasar masyarakat
internasional modern yang didasarkan atas negara-negara nasional. Sebabnya
ialah karena dengan Perdamaian Westphalia ini telah tercapai hal sebagai
berikut : 1. Selain mengakhiri perang 30 tahun, Perjanjian Westphalia telah
meneguhkan perubahan dalam peta bumi politik yang telah terjadi karena perang
itu di Eropa; 2. Perjanjian perdamaian itu mengakhiri untuk selama-lamanya
usaha Kaisar Romawi yang suci untuk menegakkan kembali Imperium Roma yang suci;
3. Hubungan antar negara-negara dilepaskan dari persoalan hubungan kegerejaan
dan didasarkan atas kepentingan nasional negara itu masing-masing dan 4.
Kemerdekaan negara Nederland, Swiss dan negara-negara kecil di jerman diakui
dalam perjanjian Westphalia itu. Dengan demikian, Perjanjian Westphalia telah
meletakkan dasar bagi suatu susunan masyarakat internasional yang baru, baik
mengenai bentuknya yaitu didasarkan atas negara-negara nasional maupun mengenai
hakikat negara-negara itu dan pemerintahan dan pengaruh gereja. Akan tetapi,
keliru sekali kalau kita menganggap Perjanjian Westphalia ini sebagai suatu
peristiwa yang mencanangkan suatu zaman baru dalam sejarah masyarakat
internasional yang tidak ada hubungannya dengan masa lampau. Apakah ciri madyarakat
internasional yang terdapat di Eropa Barat yang dasarnya diletakkan oleh
Perjanjian Westphalia itu ? Ciri-ciri pokok yang membedakan organisasi atau
susunan masyarakat internasional yang baru ini dari susunan masyarakat Kristen
eropa pada zaman abad pertengahan yang didasarkan atas sistem feodalisme adalah
sebagai berikut : 1. Negara merupakan satuan territorial yang berdaulat, setiap
negara dalam bataswilayahnya mempunyai kekuasaan tertinggi yang eksklusif; 2.
Hubungan nasional satu dengan yang lainnya didasarkan atas kemerdekaan dan
persamaan; 3. Masyarakat negara-negara tidak mengakui kekuasaan diatas mereka
seperti seorang kaisar pada zaman abad pertengahan dan Paus sebagai kepala
gereja; 4. Hubungan antara negara-negara berdasarkan atas hukum yang banyak
mengambil oper pengertian lembaga hukum perdata hukum Romawi; 5. Negara
mengakui adanya hukum internasional sebagai hukum yang mengatur hubungan antara
negara-negara, tetapi menekankan peranan yang besar yang dimainkan negara dalam
kepatuhan terhadap hukum ini; 6. Tidak adanya mahkamah (internasional) dan
kekuatan polisi internasional untuk memaksakan ditaatinya ketentuan hukum
internasional; 7. Anggapan terhadap perang yang dengan lunturnya segi-segi
keagamaan beralih dari anggapan mengenai doktrin belum justum sebagai ajaran
perang suci kearah ajaran yang menganggap perang sebagai salah satu cara
penggunaan kekerasan dalam penyelesaian sengketa untuk mencapai tujuan
kepentingan nasional. Dasar-dasar yang diletakkan dalam Perjanjian Westphalia diatas
diperteguh lagi dalam Perjanjian Utreht, yang penting artinya dilihat dari
sudut politik internasional pada waktu itu karena menerima asas keseimbangan
kekuatan sebagai asas politik internasional. Kejadian yang penting dilihat dari
sudut perkembangan hukum internasional ialah konferensi perdamaian tahun 1856
dan konferensi jenewa tahun 1864, yang memelopori konferensi perdamaian Den
Haag tahun 1899 yang sangat penting artinya dalam hukum internasional. Dalam
masa yang berakhir dengan diadakannya Konferensi Perdamaian Den Haag tahun 1907
diatas tadi, telah terjadi tiga hal yang penting yang dapat kita anggap sebagai
cirri konsolidasi masyarakat internasional yang didasarkan atas negara-negara
kebangsaan. Pertama, negara sebagai kesatuan politik territorial yang terutama
didasarkan atas kebangsaan telah menjadi kenyataan. Dalam tahap pertama
pertumbuhan masyarakat internasional, yaitu sesudah terjadinya perjanjian
Westphalia, kekuasaan riil dalam negara masih berada dalam tangan raja. Setelah
terjadinya Revolusi Perancis dan berbagai pergolakan yang terjado di Eropa yang
mengakibatkan berpindahnya kekuasaan dari tangan raja ketangan rakyat dibanyak
negara, negara kebangsaan telah benar-benar jadi negara nasional dalam arti
yang sebenar-benarnya dan bukan lagi kerajaan dengan wajah baru. Kedua, ialah
diadakannya berbagai konferensi internasional yang dimaksudkan sebagai sebagai
konferensi untuk mengadakan perjanjian internasional yang bersifat umum dan
meletakkan kaidah hukum yang berlaku secara universal. Ketiga, dibentuknya
Mahkamah Internasional Arbitrase Permanen yang merupakan suatu kejadian penting
dalam mewujudkan suatu masyarakat internasional. Dengan dibentuknya Mahkamah
Arbitrase Permanen ini dihidupkan kembali suatu lembaga penyelesaian pertikaian
antara bangsa-bangsa yang telah merupakan suatu lembaga yang ampuh dalam
masyarakat bangsa-bangsa pada abad pertengahan. BAB IV Hakikat dan Dasar
Berlakunya Hukum Internasional Apabila hakikat hukum internasional tidakperlu
diragukan lagi, kembali kita menghadapi pertanyaan : apakah yang menjadi dasar
kekuatan mengikat hukum internasional itu ? Mengenai hal ini telah banyak
dikemukakan banyak teori, teori yang tertua ialah teori hukum alam. Ajaran
hukum alam mempunyai pengaruh yang besar atas hukum internasional sejak
permulaan pertumbuhannya. Ajaran ini yang mula-mula mempunyai ciri keagamaan
yang kuat, untuk pertama kalinya dilepaskan sari hubungannya dengan keagamaan
itu oleh Hugo Grotius. Dalam bentuknya yang telah disekularisir, hukum alam
diartikan sebagai hukum ideal yang didasarkan atas hakikat manusia sebagai
makhluk yang berakal atau kesatuan kaidah yang diilhamkan alam pada akal
manusia. Menurut penganut ajaran hukum alam ini, hukum internasional itu
mengikat karena hukum internasional itu tidak lain daripada hukum alam yang
diterapkan pada kehidupan masyarakat bangsa-bangsa. Dengan lain perkataan
negara itu terikat atau tunduk pada hukum internasional dalam hubungan antara
mereka satu sama lain karena hukum internasional itu merupakan bagian dari hukum
yang lebih tinggi yaitu hukum alam. Khusus dalam hubungannya dengan hukum
internasional, keberatan terhadap kesamaran hukum alam bertambah. Perbedaan
subjektif antara isi pengertian hukum alam yang digunakan bertalian dengan
kaidah moral dan keadilan tidak seberapa besar apabila ada keseragaman
pandangan hidup atau filsafat dari orang-orang yang mengemukakannya. Aliran
lain mendasarkan kekuatan mengikat hukum internasional itu atas kehendak negara
itu sendiri untuk tunduk pada hukum internasional. Menurut mereka, pada
dasarnya negara yang merupakan sumber segala hukum dan hukum internasional itu
mengikat karena negara itu atas kemauan sendiri mau tunduk pada hukum
internasional.aliran ini yang menyandarkan teori mereka pada falsafah Hegel
yang dahulu mempunyai pengaruh yang luas di Jerman. Seorang pengemuka lain dari
aliran ini ialah Zorn yang berpendapat bahwa hukum internasional itu tidak lain
daripada hukum tata negara yang mengatur hubungan luar suatu negara. Kelemahan
teori ini ialah bahwa mereka tidak dapat menerangkan dengan memuaskan bagaimana
caranya hukum internasional yang bergantung kepada kehendak negara dapat
mengikat negara itu. Bagaimana kalau suatu negara secara sepihak membatalkan
niatnya unutk mau terikat oleh hukum itu ? hukum internasional lalu tidak lagi
mengikat. Masih patutkah ia dinamakan hukum. Berbagai keberatan tersebut coba
diatasi oleh aliran alin dari teori kehendak negara yang hendak menyadarkan
kekuatan mengikat hukum internasional pada kemauan bersama. Triepel berusaha membuktikan
bahwa hukum internasional itu mengikat bagi negara, bukan karena kehendak
mereka satu persatu untuk terikat, melainkan karena adanya suatu kehendak
bersama yang lebih tinggi dari kehendak masing-masing negara untuk tunduk pada
hukum internasional. Triepel mendasarkan kekuatan mengikat hukum internasional
pada kehendak negara, tetapi membantah kemungkinan suatu negara melepaskan
dirinya dari ikatan itu dengan suatu tindakan sepihak. Teori-teori yang
mendasarkan berlakunya hukum internasional itu pada kehendak negara ini
merupakan pencerminan dari teori kedaulatan dan aliran positivism yang
menguasai alam pikiran dunia ilmu hukum di benua eropa. Kesukaran teori-teori
yang hendak menerangkan hakikat hukum berdasarkan kehendak subjek hukum ialah
bahwa dasar pikiran ini tidak bisa diterima. Kehendak manusia saja tidak
mungkin merupakan dasar kekuatan hukum yang mengatur kehidupan. Sebab kalau
demikian ia bisa melepaskan diri dari kekuatan mengikat hukum dengan menarik
kembali persetujuannya untuk tunduk pada hukum itu. Dengan perkataan lain,
persetujuan negara untuk tunduk pada hukum internasional menghendaki adanya
suatu hukum atau norma sebagai sesuatu yang telah ada terlebih dahulu dan
berlaku lepas dari kehendak negara. Bukan kehendak negara melainkan suatu norma
hukumlah yang merupakan dasar terakhir kekuatan mengikat hukum internasional.
Demikianlah pendirian suatu aliran yang terkenal dengan nama Mazhab Wiena.
Menurut mazhab ini kekuatan mengikat suatu kaidah hukum internasional
didasarkan suatu kaidah yang lebih tinggi yang pada gilirannya didasarkan pula
pada suatu kaidah yang lebih tinggi lagi dan demikian seterusnya. Berlainan
dengan teori objektivis yang logis tetapi steril seperti ajaran mazhan=b wiena
atau idealistis tetapi serba samar dari golongan hukum alam, ada lagi suatu
aliran yang berusaha menerangkan kekuatan mengikat hukum internasional itu
tidak dengan teori yang spekulatif dan abstrak melainkan menghubungkannya
dengan kenyataan hidup manusia. Mazhab Perancis dengan para pengemukakanya
mendasarkan kekuatan mengikat hukum internasional seperti juga segala hukum.
Menurut mereka persoalannya dapat dikembalikan pada sifat alami manusia sebagai
makhluk sosial, hasratnya untuk bergabung dengan manusia lainnya dan
kebutuhannya akan solidaritas. Kebutuhan dan naluri sosial manusia sebagai
orang-perseorangan menurut mereka juga dimiliki oleh bangsa-bangsa. Jadi, dasar
kekuatan mengikat hukum terdapat dalam kenyataan sosial bahwa mengikatnya hukum
itu mutlak perlu untuk dapat terpenuhinya kebutuhan manusia (bangsa) untuk
hidup bermasyarakat. BAB V Hubungan Antara Hukum Internasional dan Hukum
Nasional 1. Tempat hukum internasional dalam tata hukum secara keseluruhan
Seperti juga banyak persoalan lain, jawaban yang dapat diberikan terhadap
persoalan hubungan antara hukum internasional dan hukum nasional banyak
bergantung darimana kita memandang persoalan itu atau dengan perkataan lain
bergantung dari sudut pandang si pembahas. Kita mengetahui bahwa dalam teori
ada dua pandangan tentang hukum internasional yang pandangan yang dinamakan
voluntarisme, yang mendasarkan berlakunya hukum internasional ini pada kemauan
negara dan pandangan objektivis yang menganggap ada dan berlakunya hukum
internasional ini lepas dari kemauan negara. Pandangan yang berbeda ini membawa
akibat yang berbeda pula karena sudut pandangan yang pertama akan mengakibatkan
adanya hukum internasional dan hukum nasional sebagai dua satuan seperangkat
hukum yang hidup berdampingan dan terpisah, sedangkan pandangan objektivis
menganggapnya sebagai dua bagian dari satu kesatuan perangkat hukum. Erat
hubungannya dengan apa yang diterangkan tadi ialah persoalan hubungan hirarki
antara kedua perangkat hukum itu, baik merupakan dua perangkat hukum yang pada
hakikatnya merupakan bagian dari satu keseluruhan hukum yang sama. Menurut
paham dualism ini yang bersumber pada teori bahwa daya ikat hukum internasional
bersumber pada kemauan negara, hukum internasional dan hukum nasional merupakan
dua sistem atau perangkat hukum yang terpisah satu dari yang lainnya. Alasan
yang diajukan oleh penganut aliran dualisme bagi pandangan tersebut diatas
didasarkan pada alasan formal maupun alasan yang berdasarkan kenyataan.
Diantara alasan-alasan yang terpenting dikemukakan hal sebgai berikut : 1.
Kedua perangkat hukum tersebut yakni hukum nasional dan hukum internasional
mempunyai sumber yang berlainan, hukum nasional bersumber pada kemauan negara
dan hukum internasional bersumber pada kemauan bersama masyarakat negara. 2.
Kedua perangkathukum itu berlainan subjek hukumnya, subjek hukum dari hukum
nasional ialah orang perorangan sedangkan subjek hukum dari hukum internasional
ialah negara. 3. Sebagai tata hukum, hukum nasional dan hukum internasional
menampakkan pula perbedaan dalm strukturnya. 4. Perbedaan daya laku hukumnya.
Paham monisme didasarkan atas pemikiran kesatuan dari seluruh hukum yang
mengatur hidup manusia. Akibat pandangan monism ini ialah bahwa antara dua
perangkat ketententuan hukum ini mungkin ada hubungan hirarki. Ada pihak yang
menganggap bahwa dalam hubungan antara hukum nasional dan hukum internasional
yang utama adalah hukum nasional. Paham ini adalah paham monism dengan primat
hukum nasional. Paham yang lain berpendapat bahwa dalam hubungan antara hukum
nasional dan hukum internasional yang utama ialah hukum internasional.
Pandangan ini disebut dengan paham monsme dengan primat internasional. Menurut
teori monism kedua-duanya mungkin. Pandangan yang melihat kesatuan antara hukum
nasional dan hukum internasional dengan primat nasional ini pada hakikatnya
menganggap bahwa hukum internasional itu bersumber pada hukum nasional. Alasan
utama anggapan ini ialah : a. Bahwa tidak ada satu organisasi diatas
negara-negara yang mengatur kehidupan negara-negara didunia ini. b. Dasar hukum
internasional yang mengatur hubungan internasional terletak dalam wewenang
negara untuk mengadakan perjanjian internasional, jadi wewenang konstitusional.
Kelemahan dasar ialah bahwa paham ini terlalu memandang hukum itu sebagai hukum
yang tertulis semata-mata sehingga sebagai hukum internasional dianggap hanya
hukum yang bersumberkan perjanjian internasional, suatu hal sebagaimana
diketahui tidak benar. Kelemahan kedua ialah bahwa pada hakikatnya pendirian
paham monisme dengan primat hukum nasional ini merupakan penyangkalan terhadap
adanya hukum internasional yang mengikat negara. 2. Primat hukum internasional
menurut praktik internasional Praktik hukum internasional memberikan cukup
bahan atau contoh bagi kesimpulan bahwa pada masa dan tingkat perkembangan
masyarakat internasional dewasa ini hukum internasional memiliki wibawa
terhadap hukum nasional untuk mengatakan bahwa pada umumnya hukum internasional
itu ditaati dan hukum nasional itu pada hakikatnya tunduk pada hukum
internasional. Sebagai contoh dapat dikemukakan bahwa pada umumnya
negara-negara didunia ini saling menghormati tanpa batas atau garis batas
lainnya yang memisahkan wilayah negara yang satu dari yang lainnya. Dengan lain
perkataan, negara-negara menaati hukum internasional mengenai batas wilayah
negara sebagai suatu hukum yang mengikat dirinya dalam pergaulan dengan negara
lain, khususnya dengan negara-negara tetangganya. Usaha mengubah perbatasan
negara dengan jalan kekerasan merupakan suatu hal yang dewasa ini hamper tidak
lagi dilakukan. Contoh lain kaidah hukum internasional yang umumnya ditaati
ialah hukum yang mengatur perjanjian internasional antarnegara. Pada umumnya,
negara-negara menaati kewajiban yang bersumber pada perjanjian internasional
dengan negara lain. Disini pun sekali-kali hal terjadi penyimpangan dari
keadaan umum ini dan seperti juga dalam hal hukum internasional mengenai
perbatasan wilayah, pelanggaran demikian sering menarik banyak perhatian
sehingga terlupakan kenyataan praktik hukum internasional dibidang ini yang
sebenarnya, yaitu bahwa pada umumnya negara-negara didunia menaati perjanjian
internasional yang telah diadakannya dengan negara lain. 3. Hubungan antara
hukum internasional dan hukum nasional menurut hukum positif negara Masalah
hubungan antara hukum internasional dan hukum nasional secara umum dan praktik
beberapa negara termaksud Indonesia, bagaimanakah kira duduk persoalan hubungan
antara hukum internasional dan hukum nasional itu menurut hukum positif negara.
Dalam beberapa hal tertentu terutama dalam keadaan kita turut serta dalam suatu
konvensi yang mengandung berbagai perubahan dan pembaharuan, kelalaian demikian
memang bisa menimbulkan keadaan yang kurang diinginkan orang, terutama para
petugas dilapangan tentu berpegang pada ketentuan perundang-undangan yang ada (dan
belum) diubah yang didasarkan atas konvensi yang lama, sedangkan sebagai negara
kita sudah resmi terikat pada konvensi yang baru. BAB VI Subjek Hukum
Internasional 1. Negara Negara adalah subjek hukum internasional dalam arti
klasik dan telah demikian halnya sejak lahirnya hukum internasional. Bahkan,
hingga sekarangpun masih ada anggapan bahwa hukum internasional itu pada
hakikatnya adalah hukum antarnegara. 2. Takhta suci Takhta suci (vatikan)
merupakan suatu contoh dari suatu subjek hukum internasional yang telah ada
sejak dahulu disamping negara. Hal ini merupakan peninggalan-peninggalan
sejarah sejak zaman dahulu ketika paus bukan hanya merupakan kepala gereja
roma, tetapi memiliki pula kekuasaan duniawi.takhta suci merupakan suatu hukum
dalam arti yang penuh dan sejajar kedudukannya dengan negara. Hal ini terjadi
terutama setelah diadakannya perjanjian antara italia dan takhta suci pada
tanggal 11 februari 1929 yang mengembalikan sebidang tanah di roma kepada
takhta suci dan memungkinkan didirikannya negara vatikan, yang dengan
perjanjian itu sekaligus dibentuk dan diakui. 3. Palang Merah Internasional
Palang Merah Internasional yang berkedudukan di Jenewa mempunyai tempat
tersendiri dalam sejarah hukum internasional. Boleh dikatakan bahwa organisasi
ini sebagai suatu subjek hukum. Lahir karena sejarah walaupun kemudian
kedudukannya diperkuat dalam perjanjian dan kemudian konvensi-konvensi Palang
Merah. Sekarang Palang Merah Internasional secara umum diakui sebagai
organisasi internasional yang memiliki kedudukan sebagai subjek hukum
internasional walauoun dengan ruang lingkup yang sangta terbatas. 4. Organisasi
Internasional Kedudukan Oragnisasi Internasional sebagai subjek hukum
internasional sekarang tidak diragukan lagi, walaupun pada mulanya belum adad
kepastian mengenai hal ini. Organisasi internasional seperti Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB) dan Organisasi Buruh Dunia (ILO) mempunyai hak dan
kewajiban yang ditetapkan dalam konvensi-konvensi internasional yang merupakan
semacam anggaran dasarnya. Berdasarkan kenyataan ini sebenarnya sudah dapat
dikatakan bahwa PBB dan Organisasi Internasional semacamnya merupakan subjek
hukum internasional, setidak-tidaknya menurut hukum internasional khusus yang
bersumberkan konvensi internasional tadi. 5. Orang perorangan (individu) Dalam
arti yang terbatas orang perorangan sudah agak lama dianggap sebagai subjek
hukum internasional. Pengadilan penjahat perang di Numberg dan Tokyo telah
mengesampingkan beberapa prinsip hukum yang secara umum telah dianut baik dalam
hukum nasional maupun internasional antara lain : a. Bahwa seorangpenjahat
tidak dapat dihukum karena kebijaksanaan yang dilakukannya. b. Bahwa seorang
penjahat tidak dapat dituntut sebgai perorangan terhadap tindakan yang
dilakukannya sebagai penjahat negara. c. Bahwa seseorang tidak dapat dituntut
melakukan kejahatan yang baru ditentukan sebagai kejahatan setelah perbuatan
dilakukan. 6. Pemberontak dan pihak dalam sengketa (belligerent) Menurut hukum
perang, pemberontak dapat memperoleh kedudukan dan hak sebagai pihak yang
bersengketa dalam beberapa keadaan tertentu. Akhir-akhir ini timbul
perkembangan baru yang walaupun mirip dengan pengakuan status pihak yang
bersengketa dalam perang, memiliki cirri lain yang khas, yakni pengakuan
terhadap gerakan pembebasasn seperti Gerakan Pembebasan Palestina (PLO). BAB
VII Sunber Hukum Internasional 1. Perjanjian Internasional Perjanjian
internasional adalah perjanjian yang diadakan antara anggota masyarakat
bangsa-bangsa dan bertujuan untuk mengakibatkan akibat hukum tertentu. Dari
batasan diatas jelaslah bahwa untuk dapat dinamakan perjanjian internasional,
perjanjian itu harus diadakan oleh subjek hukum internasional yang menjadi
anggota masyarakat internasional. Terdapat enam klasifikasi perjanjian menurut
materi yang pengesahannya perlu dilakukan dengan undang-undang, yaitu
perjanjian yang berkenaan : a. Masalah politik, perdamaian, pertahanan dan
keamanan negara; b. Perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah negara
republik Indonesia; c. Kedaulatan atau hak berdaulat negara; d. Hak asasi
manusia dan lingkungan hidup; e. Pembentukan kaidah hukum baru; f. Pinjaman
dana/atau hibah luar negeri. Mengingat pentingnya perjanjian internasional
sebagai sumber hukum, akan diuraikan lebih lanjut mengenai perjanjian ini
dengan membaginya dalam 3 bagian yaitu : a. Tentang hal membuat dan mulai
berlakunya perjanjian; b. Tentang hal penaatan perjanjian; dan c. Tentang hal
punahnya perjanjian. Uraian ini terbatas pada perjanjian yang diadakan antara
negara-negara. a. Tentang hal membuat perjanjian internasional Tentang hal
membuat perjanjian internasional dapat dibagi lagi dalam 3 tahap yaitu : a.
Perundingan (negotiation); b. Penandatanganan (signature); c. Pengesahan
(ratificarion); b. Tentang hal berakhir atau ditangguhkan berlakunya
perjanjian. Secara umum suatu perjanjian bisa punah atau berakhir karena
beberapa sebab, diantaranya : a. Karena telah tercapai tujuan perjanjian itu;
b. Karena habis waktu berlakunya perjanjian itu; c. Karena punahnya salah satu
pihak peserta perjanjian atau punahnya objek perjanjian itu; d. Karena adanya
persetujuan dari para peserta untuk mengakhiri perjanjian itu; e. Karena
diadakannya perjanjian antara para peserta kemudian yang meniadakan perjanjian
yang terdahulu; f. Karena dipenuhinya syarat tentang pengakhiran perjanjian
sesuai dengan ketentuan perjanjian itu sendiri; dan g. Diakhirinya perjanjian
secara sepihak oleh salah satu peserta dan diterimanya pengakhiran itu oleh
pihak lain. 2. Kebiasaan Internasional Untuk dapat dikatakan bahwa kebiasaan
internasional itu merupakan sumber hukum perlu terdapat unsur-unsur sebagai
berikut : 1. Harus terdapat suatu kebiasaan yang bersifat umum. 2. Kebiasaan
itu harus diterima sebagai hukum. Pertama, perlu adanya satu kebiasaan, yaitu
suatu pola tindak yang berlangsung lama, yang merupakan serangkaian tindakan
yang serupa mengenai hal dan keadaan yang serupa pula. Kedua, kebiasaan atau
pola tindak yang merupakan serangkaian tindakan yang serupa mengenai hal dan
keadaan yang serupa diatas harus bersifat umum dan bertalian dengan hubungan
internasional. Dilihat secara praktis suatu kebiasaan internasional dapat
dikatakan diterima sebagai hukum apabila negara-negara itu tidak menyatakan
keberatan terhadapnya. Keberatan ini dapat dinyatakan dengan berbagai cara
misalnya dengan jalan diplomatic atau dengan jalan hukum dengan mengajukan
keberatan dihadapan suatu mahkamah. 3. Prinsip hukum umum Sumber hukum yang
ketiga menurut pasal 38 ayat 1 Piagam Mahkamah Internasional ialah asas hukum
umum yang diakui oleh bangsa-bangsa yang beradab (general principles of law
recognized by civilized nation). Yang dimaksud dengan asas hukum ialah asas
hukum yang mendasari sistem hukum modern. Yang dimaksudkan dengan sistem hukum
modern adalah sistem hukum positif yang didasarkan atas asas dan lembaga hukum
negara barat yang untuk sebagian besar didasarkan atas asas dan lembaga hukum
romawi. 4. Sumber hukum tambahan (keputusan pengadilan dan pendapat para
sarjana terkemuka di dunia) berlainan dengan sumber hukum utama yang telah kami
bahas diatas, keputusan pengadilan dan pendapat para sar4jana hanya merupakan
sumber subsidier atau sumber tambahan. Artinya keputusan pengadilan dan
pendapat para sarjana dapat dikemukakan untuk membuktikan adanya kaidah hukum
internasional mengenai suatu persoalan yang didasarkan atau sumber primer yakni
perjanjian internasional, kebiasaan dan asas hukum umum. keputusan pengadilan
dan pendapat para sarjana itu sendiri tidak mengikat, artinya tidak dapat
menimbulkan suatu kaidah hukum. Jika keputusan Mahkamah Internasionalsendiri
tidak mengikat selain bagi perkara yang bersangkutan, a fortiori keputusan
pengadilan lainnya tidak mungkin mempunyai keputusan mengiktat. Yang dimaksud
dengan keputusan pengadilan dalam pasal 38 ayat 1 sub d ialah pengadilan dalam
arti yang luas dan meliputi segala macam peradilan internasional maupun
nasional termaksud didalamnya mahkamah dan komisi arbitrase. Mengenai sumber
hukum tambahan yang kedua yaitu ajaran para sarjana hukum terkemuka dapat
dikatakan bahwa penelitian dan tulisan yang dilakukan oleh para sarjana
terkemuka sering dapat dipakai sebagai pegangan atau pedoman untuk menemukan
apa yang menjadi hukum internasional. Walaupun ajaran para sarjana itu sendiri
tidak menimbulkan hukum. Fungsi ajaran atau tulisan sarjana hukum terkemuka
tersebut diatas dengan jelas telah digambarkan oleh Hakim Gray dalam putusan
Mahkamah Agung Amerika Serikat dalam perkara Paquete Habana. Pendapat sarjana
hukum internasional yang terkemuka bertambah wibawanya sebagai sumber tambahan
apabila ia bertindak dalam suatu fungsi yang secara langsung bertalian dengan
suatu persoalan hulum internasional yang dicari penyelesaiannya seperti
misalnya Panitia Ahli Hukum yang diangkat oleh Liga Bangsa-Bangsa pada tahun
1920 untuk memberikan pendapatnya mengenai masalah kepulauan Aaland. 5.
Keputusan badan perlengkapan (organs) organisasi dan lembaga internasional
Pertumbuhan lembaga dan organisasi internasional dalm 50 tahun belakangan ini
telah mengakibatkan timbulnya berbagai keputusan baik dari badan legislative,
eksekutif maupun yudikatif dai lembaga atau organisasi internasional itu yang
tidak dapat diabaikan dalam suatu pembahasan tentang sumber hukum
internasional, walaupun mungkin keputusan demikian belum dapat dikatakan
merupakan sumber hukum internasional dalam arti yang sesungguhnya. Keputusan
badan-badan tersebut diatas sedikit-dikitnya dalam lingkungan terbatas yaitu
dilingkungan lembaga atau organisasi internasional itu sendiri, melahirkan
berbagai kaidah yang mengatur pergaulan antara anggota-anggotanya. Dalam hal
ini kepueusan itu mempunyai kekuatan mengikat yang meliputi beberapa negara,
sedangkan ada pula keputusan jenis lain yang mempunyai pengaruh yang jauh lebih
besar dari semestinya. BAB VIII Wilayah Negara dalam Hukum Internasional Setiap
negara memiliki kemungkinan untuk menambah atau memperluas wilayahnya. Dilihat
dari praktik negara ada beberapa cara bagi suatu negara untuk dapat memperluas
wilayahnya yaitu melalui akresi, cessi, okupasi, preskripsi dan perolehan
wilayah secara paksa yang biasanya berupa aneksasi. 1. Akresi Akresi adalah
penambahan wilayah yang disebabkan oleh proses alamiah. Sebagai contoh adalah
terbentuknya pulau yang disebabkan oleh endapan lumpur dimuara sungai atau
mengeringnya bagian sungai disebabkan oleh terjadinya perubahan aliran sungai.
Penambahan wilayah dalam bentuk pulau baru dapat juga disebabkan oleh letusan
gunung api dilaut. Dalam hal ini apabila pulau baru tersebut berada diperairan
wilayah suatu negara maka otomatis akan menjadi bagian dari wilayah negara
tersebut. 2. Cessi Salah satu cara yang banyak digunakan untuk memperoleh
tambahan wilayah adalah dengan cessi. Dasar pemikiran yang melandasi cessi
adalah bahwa penyerahan suatu wilayah atau bagian wilayah adalah hak yang
melekat pada kedaulatan negara. Cessi merupakan cara penyerahan wilayah secara
damai yang biasanya dilakukan melalui suatu perjanjian perdamaian yang
mengakhiri perang. Namun, pada zaman colonial praktik cessi juga banyak
dilakukan oleh para penguasa setempat, seperti misalnya yang dilakukan oleh
beberapa kesultanan di Asia tenggara kepada para pendatang dari Eropa; atau
sebaliknya dilakukan oleh para penguasa colonial kepada kelompok ada setempat.
3. Okupasi Okupasi menunjukan adanya penguasaan terhadap suatu wilayah yang
tidak berada dibawah kedaulatan negara manapun, yang dapat berupa suatu terra
nullius yang baru ditemukan. Penguasaab tersebut harus dilakukan oleh negara
dan bukan oleh orang-perorangan, secara efektif dan harus terbukti adanya
kehendak untuk menjadikan wilayah tersebut sebagai bagian dari kedaulatan
negara. Hal itu harus ditunjukan misalnya dengan suatu tindakan simbolis yang
menunjukan adanya penguasaan terhadap wilayah tersebut, misalnya dengan
pemancangan bendera atau melalui suatu proklamasi. Penemuan saja tidak cukup
kuat untuk menunjukan kedaulatan negara, karena hal ini dianggap hanya memiliki
dampak sebagai suatu pengumuman. Agar penemuan tersebut memiliki arti yuridis
harus dilengkapi dengan penguasaan secara efektif untuk suatu jangka waktu tertentu.
4. Preskripsi Berbeda dengan okupasi, preskripsi alah pelaksanaan kedaulatan
oleh suatu negara secara de facto dan damai untuk kurun waktu tertentu, bukan
terhadap terra nullius melainkan terhadap wilayah yang sebenarnya berada
dibawah kedaulatan negara lain. Kesulitan untuk dapat menerima preskripsi
sebagai asas hukum internasional dalam perolehan wilayah adalah bahwa tidak
banyak praktik negara itu. Dengan demikian, tidak jelas presiden yang
menunjukan berapa lama waktu yang diperlukan untuk menunjukan adanya
pelaksanaannya harus dilakukan tanpa terputus.hal ini penting untuk menunjukan
bahwa bahwa munculnya protes dari negara yang memiliki kedaulatan terdahulu
akan menghilangkan klaim berdasarkan preskripsi. 5. Aneksasi Aneksasi adalah
cara perolehan wilayah secara paksa berdasarkan pada dua kondisi sebagai
berikut : 1. Wilayah yang dianeksasi telah dikuasai oleh negara yang
menganeksasinya; 2. Pada waktu suatu negara mengumumkan kehendaknya untuk
menganeksasi suatu wilayah, wilayah tersebut telah benar-benar berada dibawah
penguasaan negara tadi. Perolehan wilayah dengan cara yang pertama tidak cukup
untuk melahirkan hak atau kedaulatan bagi negara yang melakukannya, melainkan
harus diikuti dengan pernyataan resmi tentang maksud atau kehendak demikian
yang biasanya dilaksanakan dengan pengiriman Nota kepada semua warganegara yang
berkepentingan. 6. Perolehan wilayah oleh Negara Baru 1. Wilayah dan Yurisdiksi
Negara di Laut a. Status Hukum tentang Pelbagai Zona Maritim b. Perairan
pedalaman c. Laut territorial d. Selat yang digunakan untuk pelayaran
internasional e. Jalur/zona tambahan f. Negara kepulauan g. Zona ekonomi
eksklusif h. Landas kontinen i. Negara-negara yang tidak berpantai dan
negara-negara yang secara geografis tidak beruntung j. Kawasan k. Pulau l. Laut
tertutup dan setengah tertutup m. Lingkungan laut. 2. Penyelesaian sengketa
Sengketa-sengketa juga dapat diselesaikan melalui konsiliasi dan dalam beberap
hal tertentu wajib menggunakan penyelesaian melalui konsiliasi. Mahkamah Hukum
Laut Internasional memiliki yurisdiksi eksklusif untuk sengketa yang berkaitan
dengan penambangan dasar laut samudera dalam. 3. Persetujuan Implementasi Bab
XI Konvensi Hukum Laut 1982 Persetujuan Implementasi Bab XI Konvensi Hukum Laut
1982 diterima pada tanggal 28 juli 1994 dan mulai berlaku sejak tanggal 28 juli
1996. Persetujuan ini memuat 10 pasal yang mengatur tentang masalah-masalah
procedural seperti misalnya, penandatanganan, mulai berlaku dan penerapan
sementara. Pasal 2 persetujuan ini mengatur tentang hubungan antara persetujuan
ini dengan ketentuan-ketentuan Bab XI Konvensi Hukum Laut 1982, yang menetapkan
bahwa kedua dokumen tersebut harus diinterprestasikan dan diimplementasikan
sebagai satu dokumen yang integral. 4. Persetujuan tentang konservasi dan
pengelolahan jenis-jenis ikan yang terdapat di dua ZEE (straddling) dan yang
bermigrasi jauh (highly migratory) Persetujuan tentang jenis-jenis ikan yang
berada di ZEE dari dua negara dan yang bermigrasi jauh menetapkan asas-asas
untuk konservasi dan pengelolahan jenis-jenis ikan tersebut. Perjanjian ini
ditujukan agar tujuan tersebut dapat dicapai dengan menyediakan suatu kerangka
kerjasama dalam konservasi dan pengelolahan sumber daya ikan tersebut. 5. Ruang
Udara dan Ruang Angkasa Secara teoritis dengan adanya kedaulatan negara diruang
udara diatas wilayahnya, setiap negara dapat melakukan larangan bagi
negara-negara lain untuk terbang diatas wilayahnya, kecuali kalau telah
diperjanjikan sebelumnya. Sama halnya dengan status hukum dari laut lepas, hukum
internasional mengakui status hukun ruang angkasa sebagai res communis,
sehingga tidak ada satu bagianpun dari ruang angkasa dapat dijadikan menjadi
bagian wilayah kedaulatan negara. Lebih lanjut pengaturan ruang angkasa
ditetapkan melalui penandatanganan Treaty on Principles Governing the
Activities of States in the Exploration and Use of Outerspace, including the
Moon And Other Celestial Bodies pada tahun 1967. Perjanjian internasional ini
menguatkan asas-asas yang telah dikemukakan dalam resolusi Majelis Umum PBB,
tetapi tidak mengandung satu ketentuan pun yang menetapkan batas antara ruang
udara dan ruang angkasa.
Komentar
Posting Komentar