AGRARIA " LANDREFORM "
A.
Pengertian Landreform
Landreform berasal dari bahasa Inggris yaitu “land” dan “reform”. Land artinya tanah, sedang reform artinya perombakan atau perubahan untuk membangun atau membentuk atau menata kembali struktur pertanian baru. Sedangkan landreform dalam arti sempit adalah penataan ulang struktur penguasaan dan pemilikan tanah, merupakan bagian pokok dalam konsep reform agraria (agraria reform).
Landreform berasal dari bahasa Inggris yaitu “land” dan “reform”. Land artinya tanah, sedang reform artinya perombakan atau perubahan untuk membangun atau membentuk atau menata kembali struktur pertanian baru. Sedangkan landreform dalam arti sempit adalah penataan ulang struktur penguasaan dan pemilikan tanah, merupakan bagian pokok dalam konsep reform agraria (agraria reform).
Pengertian Landreform dalam UUPA Undang-undang NO. 5 Tahun 1960 dan undang-undang NO.56 Prp 1960 adalah pengertian dalam arti luas sesuai dengan pengertian menurut rumusan FAO ialah landreform adalah dianggap meliputi program tindakan yang lain berhubungan yang bertujuan untuk menghilangkan penghalang-penghalang dibidang ekonomi sosial yang timbul dari kekurangan-kekurangan yang terdapat dalam struktur pertanahan.
Bila dilihat dari arti diatas, pada dasarnya landreform memerlukan program redistribusi tanah untuk keuntungan pihak yang mengerjakan tanah dan pembatasan dalam hak-hak individu atas sumber-sumber tanah. Di Indonesia terdapat perbedaan antara agraria reform dan landreform. A agrarian reform diartikan sebagai landreform dalam arti luas yang meliputi 5 program yaitu:
1) Pembaharuan Hukum Agraria;
2) Penghapusan hak-hak asing dan konsepsi-konsepsi kolonial atas tanah;
3) Mengakhiri penghisapan feodal secara berangsur-angsur;
4) Perombakam mengenal pemilikan dan penguasaan tanah serta hubungan-hubungan hukum yang bersangkutan dengan penguasaan tanah;
5) Perencanaan persediaan, peruntukan dan penggunaan bumi,air dan kekayaan alam yang terkandung didalmnya itu secara berencana sesuai dengan daya kesanggupan kemampuannya (Harsono 1973; 2-3).
B. Dasar Hukum Landreform
Dalam melaksanakan program landreform pemerintah mempunyai dasar-dasar hukum yaitu :
a. Pancasila
Konsep keadilan sebagaimana yang dijelaskan oleh aristoteles dan para pemikir sesudahnya, demikian juga konsep keadilan sosial yang tercantum dalam sila ke-5 pancasila, memang tidak mudah untuk di pahami,terlebih bila harus dihadapkan pada kasus yang konkrit. Bagi Indonesia sesuai dengan falsafah pancasila maka paling tepat kiranya untuk menerapkan asas keadilan sosial. keadilan itu sendiri bersifat universal. Jauh didalam lubuk hati setiap orang ada kesepakatan tentang sesuatu yuang dipandang sebagai adil dan tidak adil itu. Dalam pengertian keadilan, pada umumnya diberi arti sebagai keadilan “membagi” atau “distributive justice” yang secara sederhana menyatakan bahwa kepada setiap orang diberikan bagian atau haknya sesuai dengan kemampuan atau jasa dan kebutuhan masing-masing. Namun perlu dipahami bahwa keadilan itu bukanlah hal yang statis. Tetapi sesuatu proses yang dinamis dan senantiasa bergerak diantara berbagai faktor termasuk persamaan hak itu sendiri.
b. Undang-undang Dasar 1945
Secara Konstitusional pengaturan masalah perekonomian didalamnya termasuk ekonomi sumber daya alam di Indonesia telah diatur dalam UUD 1945. Hal tersebut dapat kita lihat dalam pasal 33 UUD 1945 yang selengkapnya berbunyi :
a. Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan.
b. Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.
c. Bumi,air, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
d. Perekonomian nasional diselenggarakan berdasarkan atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan,efisiensi berkeadilan,berkelanjutan,berwawasan lingkungan,kemandirian serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.
e. Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-undang.
Berdasarkan ketentuan pasal 33 tersebut Nampak jelas bahwa dalam rangka meningkatkan kemakmuran rakyat peranan negara sangat diperlukan .Ikut campurnnya negara dalam urusan kesejahteraan rakyat sebagaimana ketentuan yang dimaksud mengindikasikan bahwa dalam konstitusi kita dianut sistem negara welfarestate. Hal ini sekaligus menunjukan bahwa masalah ekonomi bukan hanya monopoli ekonomi yang didasarkan pada mekanisme pasar semata-mata tetapi juga diperlukan peranan negara,terutama yang berkaitan dengan bidang-bidang yang menguasai hajat hidup orang banyak.
c. Landreform Dalam Undang-undang pokok agrarian (UUPA)
Sebagaimana yang disinggung dimuka , Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 itu telah dijabarkan lebih lanjut dalam pasal 2 ayat 2 dan 3 Undang-undang Nomor 5 tahun 1960 (UUPA) , terutama tentang pengertian “ dikuasai negara” yaitu memberi wewenang kepada negara untuk :
a. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan, dan pemeliharaan bumi, air dan luar angkasa tersebut.
b. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa.
c. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi,air dan ruang angkasa.
Sementara wewenang tersebut harus digunakan untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat dalam arti kebangsaan, kesejahteraan dan kemerdekaan dalam hukum Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur. Payung bagi pelaksanaan landreform di Indonesia adalah UUPA nomor 5 tahun 1960 dan UUPBH (Undang-undang Bagi hasil, UU nomor 2/1960) dengan lahirnya UUPA maka UUPA menempati posisi yang strategis dalam sistem hukum nasional Indonesia, karena UUPA mengandung nilai-nilai kerakyatan dan amanat untuk menyelenggarakan hidup dan kehidupan yang berperikemanusiaan dan keadilan sosial. Nilai-nilai tersebut dicerminkan oleh :
I. Tanah dalam tataran paling tinggi dikuasai oleh negara dan digunakan sebesar-besar kemakmuran rakyat.
II.
Pemilikan atau penguasaan tanah yang berkelebihan tidak dibenarkan.
III.
Tanah bukanlah komoditas ekonomi biasa oleh karena itu tanah tidak boleh
diperdagangkan semata-mata untuk mencari keuntungan.
IV. Setiap warga negara yang memiliki atau menguasai tanah diwajibkan mengerjakan sendiri tanahnya, menjaga dan memelihara sesuai dengan asas kelestarian kualitas lingkungan hidup dan produktivitas SDA.
V. Hukum adat atas tanah diakui sepanjang memenuhi persyaratan yang ditetapkan.
d. Beberapa Ketentuan Pelaksanaan Landreform
Jika menelusuri beberapa ketentuan lain dari UUPA, maka akan dijumpai beberapa peraturan yang lain jika dipelajari secara mendalam sesungguhnya adalah ketentuan Landreform.
a) UU No 56 Prp 1960 tentang penetapan luas tanah pertanian. Undang-Undang ini merupakan dari ketentuan pasal 7 dan 17 UUPA. UU ini mengatur tiga masalah pokok yaitu penetapan luas maksimum penguasaan tanah dan luas minimum tanah pertanian.
b) Peraturan Pemerintah NO 224 tahun 1961 yang telah di ubah dengan peraturan pemerintah No 41 Tahun 1964 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian ganti kerugian.
c) UU No 2 Tahun 1960 tentang perjanjian bagi hasil.
d) Peraturan Pemerintah No 10 tahun 1961 yang telah diubah dengan Peraturan pemerintah No 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
e) Peraturan Menteri Dalam Negeri No 15 tahun 1974 tentang Pedoman Tindak Lanjut Pelaksanaan landreform.
C. Tujuan dari Landreform
Tujuan umum dari pelaksanaan Landreform di Indonesia adalah untuk meningkatkan taraf hidup , kesejahteraan dan kemakmuran rakyatnya khususnya petani melalui penetapan pemilikan/penguasaan tanah secara adil dan merata.
Secara Khusus tujuan pelaksaan landreform di Indonesia dapat dikemukakan antara lain :
1. Untuk mengadakan pembagian yang adil atas sumber penghidupan rakyat petani yang berupa tanah.
2. Untuk melaksanakan prinsip tanah untuk tani agar tidak terjadi lagi tanah sebagai objek spekulasi dan pemerasan.
3. Untuk memperkuat dan memperluas hak milik atas tanah bagi setiap warga negara.
4. Untuk mengakhiri sistem tuan tanah dan menghapuskan pemilikan penguasaan tanah secara besar-besaran dengan tak terbatas.
5. Untuk mempertinggi produksi nasional dan mendorong terselenggarannya pertanian yang intensif secara gotong royong dalam bentuk koperasi dan bentuk gotong royong lainya untuk mencapai kesejahteraan yang merata dan adil.
Dilihat dari berbagai aspek tujuan landreform di Indonesia meliputi :
a. Tujuan Sosial Ekonomis.
1. Memperbaiki keadaan sosial ekonomi rakyat dengan memperkuat hak milik dan memberikan fungsi sosial.
2. Memperbaiki produksi nasional, khususnya pada sektor pertanian.
b. Tujuan Sosial Politis
1. Mengakhiri penguasaan tanah ada orang tertentu dan menghapuskan sistem tuan tanah.
2. Mengadakan pembagian yang adil atas sumber penghidupan rakyat tani.
c. Tujuan Mental Psikologis
1. Meningkatkan kegairahan kerja bagi para petani penggarapnya.
2. Memperbaiki hubungan kerja antara pemilik dan penggarap.
Tujuan land reform menurut Michael Lipton dalam Arie S. Hutagalung (1985) adalah :
1. Menciptakan pemerataan hak atas tanah diantara para pemilik tanah. Ini dilakukan melalui usaha yang intensif yaitu dengan redisribusi tanah, untuk mengurangi perbedaan pendapatan antara petani besar dan kecil yang dapat merupakan usaha untuk memperbaiki persamaan diantara petani secara menyeluruh.
2. Untuk meningkatkan dan memperbaiki daya guna penggunaan tanah.
Dengan ketersediaan lahan yang dimilikinya sendiri maka petani akan berupaya meningkatkan produktivitasnya terhadap lahan yang diperuntukkan untuk pertanian tersebut, kemudian secara langasung akan mengurangi jumlah petani penggarap yang hanya mengandalkan sistem bagi hasil yang cenderung merugikan para petani.
D. Tanah Objek Landreform
Dalam rangka pelaksanaan landreform yang dikatagorikan dalam objek landreform adalah :
1. Tanah Kelebihan
Tanah kelebihan merupakan tanah kelebihan dari batas maksimum sebagaimana yang ditentukan dalam Undang-Undang dan tanah kelebihan tersebut diambil alih oleh pemerintah dengan diberikan ganti rugi.
2. Tanah Absentee/Guntai
Dalam Pasal 10 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 ditegaskan bahwa setiap orang dan badan hukum yang mempunyai hak atas tanah pertanian pada dasarnya diwajibkan mengerjakan atau mengusahakannya sendiri secara aktif dengan mencegah cara-cara pemerasan.
Tanah absentee/guntai dilihat dari asal usulnya dapat terjadi karena 3 (tiga) hal, yaitu :
a. Tanah yang ditinggalkan oleh pemiliknya.
yaitu pemilik yang bersangkutan berpindah tempat dari kecamatan letak tanah selama 2 tahun berturut-turut. Jika pihak tersebut melapor kepada pejabat setempat tentang kepergiannya, maka dalam waktu satu tahun sejak berakhirnya jangka waktu tersebut ia diwajibkan memindahkan hak milik atas tanah pertaniannya kepada orang lain yang bertempat tinggal di kecamatan tersebut.
b. Pewarisan
Jika karena pewarisan maka dalam waktu 1 tahun terhitung sejak si pewaris meninggal, ahli waris bersangkutan diwajibkan untuk mengalihkan hak milik atas tanah tersebut kepada orang lain yang bertempat tinggal di kecamatan di mana tanah itu berada, atau apabila ahli waris ingin tetap memiliki tanah tersebut, maka ia harus berpindah ke kecamatan tanah yang bersangkutan.
c. Jual beli
Yaitu beralihnya hak milik atas tanah yang bersangkutan. Adapun hal-hal yang dikecualikan dalam pemilikan tanah secara absentee adalah :
a) Pemilik yang bertempat tinggal di kecamatan yang berbatasan dengan kecamatan tanah tersebut berada.
b) Pegawai negeri dan anggota ABRI serta oran-orang yang dipersamakan.
c) Pemilik yang mempunyai alasan khusus yang dapat diterima oleh Direktorat Jenderal Agraria.
3. Tanah swapraja dan bekas swapraja yang langsung dikuasai oleh negara .
4. Tanah-tanah lain yang langsung dikuasai negara dan ditetapkan sebagai obyek Landreform adalah :
a) Tanah partikelir.
b) Tanah erpfacht yang telah berakhir jangka waktunya, dihentikan atau dibatalkan.
c) Tanah kehutanan yang diserahkan kembali penguasaannya oleh instansi yang bersangkutan kepada negara.
E. Landreform Dalam Rangka Pembangunan Hukum Agraria
Perlunya pengaturan landreform di Indonesia telah di mulai sejak lama yang kemudian terwujud dalam UUPA tahun 1960. Dengan demikian sampai saat ini sudah berlangsung hampir empat puluh tahun lebih. Selama kurun waktu tersebut harus di akui telah banyak terjadi perubahan-perubahan di dalam masyarakat. Oleh karena itu kondisi-kondisi pada tahun dimana perlunya pengaturan masalah landreform pada masa itu tentunya sudah mengalami perubahan pada masa sekarang.
Terdapat beberapa hal yang perlu difikirkan dalam pelaksanaan landreform kedepan yaitu :
a. Luas maksimum dan minimum penguasaan tanah
Dalam ketentuan UUPA pasal 17 telah disebutkan bahwa dengan mengingat ketentuannya maka untuk mencapai sebesar besar kemakmuran rakyat maka perlu ditentukan luas minimum dan maksimal tanah yang boleh dipunyai sesuatu hak sebagaimana tersebut dalam pasal 16 UUPA oleh suatu keluarga atau badan hukum.
Khusus mengenai tanah pertanian pengaturan luas maksimum dan minimum tersebut diatur dalam Undang-Undang No 56 Prp tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah pertanian. Oleh karena, dalam penentuan batas minimum kepemilikan tanah pertanian bagi suatu keluarga hendaknya ditentukan atas dasar pertimbangan ekonomis dengan memperhatikan kondisi penduduk (rumah tangga petani) dan kondisi tanah saat ini, serta prediksi dimasa yang akan datang. Dalam penentuan tersebut tentunya sebelum dilakukan pengaturan perlu adanya suatu studi yang sifatnya konprehensif, dengan melibatkan berbagai pihak.
b. Larangan absente
Pemilikan tanah secara absente dipahami sebagai suatu kepemilikan tanah pertanian yang pemiliknya berada diluar kecamatan yang berbeda dengan lokasi tanah pertanian dimaksud. Adanya ketentuan merupakan implementasi dari ketentuan pasal 10 UUPA yang mana setiap orang dan badan hukum yang mempunyai suatu hak atas tanah pertanian pada asasnya diwajibkan mengerjakan atau mengusahakannya sendiri secara aktif, dengan mencegah cara-cara pemerasan. Larangan absentee ini kemudian diatur lebih lanjut dengan peraturan Pemerintah No 224 tahun 1961 tentang Pembagian tanah dan pemberian ganti kerugian.
c. Redistribusi tanah objek Landreform
Berkaitan dengan objek landreform di Indonesia dalam pasal 1 PP 224 tahun 1961 disebutkan bahwa tanah-tanah yang dalam rangka pelaksanaan Landreform akan dibagikan menurut peraturan ini adalah :
a) Tanah selebihnya dari batas maksimum (tanah surplus) sebagai mana yang dimaksud dalam UU no 56 Prp tahun 1960;
b) Tanah tanah yang di ambil oleh pemerintah karena pemiliknya bertempat tinggal di luar kecamatan tempat letak tanah (tanah absentee);
c) Tanah tanah swapraja dan bekas swapraja yang telah beralih kepada negara, sebagaimana yang di maksud dalam dictum ke empat huruf A UUPA ;
d) Tanah tanah lain yang dikuasai oleh negara yang akan di tegaskan lebih lanjut oleh meteri agraria. Tanah tanah lain dalam hal ini seperti bekas tanah tanah partikelir,tanah tanah dengan hak guna usaha yang telah berakhir waktunya , dihentikan atau dibatalkan, tanah tanah kehutanan yang diserahkan kembali kepada negara dan lain lain.
F. Kebijakan Hukum Landreform Dalam Meningkatkan Ekonomi Masyarakat
Tujuan kebijakan pertanahan adalah terwujudnya suatu kondisi kemakmuran rakyat sebagaimana yang di amanatkan oleh pasal 33 ayat 3 UUD 1945 , TAP MPR IX/2001 dan UUPA 1960 melalui pengelolaan pertanahan secara berkeadilan, transparan, partisipatif, dan akuntabel serta berkesinambungan. UUPA sangat berpihak pada kepentingan golongan ekonomi lemah. Berbagai ketentuan dan upaya yang di amanatkan di dalamnya secara tegas di tujukan untuk mengangkat taraf hidup rakyat golongan ekonomi lemah tersebut. Demikian juga tentang kewajiban- kewajiban dari setiap subjek hak atas tanah dan pengaturan tanah adat yang bertentangan sifatnya dengan UUPA.
a. Kerangka kebijakan nasional pertanahan
Untuk mewujudkan struktur penguasaan, pemilikan dan pangunaan tanah yang mampu memberikan akses yang adil serta mendorong peningkatan kesejahteraan masyarakat yang berkelanjutan dengan mengurangi ketimpangan penguasaan dan pemilikan tanah, membangun ekonomi kerakyatan yang berkeadilan serta melestarikan lingkungan, maka pemerintah mengambil langkah arah kebijakan yaitu :
1. Menata penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah yang berbasis masyarakat yang didukung komitmen politik pemerintah agar terwujud rasa keadilan bagi warga negara, khususnya petani dan warga miskin lainnya.
2. Memfasilitasi penyediaan berbagai kelembagaan pendukung, instrumen, sarana dan prasarana yang dibutuhkan untuk pelaksaan program redistribusi tanah landreform.
b. Perlindungan tanah pertanian produktif
Ditinjau dari aspek pertanahan, pengembangan sektor pertanian dihadapkan pada berbagai masalah, antara lain:
1. Terbatasnya sumberdaya tanah yang tidak cocok untuk kegiatan pertanian.
2. Sempitnya tanah pertanian perkapita penduduk Indonesia.
3. Makin banyanknya jumlah petani gurem.
4. Cepatnya konfersi tanah pertanian menjadi non pertanian
Sampai saat ini Undang-Undang yang mengatur khusus perlindungan dan pengendalian tanah pertanian produktif belum diterbitkan. Ketentuan tentang perlindungan tanah sawah beririgasi teknis tertuang dalam berbagai peraturan/keputusan/surat edaran menteri dan kepala BPN sampai dengan peraturan daerah. Namun demikian peraturan tersebut belum mampu mengendalikan konversi tanah secara efektif, oleh karena itu diperlukan suatu peraturan setingkat undang-undang yang secara khusus mengatur perlindungan tanah pertanian.
c. Pengendalian alih fungsi tanah pertanian
Dalam rangka perlindungan dan pengendalian tanah pertanian secara menyeluruh dapat ditempuh melalui 3 strategi yaitu :
1. Memperkecil peluang untuk terjadinya konversi.
2. Mengendalikan kegiatan konversi tanah.
3. Mengembangkan instrumen pengendalian konversi tanah.
G. Kendala Pelaksanaan Landreform di Indonesia
Program landreform pernah dicoba dan diimplementasikan di Indonesia pada era tahun 1960-an, meskipun hanya mencakup luasan tanah dan petani penerima dalam jumlah yang sangata terbatas. Kemudian, sepanjang pemerintahan Orde Baru, landreform tidak pernah lagi diprogramkan secara terbuka, namun diganti dengan program pensertifikatan, transmigrasi, dan pengembanga Perkebunan Inti Rakyat, yang pada hakekatnya bertujuan untuk memperbaiki akses masyarakat terhadap tanah. Sepanjang pemerintahan dalam era Reformasi sampai sekarang, telah tercapai beberapa perbaikan dalam hukum dan perundang-undangan keagrariaan, namun tetap belum dijumpai program nyata tentang landreform.
Secara teoritis, ada empat factor penting sebagai prasyarat pelaksanaan landreform, yaitu:
a. Kesadaran dan kemauan dari elit politik
b. Organisasi petani dan masyarakat yang kuat
c. Ketersediaan data yang lengkap dan juga akurat
d. Dukungan anggaran yang memadai
Saat ini, kondisi keempat factor tersebut masih dalam kondisi lemah, sehingga dapat dikatakan implementasi landreform secara serentak dan menyeluruh di Indonesia masih sulit diwujudkan.
Komentar
Posting Komentar