Penyelesaian Sengketa Hasil Pemilihan Umum Presiden Tahun 2019

Sheren Farah
11160480000028
Ilmu Hukum 6C

Tim Kuasa Hukum Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo Subianto-Sandiaga Uno akhirnya resmi mengajukan gugatan hasil Pilpres 2019 ke Mahkamah Konstitusi. Gugatan itu diajukan oleh Ketua Tim Kuasa Hukum BPN Prabowo-Sandi, Bambang Widjojanto dan Direktur Komunikasi dan Media BPN Hashim Djojohadikusumo di Mahkamah Konstitusi pada Jumat malam tanggal 24 Mei 2019.
Kubu pasangan calon nomor urut 02 secara tegas menolak hasil perhitungan suara Pilpres 2019 yang dilakukan dan diumumkan oleh Komisi Pemilihan Umum pada 22 Mei. Berdasarkan hasil rekapitulasi perhitungan suara KPU, pasangan calon nomor urut 01 Joko Widodo-Ma’ruf Amin mengumpulkan 85.607.362 suara atau setara dengan 55,5% dari total suara sah. Sementara itu, Prabowo-Sandi meraih 68.650.362 suara atau setara dengan 44,5% dari total suara sah.
BPN Prabowo-Sandi menunding telah terjadi kecurangan yang dilakukan secara terstruktur, sistematik, masif, dan brutal pada Pilpres 2019. Tuduhan tersebut telah disampaikan berulang kali oleh petinggi BPN, termasuk Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno.
Berdasarkan dokumen yang diterima, Tim Kuasa Hukum BPN memohon kepada MK untuk memberikan putusan sesuai dengan tuduhan dan alasan-alasan hukum. Berikut tujuh permohonan atau tuntutan Prabowo-Sandi kepada hakim Mahkamah Konstitusi :
1.      Mengabulkan permohonan pemohon seluruhnya.
2.      Menyatakan batal dan tidak sah keputusan KPURI No. 987/PL.01.08-KPT/06/KPU/V/2019 tentang Penetapan Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota Secara Nasional dalam Pemilu 2019 dan Berita Acara KPU RI No. 135/PL.01.0-BA/06/KPU/V/2019 tentang Rekapitulasi Hasil Perhitungan Perolehan Suara Tingkat Nasional dan Penetapan Hasil Pemilu 2019.
3.      Menyatakan Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden Nomor Urut 01 H. Joko Widodo dan K.H. Ma’ruf Amin, terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan pelanggaran dan kecurangan Pemilu Presiden/Wapres 2019 secara Terstruktur, Sistematis, dan Masif.
4.      Membatalkan (mendiskualifikasi) Pasangan Calon Nomor Urut 01 Joko Widodo-K.H. Ma’ruf Amin sebagai peserta Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.
5.      Menetapkan Pasangan Calon Nomor Urut 02 Prabowo Subianto-Sandiaga Uno sebaga Presiden-Wakil Presiden terpilih periode 2019-2024.
6.      Memerintahkan kepada Termohon untuk seketika mengeluarkan surat keputusan tentang penetapan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno sebagai Presiden dan Wapres terpilih 2019-2024.
7.      Memerintahkan Termohon untuk melaksanakan pemungutan suara ulang secara jujur dan adil di seluruhh wilayah Indonesia, sebagaimana diamanatkan dalam pasal 22E ayat (1) UUD 1945.

Salah satu yang dibahas adalah soal perbaikan gugatan dari tim hukum Prabowo Subianto-Sandiaga Uno pada tanggal 25 Mei. Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang, Feri Amsari, menilai semestinya MK tidak menerima itu, dengan berdasarkan pada Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) Nomor 5 tahun 2018, khususnya di pasal 3 ayat 2.
Di sana tertulis perbaikan permohonan hanya bisa dilakukan untuk DPR, DPD, dan DPRD, bukan untuk PHPU Pilpres. “Artinya berdasarkan pasal pengecualian itu, dan lampiran itu, harusnya MK tegas tidak ada perbaikan permohonan. Ini soal ketegasan,” kata Feri.
Dalam sidang pertama, 14 Juni, revisi ini dipermasalahkan lagi oleh pihak terkait (tim hukum Joko Widodo-Ma'ruf Amin) dan termohon (Komisi Pemilihan Umum) setelah tim hukum Prabowo-Sandiaga membacakannya ulang.
Berdasarkan gugatan yang telah saya paparkan diatas, berikut tanggapan-tanggapan pihak TKN terhadap gugatan BPN yang telah diajukan ke Mahkamah Konstitusi.
Tim Kampanye Nasional (TKN) Joko Widodo-Ma'ruf Amin meminta Mahkamah Konstitusi menolak penambahan dalil dan materi permohonan sengketa Penghitungan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) yang diajukan pasangan calon Prabowo Subianto-Sandiaga Uno.
Wakil Ketua TKN Arsul Sani menuturkan Peraturan MK Nomor 1 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Peraturan MK Nomor 5/2018 Tentang Tahapan, Kegiatan, dan Jadwal Penanganan Perkara Perselisihan Hasil Pemilu tidak memberi kesempatan bagi pemohon dalam hal ini Prabowo-Sandi memperbaiki permohonan.
"TKN ingin menyampaikan sikap agar MK menolak seluruh perbaikan yang diajukan oleh paslon 02 selaku pemohon melalui kuasa hukumnya," ujar Arsul di Posko Cemara, Jakarta, Senin (10/6).


Tim hukum Prabowo-Sandiaga hari ini mendatangi MK untuk menyerahkan revisi permohonan sengketa PHPU.
Tim Kampanye Nasional Joko Widodo-Ma'ruf Amin menilai tuntutan pendiskualifikasi dan Pemilu ulang yang diajukan Badan Pemenangan Nasional Prabowo-Sandiaga ke Mahkamah Konstitusi (MK) berlebihan. Menurut Juru Bicara TKN Joko Widodo-Ma'ruf Amin, Ace Hasan Syadzily, tuntutan yang diajukan BPN ke MK akan sulit terpenuhi lantaran tidak disertai data data yang valid
Ace Hasan Syadzily mengatakan “ Bagi kami tuntutan itu sangat berlebihan dengan meminta supaya mendiskualifikasi atau mengadakan pemilu ulang. Apalagi tuntutan itu tidak disertai dengan data-data yang meyakinkan dengan mengandalkan artikel berita ". Menurut Ace, dengan selisih kemenangan sangat besar yakni 16.957.123 suara, tidak mudah bagi BPN untuk membuktikan tuduhan kecurangan terstruktur, sistematis dan massif ke TKN. 
Kemudian saya akan membahas juga terkait tanggapan pihak KPU terhadap gugatan yang diajukan oleh pihak BPN Prabowo Subianto-Sandiaga Uno :
Tim hukum KPU menegaskan mereka menolak dalil permohonan yang dibacakan kubu Prabowo-Sandiaga selaku pemohon, Selasa (18/6/2019). Dalam pandangan KPU, dalil yang dibacakan pemohon merupakan dalil perbaikan permohonan bukan permohonan awal yang didaftarkan.
Ali mengatakan, perbaikan permohonan yang dibacakan dalam sidang pada 14 Juni 2019 memiliki perbedaan yang sangat mendasar baik dalam posita maupun petitumnya sehingga dapat diklasifikasikan sebagai permohonan yang baru. Mereka pun beranggapan, perbedaan tersebut menandakan dua poin penting. Pertama, KPU menilai permohonan yang dibacakan harus dikesampingkan karena tidak memenuhi syarat permohonan pasal 475 ayat 1 dan ayat 2 UU 7 tahun 2017 tentang Pemilu, UU MK dan PMK nomor 4 tahun 2019 tentang tata cara pelaksanaan pemilu. Kedua, permohonan yang dibaca dalam persidangan 14 Juni lalu sebagai bukti kalau kubu Prabowo-Sandiaga menerima hasil pemilu. Sebab, dalam dokumen permohonan gugatan pertama atau yang disampaikan pada 24 Mei 2019 tidak memuat tuduhan kecurangan yang masif beserta bukti penguat dalil tersebut.
Keberadaan lembaga peradilan dalam negara modern seperti Indonesia merupakan suatu keniscayaan. Penegakan hukum dan keadilan merupakan salah satu fungsi kedaulatan suatu negara. Dalam bukunya Territory The Claiming of Space, David Storey menegaskan tentang peran dan fungsi negara, yaitu: (1) Mengatur perekonomian negara. (2) Menyediakan kebutuhan dan kepentingan publik terutama kesehatan dan transportasi. (3) Menyediakan perangkat hukum dan menegakkan keadilan bagi rakyatnya. (4) Membela dan menjaga territorial wilayahnya negara dan keamanan rakyatnya dari ancaman pihak luar. Salah satu tiang penyangga tegaknya kedaulatan negara adalah adanya pengadilan berdaulat. Enlitas pengadilan sejatinya merupakan lembaga yang bertugas mencerahkan dan memberi arah perjalanan peradaban bangsa.
Menurut Satjipto Raherdjo, sekarang mestinya hukum diproyeksikan terhadap gagasan dan pemahaman yang baru, yaitu menukik sampai pada kedalaman makna hukum. Pertama, para penegak hukum, dimana pun posisi mereka, mengidentifikasi diri mereka sebagai kaum vigilantes, orang-orang yang berjihad dalam hukum. Mereka tidak hanya membaca undang-undang tetapi diresapi dengan semangat untuk meluapkan keluar makna undangundang yang ingin menyejahterakan rakyat. Dengan demikian diperlukan predisposisi progresif dari para penegak hukum. Kedua. kesadaran dan keyakinan bahwa hukum menginginkan yang baik terjadi pada rakyat dan masyarakat. Hukum bukan semata-mata sederetan kata-kata dan kalimat, tetapi merupakan pesan (message) yang membutuhkan realisasi. Selanjutnya, Satjipto Rahardjo mengemukakan bahwa para penegak hukum yang berjihad untuk memunculkan kekuatan hukum akan senantiasa memeras dan mendorong kata-kata dari teks hukum sampai ke titik paling jauh (ultimate) sehingga kekuatan hukum keluar dari persembunyiannya. Pengadilan tidak lagi semata-mata menjadi tempat untuk menerapkan undang-undang, melainkan menjadi tempat untuk menguji undang-undang. Hakim bukan lagi /es bouches, qui prononcent Jes paroles de la Joi (mulut yang mengucapkan kata-kata undang-undang), melainkan seorang vigilante atau mujtahid.
Pada dasarnya apa yang dilakukan oleh hakim di persidangan adalah mengkonstatasi peristiwa konkrit, yang sekaligus berarti merumuskan perisliwa konkrit, mengkualifikasi peristiwa konkrit yang berarti menetapkan peristiwa hukumnya dari peristiwa konkrit, dan mengkonstitusi atau memberi hukum atau hukumannya. Semua itu pada dasarnya sama dengan kegiatan seorang sarjana hukum yang dihadapkan pada suatu konflik atau kasus dan harus memecahkannya, yaitu meliputi: 1. legal problem identification; 2. legal problem solving; 3. decision making. Dalam menjalankan tugasnya di persidangan tersebut Hakim harus senantiasa mengikuti perkembangan nilai-nilai yang ada di dalam masyarakat, supaya dapat memberikan putusan yang sesuai dengan rasa keadilan masyarakat. Dalam hal ini Hakim harus mengadili menurut hukum.
Selanjutnya saya akan menganalisa kasus tersebut dengan argumentasi dan penalaran hukum sesuai dengan pemikiran dan logika hukum saya sendiri, dengan memposisikan diri saya jika menjabatani sebagai hakim di Mahkamah Konstitusi.
Hakim di Mahkamah Konstitusi bukan lagi bicara soal kodifikasi hukum, bukan lagi hanya berpatokan pada undang-undang saja. Namun hakim Mahkamah Konstitusi sudah memandang suatu kasus dari sudut filosofis, bukan hanya yuridis. Dan setelah saya memahami para argumentasi hakim pada kasus Sengketa Pilpres 2019 ini, para anggota hakim di Mahkamah Konstitusi selalu berargumen sesuai dengan ketetapan yuridis atau berpatokan hanya kepada sebuah undang-undang tertulis.
Hal tersebut bukanlah hal yang salah menurut saya, hal tersebut adalah suatu hal yang benar dilakukan hakim dalam mengutus dan mengadili suatu perkara, yaitu sesuai dengan apa yang sudah ditetapkan. Menurut saya, jika saya berada diposisi hakim Mahkamah Konstitusi pada saat ini, saya akan menggunakan beberapa metode penalaran hukum yang diantaranya adalah menggunakan metode penalaran hukum positivisme hukum, rechtsvinding.
Aliran Positivisme (Hukum Positif) menyamakan hukum dengan undang-undang, tidak ada hukum di luar undang-undang, sehingga harus diakui bahwa satu-satunya sumber hukum adalah undang-undang (legisme). Undang-undang dibuat oleh penguasa, oleh karena itu hukum merupakan perintah dari penguasa dalam arti bahwa perintah dari pemegang kekuasaan yang paling tinggi atau pemegang kedaulatan.
Aliran Rechtsvinding merupakan aliran yang dapat dikatakan sebagai penengah antara legisme dan freie rechtslehre. Sebagai aliran penengah, aliran Rechtsvinding tetap berpegang pada undang-undang, tapi tidak seketat aliran legisme, karena hakim juga mempunyai kebebasan. Tapi kebebasan ini tidak seperti kebebasan yang dianut dalam aliran freie rechtslehre.
Menurut Scholten Penemuan hukum (rechtsvinding} berbeda dengan penerapan hukum (rechtstoepassing), karena di sini ditemukan sesuatu yang baru. Penemuan hukum dapat dilakukan baik melalui penafsiran, atau analogi, maupun penghalusan hukum (rechtsvervijning}. Penegakan hukum tidak hanya dilakukan dengan logika penerapan hukum yang mengandalkan penggunaan logika (een hanteren van logische figuren}, melainkan melibatkan penilaian, memasuki ranah pemberian makna. Melalui silogisme dan kesimpulan logis, tidak akan ditemukan sesuatu yang baru, seperti yang dikehendaki oleh penemuan hukum. Jika hakim memutus suatu kasus berdasarkan hak dan kewajiban yang sudah ada (preexisting right and obligation} maka hakim tidak lebih dan lidak kurang hanya sebagai robot. Karena hakim bukan robot. tetapi manusia maka hakim dapat membuat peraturan baru. Jadi bukan hanya badan legislatif dan eksekutif yang membuat hukum, tetapi juga badan yudikatif.
Menurut Sudikno Mertokusumo, penemuan hukum adalah proses pembentukan hukum oleh hakim atau petugas-petugas hukum lainnya yang diberi tugas melaksanakan hukum terhadap peristiwa-peristiwa konkrit. Lebih konkrit lagi dapat dikatakan bahwa penemuan hukum adalah konkretisasi, kristalisasi atau individualisasi peraturan hukum atau das sol/en, yang bersifat umum dengan mengingat peristiwa konkrit atau das sein. Peristiwa konkrit itu harus dihubungkan dengan peraturan hukumnya agar dapat tercakup oleh peraturan hukum itu. Sebaliknya peraturan hukumnya harus disesuaikan dengan peristiwa konkritnya agar dapat diterapkan.
Mahkamah Konstitusi Yang Mulia
Seteleh membaca dengan seksama gugatan yang diajukan oleh Kuasa Hukum Pemohon Pasangan Calon 02 Presiden-Wakil Presiden, Parbowo SubiantoSandiaga Salahuddin Uno, adapun tanggapan AHLI sebagai berikut : PERTAMA, Pasal 24C Undang-Undang Dasar 1945 secara expressive verbis menyatakan bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan hasil pemilihan umum.
KEDUA, dalam membaca suatu teks undang-undang berlaku postulat primo executienda est verbis vis, ne sermonis vitio obstruatur oratio, sive lex sine argumentis yang berarti perkataan adalah hal pertama yang diperiksa untuk mencegah adanya kesalahan pengertian atau kekeliruan dalam menemukan hukum. In casu a quo dalam kaitannya dengan kewenangan Mahkamah Konstitusi merujuk pada Pasal  a quo, yang menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
KETIGA, interpretasi gramatikal sistematis terhadap Pasal 24C Undang-Undang Dasar 1945, juncto Pasal 74 dan Pasal 75 Undang-Undang Mahkamah Konstitusi sebagai derivat dari kewenangan Mahkamah Konstitusi yang terdapat dalam Undang-Undang Dasar 1945 secara jelas dan terang menyatakan bahwa kewenangan Mahkamah Konstitusi hanya terhadap kesalahan hasil perhitungan suara yang diumumkan oleh Komisi Pemilihan Umum dan hasil perhitungan yang benar menurut Pemohon. Dengan demikian secara muatis mutandis, Fundamentum Petendi yang dikonstruksikan oleh Kuasa Hukum Pemohon seharusnya berkaitan dengan hasil perhitungan suara.
KEEMPAT, masih dengan menggunakan interpretasi gramatikal sistematis, kata “perselisihan” yang dimaksudkan dalam pasal a quo adalah tentang selisih suara dan bukan tentang sengketa pemilu. Kuasa Hukum Pemohon tidak hendak menyoal tentang hasil perhitungan suara yang merupakan kewenangan Mahkamah Konstitusi, tetapi justru mempersoalkan hal lain di luar kewenangan Mahkamah Konstitusi. Dengan menggunakn dalil yang diajukan oleh Kuasa Hukum Pemohon bahwa “MK bukan Mahkamah Kalkulator”, “MK tidak boleh dipasung dalam ketentuan undang-undang” dan MK merupakan the guardian of constitution”, menunjukan bahwa Kuasa Hukum Pemohon secara implisit mengakui tidak ada kesalahan dalam perhitungan atau rekapitulasi Pemilihan Presiden yang dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum.

Mahkamah Konstitusi Yang Mulia
KELIMA, Kuasa Hukum Pemohon dalam Fundamentum Petendi hanya menunjukan pelanggaran-pelanggaran Pemilu seperti Penyalahgunaan APBN dan atau program kerja pemerintah; Ketidaknetralan Aparatur Negara seperti Polisi dan Intelijen; Penyalahgunaan Birokrasi dan BUMN; Pembatasan Kebebasan Media dan Pers; serta Diskriminasi dalam Penegakkan Hukum, pada hakikatnya adalah pelanggaran Pemilu yang berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 seharusnya dilaporkan kepada Badan Pengawas Pemilu. Selanjutnya, Badan Pengawas Pemilu lah yang mengkualifisir apakah berbagai pelanggaran tersebut merupakan pelanggaran administrasi, sengketa administrasi ataukah pidana Pemilu. Berdasarkan hasil kualifisir tersebut, Badan Pengawas Pemilu akan mendistribusikan kasus sengketa Pemilu ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu, Komisi Pemilihan Umum, Peradilan Umum ataukah Peradilan Tata Usaha Negara. Kuasa Hukum Pemohon secara kasat mata mencampur adukkan antara sengketa Pemilu dengan perselisihan hasil Pemilu. Dengan catatan, itu pun kalau sengketa Pemilu yang didalilkan dapat dibuktikan secara sah dan meyakinkan. Sekali lagi, Kuasa Hukum Pemohon tidak hendak menyoal tentang hasil perhitungan suara yang merupakan kewenangan Mahkamah Konstitusi, tetapi justru mempersoalkan hal lain di luar kewenangan Mahkamah Konstitusi.
KEENAM, Fundamentum Petendi yang digunakan Kuasa Hukum Pemohon berasal dari Putusan Mahakamah Konstitusi tentang perselisihan Pilkada dan bukan hasil perselisihan Pemilu sehingga rendah tingkat komparasinya. Dalam konteks ini, Kuasa Hukum Pemohon kiranya perlu memahami suatu postulat dalam teori hukum yang berbunyi nit agit exemplum litem quo lite resolvit. Artinya, menyelesaikan suatu perkara dengan mengambil contoh perkara lain sama halnya dengan tidak menyelesaikan perkara tersebut. Postulat ini merupakan pedoman di negara-negara yang mewarisi tradisi sistem Eropa Kontinental – termasuk Indonesia – bahwa dalam mengadili setiap perkara, hakim sangat bersifat otonom dan tidak terikat pada putusan hakim sebelumnya. Masing-masing perkara mempunyai sifat dan karakter tersendiri yang sudah tentu didasarkan pada fakta yang berbeda pula. Judicandum est legibus non exemplis. Artinya, putusan harus dibuat berdasarkan hukum, bukan berdasarkan contoh
KETUJUH, masih berkaitan dengan perselisihan Pilkada sebagaimana yang disebutkan dalam Fundamentum Petendi, Kuasa Hukum Pemohon seolah-olah menjadikan  Putusan Mahkamah Konstitusi terkait perselisihan Pilkada serta merta sebagai yurisprudensi. Yurisprudensi dapat dijadikan sumber penemuan hukum jika dapat dijelaskan hubungan antara perkara yang sedang ditangani dengan yurisprudensi tersebut. Hal ini didasarkan pada postulat citationes non concedantur priusquam exprimatur super qua re fieri debet citation. Artinya, penggunaan yurisprudensi tidak akan diterima sebelum dijelaskan hubungan antara perkara dengan yurisprudensi tersebut. Kedalaman makna postulat ini adalah penggunaan putusan hakim sebelumnya dapat dijadikan yurisprudensi jika pokok perkara yang disengketakan adalah sama. In casu a quo, perselisihan Pilkada tidak identik dengan perselisihan Pilpres.
KEDELAPAN, masih dalam konteks preseden Pilkada. Kuasa Hukum Pemohon berulang kali menggunakan contoh Pilkada sebagai rujukan dalam perselisihan hasil Pilpres. Majelis Hakim Yang Mulia jangan sampai terjebak dengan dalil yang menyesatkan mengingat postulat yang berbunyi ubi eadem ratio ibi idem lex, et de similibus idem et judicium. Artinya, jika terdapat alasan hukum yang sama, maka berlaku hukum yang sama. Namun, bila dipahami dengan pendekatan argumentum a contrario, maka disimpulkan bahwa jika alasan hukumnya berbeda, tidak ada alasan untuk menggunakan hukum yang sama. Bila Kuasa Hukum Pemohon memahami betul bahwa kosntruksi hukum Pilkada tidak tidak sama dan tidak serta merta dipersamakan dengan konstruksi hukum Pilpres, maka secara mutatis mutandis berdasarkan postulat tersebut tidak ada alasan untuk menerapkan berbagai preseden dalam perselisihan hasil Pilkada sebagai rujukan dalam perselisihan hasil Pilpres.
KESEMBILAN, dalam Fundamentum Petendi, Kuasa Hukum Pemohon menyetir pendapat Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra saat memberikan Keterangan Ahli yang diajukan Prabowo SubiantoHatta Rajasa selaku Pemohon dalam Perkara Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden tahun 2014. Keterangan tersebut tidaklah dapat dijadikan rujukan sebab saat itu Mahkamah Konstitusi Menolak Gugatan Untuk Seluruhnya. Dalam konteks hukum pembuktian, Keterangan Ahli dalam perkara a quo sama sekali tidak memiliki preponderance of the evidence sebagai clear and convincing evidence yang memiliki bobot bukti untuk meyakinkan hakim. Dengan demikian tidaklah relevan dijadikan sebagai Fundamentum Petendi pada saat ini.
KESEPULUH, terkait perselisihan hasil suara yang didalilkan dalam perbaikan permohonan Kuasa Hukum Pemohon yang hanya dijadikan lampiran oleh Mahkamah Konstitusi. Berdasarkan Pasal 8 ayat (1) huruf b Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 4 Tahun 2018 tentang Tata Cara Beracara dalam Perkara Perselisihan Hasil Pemiliihan Umum Presiden dan Wakil Presiden juncto Pasal 9 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 6 Tahun 2018 tentang Pedoman Penyusunan Permohonan Pemohon, Jawaban Termohon, Keterangan Pihak Terkait dan Keterangan Bawaslu dalam Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah serta Presiden dan Wakil Presiden antara lain menyatakan bahwa pokok perhomonan harus memuat kesalahan penghitunagn suara yang dilakukan oleh Termohon, hasil penghitungan yang benar oleh Pemohon dan Petitum yang memuat permintaan untuk membatalkan penghitungan suara oleh Termohon dan menetapkan hasil penghitungan suara yang benar menurut Pemohon.
In casu a quo, perihal tersebut di atas, tidak diuraikan oleh Kuasa Hukum Pemohon secara lugas, namun justru mendalilkan hal lain yang menyebabkan Pemohon kalah tanpa menyebutkan kesalahan hasil perhitungan suara yang ditetapkan oleh Termohon dan menetapkan hasil perhitungan suara yang benar menurut Pemohon. Seharusnya Kuasa Hukum Pemohon menyampaikan dalil adanya selisih penghitungan suara kemudian dibuktikan apakah penyebab terjadi selisih penghitungan suara. Apakah hanya kealpaan, kesengajaan atau penyebab lain yang menimbulkan kausalitas adanya selisih penghitungan suara.
Hal menarik untuk diperhatikan, ditelaah dan tentunya dibuktikan oleh Kuasa Hukum Pemohon adalah dalil adanya kesalahan penghitungan suara hanya pada Pasangan Calon 01 yang menurut Termohon mendapatkan suara 85.607.169 suara. Menurut dalil Kuasa Hukum Pemohon suara yang diperoleh Pasangan Calon 01 adalah 63.573.169 suara, sedangkan Pasangan Calon 02 seluruhnya valid sesuai penghitungan Termohon yaitu sebesar 68.650.239 suara. Dengan demikian berarti Kuasa Hukum Pemohon tidak mengingkari penetapan perolehan suara untuk Pasangan Calon 02 oleh Termohon. Oleh karena itu titik tumpu beban pembuktian yang harus dilakukan Kuasa Hukum Pemohon adalah bahwa seleisih suara 22.034.193 suara milik Pasangan Calon 01 adalah illegal. Celakanya, suara illegal yang didalilkan oleh Kuasa Hukum Pemohon sama sekali tidak dibuktikan secara layak dan patut dalam permohonan yang diajukan.
Menurut Kuasa Hukum Pemohon, suara illegal berasal dari penggelembungan Daftar Pemilih Tetap yang dalam diksi Kuasa Hukum Pemohon disebut “DPT Siluman”. Mejadi pertanyaan mendasar, proses penetapan DPT yang telah diperiksa dan disahkan secara berjenjang dari tingkat kabupaten/kota sampai tingkat nasional yang nota bene prosesnya juga diikuti oleh Pemohon selaku peserta Pemilu, bahkan seluruh peserta pemilu diperbolehkan melihat Nomor Induk Kependudukan secara utuh untuk melakukan cek data pemilih sehingga akhirnya Termohon menetapkan DPT sebanyak 192.838.520 pemilih pada rapat pleno 15 Desember 2018. Dengan demikian. Dalil DPT siluman sudah tidak lagi relevan kembali diungkapkan dalam permohonan oleh Kuasa Hukum Pemohon.

Mahkamah Konstitusi Yang Mulia
KESEBELAS, terkait dalil Kuasa Hukum Pemohon bahwa kecurangan yang dilakukan secara terstruktur, sistematis dan masif. Dengan merujuk kepada Penjelasan Pasal 286 ayat (3) Undang-Undang Pemilu Nomor 7 Tahun 2017. Perihal “terstruktur” menunjukan pelanggaran yang dilakukan secara kolektif atau secara bersama-sama. Dalam konteks ini, harus dibuktikan dua hal yaitu adanya meeting of mine diantara para pelaku pelanggaran sebagai syarat subjektif dan adanya kerjasama yang nyata untuk mewujudkan meeting of mine diantara para pelaku pelanggaran sebagai sayrat objektif secara kolektif atau bersama-sama. Hal ini sama sekali tidak terlihat dalam Fundamentum Petendi.
KEDUABELAS, masih terkait dengan kecurangan yang dilakukan secara terstruktur, sistematis dan masif. Perihal “sistematis” pelanggaran yang dilakukan mensyaratkan pelanggaran yang direncanakan secara matang, tersusun bahkan sangat rapi. Dalam konteks teori, hal ini dikenal dengan dolus premeditatus yang mensyaratkan beberapa hal dan tentunya harus dibuktikan. Apa substansi perencanaan, siapa yang melakukan perencanaan, kapan dan di mana ? Dalam hubungannya dengan “terstruktur” di atas, dolus premeditatus terkait substansi perencanaan, siapa yang melakukan, kapan dan di mana harus menunjukan secara pasti untuk terjadinya meeting of mine dan kerjasama yang nyata untuk menunjukan adanya meeting of mine tersebut. Berbagai dalil yang diutarakan dalam Fundamentum Petendi hanya dihubung-hubungkan antara satu dengan yang lain atas dasar vermoedens atau persangkaan-persangkaan. Sayangnya vermoedens bukanlah alat bukti dalam hukum acara di Mahkamah Konstitusi.
KETIGABELAS, masih tetap dalam konteks terstruktur, sistematis dan masif. Perihal masif, mensyaratkan dampak pelanggaran yang sangat luas pengaruhnya terhadap hasil pemilihan bukan hanya sebagian. Artinya, harus ada hubungan kausalitas antara pelanggaran tersebut dan dampkanya. Konsekuensi lebih lanjut hubungan kausalitas itu harus dibuktikan. Merujuk pada Fundamentum Petendi, Kuasa Hukumn Pemohon menunjukan beberapa peristiwa, kemudian megeneralisir bahwa kecurangan terjadi secara terstruktur, sistematis dan masif. Padahal, untuk mengetahui apakah berbagai pelanggaran tersebut –  kalau memang dapat dibuktikan secara sah dan meyakinkan – mempunyai hubungan kausalitas dengan hasil Pilpres haruslah menggunakan teori individualisir. Teori ini melihat sebab in concreto atau post factum. Mengapa harus menggunakan teori individualisir ? sebab pelanggaran yang terstruktur dan sistematis haruslah menimbulkan dampak yang masif, bukan untuk sebagian tetapi sangat luas. Dalam Fundamentum Petendi, hal ini sama sekali tidak dijelaskan oleh Kuasa Hukum Pemohon. Belum lagi dasar teoretik dalam hubungan kausalitas, apakah hendak menggunakan teori Birkmayer, Teori Binding ataukah Teori Kohler. Tegasnya, alih-alih menggunakan teori, Kuasa Hukum Pemohon sama sekali tidak menyinggung hubungan kausalitas antara terstruktur, sistematis yang berdampak masif dan hubungannya dengan selisih perhitungan suara.



Mahkamah Konstitusi Yang Mulia
            KEEMPATBELAS , terkait beban pembuktian yang didalilkan Kuasa Hukum Pemohon. Pada perbaikan permohonan oleh Kuasa Hukum Pemohon halaman 93 – 94  angka 261, Kuasa Hukum Pemohon meminta agar beban pembuktian tidak dibebankan hanya kepada Pemohon. Entah apa dasar teori yang digunakan atau logika jungkir balik apa yang dipakai, tetapi setiap mahasiswa hukum yang mengambil mata kuliah Pengantar Ilmu Hukum telah diajarkan salah satu asas yang berbunyi actori in cumbit probatio. Artinya, siapa yang menggugat dialah yang wajib membuktikan. Sejumlah asas lain yang berkaiatan adalah ei incumbit probatio qui dicit, non qui negat : beban pembuktian ada pada orang yang menggugat, bukan yang tergugat,   probandi necessitas incumbit illi qui agit (beban pembuktian dilimpahkan kepada penggugat) dan semper necessitas probandi incumbit ei qui agit (beban pembuktian selalu dilimpahkan pada penggugat) . Ada beberapa postulat lain yang juga berkaitan adalah : Affirmanti, non neganti, incumbit probatio. Artinya, pembuktian bersifat wajib bagi yang mengiakan bukan yang menyangkal. Affirmantis est probare yang berarti orang yang mengiakan harus membuktikan. Reo negate actori incumbit probatio. Artinya, jika tergugat tidak mengakui gugatan, maka penggugat harus membuktikan. In genere quicunque aliquid dicit, sive actor sive reus, necesse est ut probat yang berarti siapapun yang membuat tuduhan, baik itu penggugat ataupun tergugat, harus membuktikannya. Permintaan Kuasa Hukum Pemohon untuk tidak membebankan pembuktian hanya kepada Pemohon, secara mutatis mutandis mengingikan beban pembuktian juga diberikan kepada Termohon dan/atau Pihak Terkait untuk membuktikan bahwa Termohon dan/atau Pihak Terkait tidak melakukan perbuatan yang dituduhkan. Hal ini jelas bertentangan dengan asas negativa non sunt probanda. Artinya, membuktikan sesuatu yang negatif adalah tidak mungkin karena bertentangan dengan asas dalam hukum pembuktian. Dengan demikian, dalil Kuasa Hukum Pemohon terkait beban pembuktian haruslah dikesampingkan karena merusak asas-asas dalam teori hukum dan sendi-sendi dasar dalam hukum pembuktian.
KELIMABELAS, perihal penggunaan alat bukti petunjuk sebagaimana diutarakan dalam Fundamentum Petendi terkait ketidaknetralan aparat intelijen. Perlu diketahui bahwa dalam sistem hukum pembuktian di Indonesia, istilah alat bukti petunjuk pertama kali dikenal dalam KUHAP. Alat bukti petunjuk dalam KUHAP sebenarnya merujuk pada Pasal 339 Wetboek van Strafvordering di Negeri Belanda sebagai terjemahan eigen waarneming van de rechter atau terjemahan yang sebenarnya adalah pengamatan hakim. Artinya, alat bukti tersebut mutlak kepunyaan hakim, bukan terdakwa, bukan pula polisi atau jaksa, bahkan pengacara. Oleh karena itu merujuk pada KUHAP, petunjuk adalah accessories evidence. Artinya, petunjuk bukanlah alat bukti mandiri, namun merupakan alat bukti sekunder yang diperoleh dari alat bukti primer, yakni keterangan saksi, surat atau keterangan terdakwa.
Secara mutatis mutandis, alat bukti petunjuk ini diadopsi dalam Pasal 36 juncto Pasal 37 berikut Penjelasan Pasal 36 dan Pasal 37 Undang-Undang Mahkamah Konstitusi. Inti kedua pasal tersebut berikut penjelasannya menyatakan bahwa petunjuk hanya dapat diperoleh dari keterangan saksi, surat atau barang bukti berdasarkan penilaian Mahkamah Konstitusi dengan memperhatikan persesuain antara alat bukti yang satu dengan alat bukti yang lain.  Artinya, alat bukti petunjuk ini adalah mutlak kepunyaan hakim, bukan kepunyaan pemohon, bukan pula kepunyaan termohon ataupun pihak terkait. Dengan demikian alat bukti petunjuk yang dijadikan dalil oleh Kuasa Hukum Pemohon, tidaklah relevan.
In casu a quo, jika ketrerangan Presiden RI ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono akan dijadikan sebagai bukti petunjuk oleh Majelis Mahkamah Konstitusi, maka bukan berita tentang ketidaknetralan oknum BIN, Polri dan TNI yang disampaikan oleh Presiden RI ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono, namun dalam rangka mencari kebenaran materiil, Kuasa Hukum Pemohon harus bisa menghadirkan Presiden RI ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono di Mahkamah Konstitusi ini sebagai saksi. Siapa oknum BIN, Polri dan TNI yang dimaksud dan apa bentuk ketidaknetralannya serata apa kaitannya dengan perselisihan hasil Pilpres ? Dari Keterangan Presiden RI ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono sebagai saksi dalam sidang ini barulah diperoleh petunjuk.
KEENAMBELAS, terkait kebenaran yang digali dalam persidangan Mahkamah Konstitusi. Bila mencermati Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, dalam sejumlah pasal, jelas terlihat bahwa yang digali dalam sidang Mahkamah Konstitusi tidak hanya kebenaran meteriil tetapi juga kebenaran formil. Dapatlah dikatakan bahwa persidangan Mahkamah Konstiusi adalah mencari kebenaran materiil dalam bingkai kebenaran formil. Ada beberapa ketentuan pasal yang mengakomodasi kedua kebenaran tersebut. Di satu sisi, Mahkamah Konstitusi memutus perkara berdasarkan dua alat bukti ditambah dengan keyakinan. Hal ini menunjukan negatieve wettelijk bewijs teorie sebagai dasar pencarian kebenaran materiil. Namun di sisi lain, perolehan alat bukti secara melawan hukum atau unlawful legal evidence, tidak dapat dijadikan alat bukti. Hal ini mengedepankan keadilan prosedural yang lebih merujuk pada kebenaran formil. 
In casu a quo, ada benarnya apa yang dikemukakan oleh Kuasa Hukum Pemohon, bahwa MK bukanlah Mahkamah Kalkulator hanya terkait perselisihan hasil perhitungan suara, namun hendaknya juga MK jangan dijadikan Mahkamah Kliping atau Mahkamah Koran yang pembuktiannya hanya didasarkan pada kliping koran atau potongan berita. Dalam kaitannya untuk memadukan penggalian kebenaran materiil dan kebenaran formil ada beberapa hal : Pertama, kecurangan secara terstruktur, sistematis dan masif harus digali kebenarannya oleh Majelis. Kedua, kecurangan secara terstruktur, sistematis dan masif tetap dalam bingkai perselisihan hasil suara. Ketiga, seberapa signifikan kecurangan secara terstruktur, sistematis dan masif terhadap selisih jumlah suara. Sayangnya, hal-hal ini sama sekali tidak diungkapkan dalam Fundamentum Petendi Kuasa Hukum Pemohon.
KETUJUHBELAS, berdasarkan berbagai dalil dalam Fundamentum Petendi, Kuasa Hukum Pemohon kemudian mengajukan 7 Petitum dan bertambah menjadi 15 Petitum dalam perbaikan permohonan. Celakanya, di satu sisi antara Fundamentum Petendi dan Petitum terjadi lompatan logika, sedangkan di sisi lain antara satu Petitum dengan Petitum lainnya terjadi contradictio interminis. Pertama,  Kuasa Hukum Pemohon meminta  Mahkamah Konstitusi membatalkan Penetapan Hasil Pilpres oleh Termohon padahal tidak cukup dalil yang dikemukakan oleh Kuasa Hukum Pemohon di mana letak kesalahan Termohon dalam menetapkan hasil Pilpres. Kedua, Kuasa Hukum Pemohon meminta Mahkamah Konstitusi mendiskualifikasikan Pasangan Calon 01. Dari mana Mahkamah Konstitusi memiliki kewenangan untuk mendiskualifikasikan pasangan calon presiden dan wakil presiden ? Ketiga  , Kuasa Hukum Pemohon meminta Mahkamah Konstitusi menetapkan Prabowo Subianto – Sandiaga Salahuddin Uno sebagai Presiden dan Wakil Presiden, sedangkan di sisi lain meminta kepada Mahkamah Konstitusi agar memerintahkan Termohon melaksanakan Pemilu Ulang. Logika hukum yang benar atas dasar akal sehat, ketika, Pemilu dinyatakan tidak sah dan harus diulang, maka seyogyanya status quo, bukan menetapkan pasangan calon lain sebagai pemenang kemudian di saat yang sama dilakukan pemilu ulang.

Mahkamah Konstitusi Yang Mulia
Berdasarkan berbagai uraian di atas, jelas dan terang benderang terlihat :
  1. Fundamentum Petendi yang dikonstruksikan berada di luar perselisihan hasil Pemilu.
  2. Fundamentum Petendi didasarkan pada vermodens dengan mengeneralisir berbagai fenomena yang hanya didasarkan pada media masa dan media sosial.
  3. Fundamentum Petendi didasarkan pada hal-hal yang merusak asas-asas dalam teori hukum dan sendi-sendi dasar dalam hukum pembuktian serta argumentasi hukum yang dangkal.
  4. Antara Fundamentum Petendi dan Petitum terjadi lompatan logika dan ada yang contradictio interminis.
  5. Mahkamah Konstitusi diminta memutus sesuatu yang berada di luar kewenangannnya.
Jika hal ini dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi, baik sebagian maupun seluruhnya maka Mahkamah Konstitusi tidak lagi sebagai “The Guardian Of Constitution” melainkan sebagai “The Destroyer Of Constitution”. 





Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resume Buku Prof. Peter Mahmud Marzuki "PENELITIAN HUKUM"

ALIRAN SEJARAH HUKUM (Legal Historism)

Pinjam Pakai dan Pinjam Meminjam