Penyelesaian Sengketa Hasil Pemilihan Umum Presiden Tahun 2019
Sheren Farah
11160480000028
Ilmu Hukum 6C
Tim Kuasa Hukum Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo Subianto-Sandiaga Uno akhirnya resmi mengajukan gugatan hasil Pilpres 2019 ke Mahkamah Konstitusi. Gugatan itu diajukan oleh Ketua Tim Kuasa Hukum BPN Prabowo-Sandi, Bambang Widjojanto dan Direktur Komunikasi dan Media BPN Hashim Djojohadikusumo di Mahkamah Konstitusi pada Jumat malam tanggal 24 Mei 2019.
11160480000028
Ilmu Hukum 6C
Tim Kuasa Hukum Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo Subianto-Sandiaga Uno akhirnya resmi mengajukan gugatan hasil Pilpres 2019 ke Mahkamah Konstitusi. Gugatan itu diajukan oleh Ketua Tim Kuasa Hukum BPN Prabowo-Sandi, Bambang Widjojanto dan Direktur Komunikasi dan Media BPN Hashim Djojohadikusumo di Mahkamah Konstitusi pada Jumat malam tanggal 24 Mei 2019.
Kubu
pasangan calon nomor urut 02 secara tegas menolak hasil perhitungan suara
Pilpres 2019 yang dilakukan dan diumumkan oleh Komisi Pemilihan Umum pada 22
Mei. Berdasarkan hasil rekapitulasi perhitungan suara KPU, pasangan calon nomor
urut 01 Joko Widodo-Ma’ruf Amin mengumpulkan 85.607.362 suara atau setara
dengan 55,5% dari total suara sah. Sementara itu, Prabowo-Sandi meraih
68.650.362 suara atau setara dengan 44,5% dari total suara sah.
BPN
Prabowo-Sandi menunding telah terjadi kecurangan yang dilakukan secara
terstruktur, sistematik, masif, dan brutal pada Pilpres 2019. Tuduhan tersebut
telah disampaikan berulang kali oleh petinggi BPN, termasuk Prabowo Subianto
dan Sandiaga Uno.
Berdasarkan
dokumen yang diterima, Tim Kuasa Hukum BPN memohon kepada MK untuk memberikan
putusan sesuai dengan tuduhan dan alasan-alasan hukum. Berikut tujuh permohonan
atau tuntutan Prabowo-Sandi kepada hakim Mahkamah Konstitusi :
1. Mengabulkan
permohonan pemohon seluruhnya.
2. Menyatakan
batal dan tidak sah keputusan KPURI No. 987/PL.01.08-KPT/06/KPU/V/2019 tentang
Penetapan Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah,
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Kabupaten/Kota Secara Nasional dalam Pemilu 2019 dan Berita Acara KPU RI No.
135/PL.01.0-BA/06/KPU/V/2019 tentang Rekapitulasi Hasil Perhitungan Perolehan
Suara Tingkat Nasional dan Penetapan Hasil Pemilu 2019.
3. Menyatakan
Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden Nomor Urut 01 H. Joko Widodo dan
K.H. Ma’ruf Amin, terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan pelanggaran dan
kecurangan Pemilu Presiden/Wapres 2019 secara Terstruktur, Sistematis, dan
Masif.
4. Membatalkan
(mendiskualifikasi) Pasangan Calon Nomor Urut 01 Joko Widodo-K.H. Ma’ruf Amin
sebagai peserta Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.
5. Menetapkan
Pasangan Calon Nomor Urut 02 Prabowo Subianto-Sandiaga Uno sebaga
Presiden-Wakil Presiden terpilih periode 2019-2024.
6. Memerintahkan
kepada Termohon untuk seketika mengeluarkan surat keputusan tentang penetapan
Prabowo Subianto-Sandiaga Uno sebagai Presiden dan Wapres terpilih 2019-2024.
7. Memerintahkan
Termohon untuk melaksanakan pemungutan suara ulang secara jujur dan adil di
seluruhh wilayah Indonesia, sebagaimana diamanatkan dalam pasal 22E ayat (1)
UUD 1945.
Salah
satu yang dibahas adalah soal perbaikan gugatan dari tim hukum Prabowo Subianto-Sandiaga
Uno pada tanggal 25 Mei. Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Fakultas
Hukum Universitas Andalas, Padang, Feri Amsari, menilai semestinya MK tidak
menerima itu, dengan berdasarkan pada Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) Nomor
5 tahun 2018, khususnya di pasal 3 ayat 2.
Di
sana tertulis perbaikan permohonan hanya bisa dilakukan untuk DPR, DPD, dan
DPRD, bukan untuk PHPU Pilpres. “Artinya berdasarkan pasal pengecualian itu,
dan lampiran itu, harusnya MK tegas tidak ada perbaikan permohonan. Ini soal
ketegasan,” kata Feri.
Dalam
sidang pertama, 14 Juni, revisi ini dipermasalahkan lagi oleh pihak terkait
(tim hukum Joko Widodo-Ma'ruf Amin) dan termohon (Komisi Pemilihan Umum)
setelah tim hukum Prabowo-Sandiaga membacakannya ulang.
Berdasarkan
gugatan yang telah saya paparkan diatas, berikut tanggapan-tanggapan pihak TKN
terhadap gugatan BPN yang telah diajukan ke Mahkamah Konstitusi.
Tim
Kampanye Nasional (TKN) Joko Widodo-Ma'ruf Amin meminta Mahkamah Konstitusi
menolak penambahan dalil dan materi permohonan sengketa Penghitungan Hasil
Pemilihan Umum (PHPU) yang diajukan pasangan calon Prabowo Subianto-Sandiaga
Uno.
Wakil
Ketua TKN Arsul Sani menuturkan Peraturan MK Nomor 1 Tahun 2019 tentang
Perubahan Atas Peraturan MK Nomor 5/2018 Tentang Tahapan, Kegiatan, dan Jadwal
Penanganan Perkara Perselisihan Hasil Pemilu tidak memberi kesempatan bagi
pemohon dalam hal ini Prabowo-Sandi memperbaiki permohonan.
"TKN
ingin menyampaikan sikap agar MK menolak seluruh perbaikan yang diajukan oleh paslon
02 selaku pemohon melalui kuasa hukumnya," ujar Arsul di Posko Cemara,
Jakarta, Senin (10/6).
Tim
hukum Prabowo-Sandiaga hari ini mendatangi MK untuk menyerahkan revisi
permohonan sengketa PHPU.
Tim
Kampanye Nasional Joko Widodo-Ma'ruf Amin menilai tuntutan pendiskualifikasi
dan Pemilu ulang yang diajukan Badan Pemenangan Nasional Prabowo-Sandiaga ke
Mahkamah Konstitusi (MK) berlebihan. Menurut Juru Bicara TKN Joko Widodo-Ma'ruf
Amin, Ace Hasan Syadzily, tuntutan yang diajukan BPN ke MK akan sulit terpenuhi
lantaran tidak disertai data data yang valid
Ace
Hasan Syadzily mengatakan “ Bagi kami tuntutan itu sangat berlebihan dengan
meminta supaya mendiskualifikasi atau mengadakan pemilu ulang. Apalagi tuntutan
itu tidak disertai dengan data-data yang meyakinkan dengan mengandalkan artikel
berita ". Menurut Ace, dengan selisih kemenangan sangat besar yakni
16.957.123 suara, tidak mudah bagi BPN untuk membuktikan tuduhan kecurangan
terstruktur, sistematis dan massif ke TKN.
Kemudian
saya akan membahas juga terkait tanggapan pihak KPU terhadap gugatan yang
diajukan oleh pihak BPN Prabowo Subianto-Sandiaga Uno :
Tim
hukum KPU menegaskan mereka menolak dalil permohonan yang dibacakan kubu
Prabowo-Sandiaga selaku pemohon, Selasa (18/6/2019). Dalam pandangan KPU, dalil
yang dibacakan pemohon merupakan dalil perbaikan permohonan bukan permohonan
awal yang didaftarkan.
Ali
mengatakan, perbaikan permohonan yang dibacakan dalam sidang pada 14 Juni 2019
memiliki perbedaan yang sangat mendasar baik dalam posita maupun petitumnya
sehingga dapat diklasifikasikan sebagai permohonan yang baru. Mereka pun
beranggapan, perbedaan tersebut menandakan dua poin penting. Pertama, KPU
menilai permohonan yang dibacakan harus dikesampingkan karena tidak memenuhi
syarat permohonan pasal 475 ayat 1 dan ayat 2 UU 7 tahun 2017 tentang Pemilu,
UU MK dan PMK nomor 4 tahun 2019 tentang tata cara pelaksanaan pemilu. Kedua,
permohonan yang dibaca dalam persidangan 14 Juni lalu sebagai bukti kalau kubu
Prabowo-Sandiaga menerima hasil pemilu. Sebab, dalam dokumen permohonan gugatan
pertama atau yang disampaikan pada 24 Mei 2019 tidak memuat tuduhan kecurangan
yang masif beserta bukti penguat dalil tersebut.
Keberadaan
lembaga peradilan dalam negara modern seperti Indonesia merupakan suatu keniscayaan.
Penegakan hukum dan keadilan merupakan salah satu fungsi kedaulatan suatu
negara. Dalam bukunya Territory The Claiming of Space, David Storey menegaskan
tentang peran dan fungsi negara, yaitu: (1) Mengatur perekonomian negara. (2)
Menyediakan kebutuhan dan kepentingan publik terutama kesehatan dan
transportasi. (3) Menyediakan perangkat hukum dan menegakkan keadilan bagi
rakyatnya. (4) Membela dan menjaga territorial wilayahnya negara dan keamanan
rakyatnya dari ancaman pihak luar. Salah satu tiang penyangga tegaknya
kedaulatan negara adalah adanya pengadilan berdaulat. Enlitas pengadilan
sejatinya merupakan lembaga yang bertugas mencerahkan dan memberi arah
perjalanan peradaban bangsa.
Menurut
Satjipto Raherdjo, sekarang mestinya hukum diproyeksikan terhadap gagasan dan
pemahaman yang baru, yaitu menukik sampai pada kedalaman makna hukum. Pertama,
para penegak hukum, dimana pun posisi mereka, mengidentifikasi diri mereka
sebagai kaum vigilantes, orang-orang yang berjihad dalam hukum. Mereka tidak
hanya membaca undang-undang tetapi diresapi dengan semangat untuk meluapkan
keluar makna undangundang yang ingin menyejahterakan rakyat. Dengan demikian
diperlukan predisposisi progresif dari para penegak hukum. Kedua. kesadaran dan
keyakinan bahwa hukum menginginkan yang baik terjadi pada rakyat dan
masyarakat. Hukum bukan semata-mata sederetan kata-kata dan kalimat, tetapi
merupakan pesan (message) yang membutuhkan realisasi. Selanjutnya, Satjipto
Rahardjo mengemukakan bahwa para penegak hukum yang berjihad untuk memunculkan
kekuatan hukum akan senantiasa memeras dan mendorong kata-kata dari teks hukum
sampai ke titik paling jauh (ultimate) sehingga kekuatan hukum keluar dari
persembunyiannya. Pengadilan tidak lagi semata-mata menjadi tempat untuk
menerapkan undang-undang, melainkan menjadi tempat untuk menguji undang-undang.
Hakim bukan lagi /es bouches, qui prononcent Jes paroles de la Joi (mulut yang
mengucapkan kata-kata undang-undang), melainkan seorang vigilante atau
mujtahid.
Pada
dasarnya apa yang dilakukan oleh hakim di persidangan adalah mengkonstatasi
peristiwa konkrit, yang sekaligus berarti merumuskan perisliwa konkrit,
mengkualifikasi peristiwa konkrit yang berarti menetapkan peristiwa hukumnya
dari peristiwa konkrit, dan mengkonstitusi atau memberi hukum atau hukumannya.
Semua itu pada dasarnya sama dengan kegiatan seorang sarjana hukum yang
dihadapkan pada suatu konflik atau kasus dan harus memecahkannya, yaitu
meliputi: 1. legal problem identification; 2. legal problem solving; 3. decision
making. Dalam menjalankan tugasnya di persidangan tersebut Hakim harus
senantiasa mengikuti perkembangan nilai-nilai yang ada di dalam masyarakat,
supaya dapat memberikan putusan yang sesuai dengan rasa keadilan masyarakat.
Dalam hal ini Hakim harus mengadili menurut hukum.
Selanjutnya
saya akan menganalisa kasus tersebut dengan argumentasi dan penalaran hukum
sesuai dengan pemikiran dan logika hukum saya sendiri, dengan memposisikan diri
saya jika menjabatani sebagai hakim di Mahkamah Konstitusi.
Hakim
di Mahkamah Konstitusi bukan lagi bicara soal kodifikasi hukum, bukan lagi
hanya berpatokan pada undang-undang saja. Namun hakim Mahkamah Konstitusi sudah
memandang suatu kasus dari sudut filosofis, bukan hanya yuridis. Dan setelah
saya memahami para argumentasi hakim pada kasus Sengketa Pilpres 2019 ini, para
anggota hakim di Mahkamah Konstitusi selalu berargumen sesuai dengan ketetapan
yuridis atau berpatokan hanya kepada sebuah undang-undang tertulis.
Hal
tersebut bukanlah hal yang salah menurut saya, hal tersebut adalah suatu hal
yang benar dilakukan hakim dalam mengutus dan mengadili suatu perkara, yaitu
sesuai dengan apa yang sudah ditetapkan. Menurut saya, jika saya berada
diposisi hakim Mahkamah Konstitusi pada saat ini, saya akan menggunakan beberapa
metode penalaran hukum yang diantaranya adalah menggunakan metode penalaran
hukum positivisme hukum, rechtsvinding.
Aliran
Positivisme (Hukum Positif) menyamakan hukum dengan undang-undang, tidak ada
hukum di luar undang-undang, sehingga harus diakui bahwa satu-satunya sumber
hukum adalah undang-undang (legisme). Undang-undang dibuat oleh penguasa, oleh
karena itu hukum merupakan perintah dari penguasa dalam arti bahwa perintah
dari pemegang kekuasaan yang paling tinggi atau pemegang kedaulatan.
Aliran Rechtsvinding merupakan
aliran yang dapat dikatakan sebagai penengah antara legisme dan freie
rechtslehre. Sebagai aliran penengah, aliran Rechtsvinding tetap
berpegang pada undang-undang, tapi tidak seketat aliran legisme, karena hakim
juga mempunyai kebebasan. Tapi kebebasan ini tidak seperti kebebasan yang
dianut dalam aliran freie rechtslehre.
Menurut
Scholten Penemuan hukum (rechtsvinding} berbeda dengan penerapan hukum
(rechtstoepassing), karena di sini ditemukan sesuatu yang baru. Penemuan hukum dapat
dilakukan baik melalui penafsiran, atau analogi, maupun penghalusan hukum
(rechtsvervijning}. Penegakan hukum tidak hanya dilakukan dengan logika
penerapan hukum yang mengandalkan penggunaan logika (een hanteren van logische
figuren}, melainkan melibatkan penilaian, memasuki ranah pemberian makna.
Melalui silogisme dan kesimpulan logis, tidak akan ditemukan sesuatu yang baru,
seperti yang dikehendaki oleh penemuan hukum. Jika hakim memutus suatu kasus
berdasarkan hak dan kewajiban yang sudah ada (preexisting right and obligation}
maka hakim tidak lebih dan lidak kurang hanya sebagai robot. Karena hakim bukan
robot. tetapi manusia maka hakim dapat membuat peraturan baru. Jadi bukan hanya
badan legislatif dan eksekutif yang membuat hukum, tetapi juga badan yudikatif.
Menurut
Sudikno Mertokusumo, penemuan hukum adalah proses pembentukan hukum oleh hakim
atau petugas-petugas hukum lainnya yang diberi tugas melaksanakan hukum
terhadap peristiwa-peristiwa konkrit. Lebih konkrit lagi dapat dikatakan bahwa
penemuan hukum adalah konkretisasi, kristalisasi atau individualisasi peraturan
hukum atau das sol/en, yang bersifat umum dengan mengingat peristiwa konkrit
atau das sein. Peristiwa konkrit itu harus dihubungkan dengan peraturan
hukumnya agar dapat tercakup oleh peraturan hukum itu. Sebaliknya peraturan
hukumnya harus disesuaikan dengan peristiwa konkritnya agar dapat diterapkan.
Mahkamah Konstitusi Yang Mulia
Seteleh membaca dengan seksama
gugatan yang diajukan oleh Kuasa Hukum Pemohon Pasangan Calon 02 Presiden-Wakil
Presiden, Parbowo Subianto – Sandiaga Salahuddin Uno, adapun
tanggapan AHLI sebagai berikut : PERTAMA, Pasal 24C
Undang-Undang Dasar 1945 secara expressive
verbis menyatakan bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada
tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji
undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga
negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus
pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan hasil pemilihan umum.
KEDUA, dalam membaca suatu teks undang-undang berlaku
postulat primo executienda est verbis vis, ne sermonis vitio obstruatur oratio,
sive lex sine argumentis yang
berarti perkataan adalah hal pertama yang diperiksa untuk mencegah
adanya kesalahan pengertian atau kekeliruan dalam menemukan hukum. In casu a quo dalam kaitannya dengan
kewenangan Mahkamah Konstitusi merujuk pada Pasal a quo,
yang menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah memutus perselisihan tentang
hasil pemilihan umum.
KETIGA, interpretasi gramatikal sistematis terhadap Pasal
24C Undang-Undang Dasar 1945, juncto
Pasal 74 dan Pasal 75 Undang-Undang Mahkamah Konstitusi sebagai derivat dari
kewenangan Mahkamah Konstitusi yang terdapat dalam Undang-Undang Dasar 1945
secara jelas dan terang menyatakan bahwa kewenangan Mahkamah Konstitusi hanya
terhadap kesalahan hasil perhitungan suara yang diumumkan oleh Komisi Pemilihan
Umum dan hasil perhitungan yang benar menurut Pemohon. Dengan demikian secara
muatis mutandis, Fundamentum Petendi
yang dikonstruksikan oleh Kuasa Hukum Pemohon seharusnya berkaitan dengan hasil
perhitungan suara.
KEEMPAT, masih dengan menggunakan interpretasi gramatikal
sistematis, kata “perselisihan” yang dimaksudkan dalam pasal a quo adalah tentang selisih suara dan
bukan tentang sengketa pemilu. Kuasa Hukum Pemohon tidak hendak menyoal tentang
hasil perhitungan suara yang merupakan kewenangan Mahkamah Konstitusi, tetapi
justru mempersoalkan hal lain di luar kewenangan Mahkamah Konstitusi. Dengan
menggunakn dalil yang diajukan oleh Kuasa Hukum Pemohon bahwa “MK bukan
Mahkamah Kalkulator”, “MK tidak boleh dipasung dalam ketentuan undang-undang”
dan MK merupakan the guardian of
constitution”, menunjukan bahwa Kuasa Hukum Pemohon secara implisit
mengakui tidak ada kesalahan dalam perhitungan atau rekapitulasi Pemilihan
Presiden yang dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum.
Mahkamah Konstitusi Yang Mulia
KELIMA, Kuasa Hukum Pemohon dalam Fundamentum Petendi hanya menunjukan pelanggaran-pelanggaran Pemilu
seperti Penyalahgunaan APBN dan atau program kerja pemerintah; Ketidaknetralan
Aparatur Negara seperti Polisi dan Intelijen; Penyalahgunaan Birokrasi dan
BUMN; Pembatasan Kebebasan Media dan Pers; serta Diskriminasi dalam Penegakkan
Hukum, pada hakikatnya adalah pelanggaran Pemilu yang berdasarkan Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 2017 seharusnya dilaporkan kepada Badan Pengawas Pemilu.
Selanjutnya, Badan Pengawas Pemilu lah yang mengkualifisir apakah berbagai
pelanggaran tersebut merupakan pelanggaran administrasi, sengketa administrasi
ataukah pidana Pemilu. Berdasarkan hasil kualifisir tersebut, Badan Pengawas
Pemilu akan mendistribusikan kasus sengketa Pemilu ke Dewan Kehormatan
Penyelenggara Pemilu, Komisi Pemilihan Umum, Peradilan Umum ataukah Peradilan
Tata Usaha Negara. Kuasa Hukum Pemohon secara kasat mata mencampur adukkan
antara sengketa Pemilu dengan perselisihan hasil Pemilu. Dengan catatan, itu
pun kalau sengketa Pemilu yang didalilkan dapat dibuktikan secara sah dan
meyakinkan. Sekali lagi, Kuasa Hukum Pemohon tidak hendak menyoal tentang hasil
perhitungan suara yang merupakan kewenangan Mahkamah Konstitusi, tetapi justru
mempersoalkan hal lain di luar kewenangan Mahkamah Konstitusi.
KEENAM, Fundamentum
Petendi yang digunakan Kuasa Hukum Pemohon berasal dari Putusan Mahakamah
Konstitusi tentang perselisihan Pilkada dan bukan hasil perselisihan Pemilu
sehingga rendah tingkat komparasinya. Dalam konteks ini, Kuasa Hukum Pemohon
kiranya perlu memahami suatu postulat dalam teori hukum yang berbunyi nit agit exemplum litem quo lite
resolvit. Artinya, menyelesaikan suatu perkara dengan mengambil
contoh perkara lain sama halnya dengan tidak menyelesaikan perkara tersebut.
Postulat ini merupakan pedoman di negara-negara yang mewarisi tradisi sistem
Eropa Kontinental – termasuk Indonesia – bahwa dalam mengadili setiap perkara,
hakim sangat bersifat otonom dan tidak terikat pada putusan hakim sebelumnya.
Masing-masing perkara mempunyai sifat dan karakter tersendiri yang sudah tentu
didasarkan pada fakta yang berbeda pula. Judicandum est legibus non
exemplis. Artinya, putusan harus dibuat berdasarkan hukum, bukan
berdasarkan contoh
KETUJUH, masih berkaitan dengan perselisihan Pilkada
sebagaimana yang disebutkan dalam Fundamentum
Petendi, Kuasa Hukum Pemohon seolah-olah menjadikan Putusan Mahkamah Konstitusi terkait
perselisihan Pilkada serta merta sebagai yurisprudensi. Yurisprudensi dapat
dijadikan sumber penemuan hukum jika dapat dijelaskan hubungan antara perkara
yang sedang ditangani dengan yurisprudensi tersebut. Hal ini didasarkan pada
postulat citationes non concedantur priusquam exprimatur super qua re fieri
debet citation. Artinya, penggunaan yurisprudensi tidak akan diterima
sebelum dijelaskan hubungan antara perkara dengan yurisprudensi tersebut.
Kedalaman makna postulat ini adalah penggunaan putusan hakim sebelumnya dapat
dijadikan yurisprudensi jika pokok perkara yang disengketakan adalah sama. In casu a quo, perselisihan Pilkada
tidak identik dengan perselisihan Pilpres.
KEDELAPAN, masih dalam konteks preseden Pilkada. Kuasa Hukum
Pemohon berulang kali menggunakan contoh Pilkada sebagai rujukan dalam
perselisihan hasil Pilpres. Majelis Hakim Yang Mulia jangan sampai terjebak
dengan dalil yang menyesatkan mengingat postulat yang berbunyi ubi eadem
ratio ibi idem lex, et de similibus idem et judicium. Artinya, jika
terdapat alasan hukum yang sama, maka berlaku hukum yang sama. Namun, bila
dipahami dengan pendekatan argumentum a
contrario, maka disimpulkan bahwa jika alasan hukumnya berbeda, tidak ada
alasan untuk menggunakan hukum yang sama. Bila Kuasa Hukum Pemohon memahami
betul bahwa kosntruksi hukum Pilkada tidak tidak sama dan tidak serta merta
dipersamakan dengan konstruksi hukum Pilpres, maka secara mutatis mutandis
berdasarkan postulat tersebut tidak ada alasan untuk menerapkan berbagai
preseden dalam perselisihan hasil Pilkada sebagai rujukan dalam perselisihan
hasil Pilpres.
KESEMBILAN, dalam Fundamentum
Petendi, Kuasa Hukum Pemohon menyetir pendapat Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra saat memberikan Keterangan Ahli yang
diajukan Prabowo Subianto – Hatta Rajasa selaku Pemohon dalam
Perkara Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden tahun 2014. Keterangan
tersebut tidaklah dapat dijadikan rujukan sebab saat itu Mahkamah Konstitusi Menolak
Gugatan Untuk Seluruhnya. Dalam konteks hukum pembuktian, Keterangan Ahli dalam
perkara a quo sama sekali tidak
memiliki preponderance of the evidence
sebagai clear and convincing evidence
yang memiliki bobot bukti untuk meyakinkan hakim. Dengan demikian tidaklah
relevan dijadikan sebagai Fundamentum
Petendi pada saat ini.
KESEPULUH, terkait perselisihan hasil suara yang didalilkan
dalam perbaikan permohonan Kuasa Hukum Pemohon yang hanya dijadikan lampiran
oleh Mahkamah Konstitusi. Berdasarkan Pasal 8 ayat (1) huruf b Peraturan
Mahkamah Konstitusi Nomor 4 Tahun 2018 tentang Tata Cara Beracara dalam Perkara
Perselisihan Hasil Pemiliihan Umum Presiden dan Wakil Presiden juncto Pasal 9 Peraturan Mahkamah
Konstitusi Nomor 6 Tahun 2018 tentang Pedoman Penyusunan Permohonan Pemohon,
Jawaban Termohon, Keterangan Pihak Terkait dan Keterangan Bawaslu dalam Perkara
Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah serta Presiden dan Wakil
Presiden antara lain menyatakan bahwa pokok perhomonan harus memuat kesalahan
penghitunagn suara yang dilakukan oleh Termohon, hasil penghitungan yang benar
oleh Pemohon dan Petitum yang memuat
permintaan untuk membatalkan penghitungan suara oleh Termohon dan menetapkan
hasil penghitungan suara yang benar menurut Pemohon.
In casu a quo,
perihal tersebut di atas, tidak diuraikan oleh Kuasa Hukum Pemohon secara
lugas, namun justru mendalilkan hal lain yang menyebabkan Pemohon kalah tanpa
menyebutkan kesalahan hasil perhitungan suara yang ditetapkan oleh Termohon dan
menetapkan hasil perhitungan suara yang benar menurut Pemohon. Seharusnya Kuasa
Hukum Pemohon menyampaikan dalil adanya selisih penghitungan suara kemudian
dibuktikan apakah penyebab terjadi selisih penghitungan suara. Apakah hanya
kealpaan, kesengajaan atau penyebab lain yang menimbulkan kausalitas adanya
selisih penghitungan suara.
Hal menarik untuk
diperhatikan, ditelaah dan tentunya dibuktikan oleh Kuasa Hukum Pemohon adalah
dalil adanya kesalahan penghitungan suara hanya pada Pasangan Calon 01 yang
menurut Termohon mendapatkan suara 85.607.169 suara. Menurut dalil Kuasa Hukum
Pemohon suara yang diperoleh Pasangan Calon 01 adalah 63.573.169 suara,
sedangkan Pasangan Calon 02 seluruhnya valid sesuai penghitungan Termohon yaitu
sebesar 68.650.239 suara. Dengan demikian berarti Kuasa Hukum Pemohon tidak
mengingkari penetapan perolehan suara untuk Pasangan Calon 02 oleh Termohon.
Oleh karena itu titik tumpu beban pembuktian yang harus dilakukan Kuasa Hukum
Pemohon adalah bahwa seleisih suara 22.034.193 suara milik Pasangan Calon 01
adalah illegal. Celakanya, suara illegal yang didalilkan oleh Kuasa Hukum
Pemohon sama sekali tidak dibuktikan secara layak dan patut dalam permohonan
yang diajukan.
Menurut Kuasa Hukum Pemohon,
suara illegal berasal dari penggelembungan Daftar Pemilih Tetap yang dalam
diksi Kuasa Hukum Pemohon disebut “DPT Siluman”. Mejadi pertanyaan mendasar,
proses penetapan DPT yang telah diperiksa dan disahkan secara berjenjang dari tingkat
kabupaten/kota sampai tingkat nasional yang nota
bene prosesnya juga diikuti oleh Pemohon selaku peserta Pemilu, bahkan
seluruh peserta pemilu diperbolehkan melihat Nomor Induk Kependudukan secara
utuh untuk melakukan cek data pemilih sehingga akhirnya Termohon menetapkan DPT
sebanyak 192.838.520 pemilih pada rapat pleno 15 Desember 2018. Dengan
demikian. Dalil DPT siluman sudah tidak lagi relevan kembali diungkapkan dalam
permohonan oleh Kuasa Hukum Pemohon.
Mahkamah Konstitusi Yang Mulia
KESEBELAS, terkait dalil Kuasa Hukum Pemohon bahwa kecurangan
yang dilakukan secara terstruktur, sistematis dan masif. Dengan merujuk kepada
Penjelasan Pasal 286 ayat (3) Undang-Undang Pemilu Nomor 7 Tahun 2017. Perihal
“terstruktur” menunjukan pelanggaran yang dilakukan secara kolektif atau secara
bersama-sama. Dalam konteks ini, harus dibuktikan dua hal yaitu adanya meeting of mine diantara para pelaku
pelanggaran sebagai syarat subjektif dan adanya kerjasama yang nyata untuk
mewujudkan meeting of mine diantara
para pelaku pelanggaran sebagai sayrat objektif secara kolektif atau
bersama-sama. Hal ini sama sekali tidak terlihat dalam Fundamentum Petendi.
KEDUABELAS, masih terkait dengan kecurangan yang dilakukan
secara terstruktur, sistematis dan masif. Perihal “sistematis” pelanggaran yang
dilakukan mensyaratkan pelanggaran yang direncanakan secara matang, tersusun
bahkan sangat rapi. Dalam konteks teori, hal ini dikenal dengan dolus premeditatus yang mensyaratkan
beberapa hal dan tentunya harus dibuktikan. Apa substansi perencanaan, siapa
yang melakukan perencanaan, kapan dan di mana ? Dalam hubungannya dengan
“terstruktur” di atas, dolus premeditatus
terkait substansi perencanaan, siapa yang melakukan, kapan dan di mana harus
menunjukan secara pasti untuk terjadinya meeting
of mine dan kerjasama yang nyata untuk menunjukan adanya meeting of mine tersebut. Berbagai dalil
yang diutarakan dalam Fundamentum Petendi
hanya dihubung-hubungkan antara satu dengan yang lain atas dasar vermoedens atau persangkaan-persangkaan.
Sayangnya vermoedens bukanlah alat
bukti dalam hukum acara di Mahkamah Konstitusi.
KETIGABELAS, masih tetap dalam konteks terstruktur, sistematis
dan masif. Perihal masif, mensyaratkan dampak pelanggaran yang sangat luas
pengaruhnya terhadap hasil pemilihan bukan hanya sebagian. Artinya, harus ada
hubungan kausalitas antara pelanggaran tersebut dan dampkanya. Konsekuensi
lebih lanjut hubungan kausalitas itu harus dibuktikan. Merujuk pada Fundamentum Petendi, Kuasa Hukumn
Pemohon menunjukan beberapa peristiwa, kemudian megeneralisir bahwa kecurangan
terjadi secara terstruktur, sistematis dan masif. Padahal, untuk mengetahui
apakah berbagai pelanggaran tersebut –
kalau memang dapat dibuktikan secara sah dan meyakinkan – mempunyai hubungan
kausalitas dengan hasil Pilpres haruslah menggunakan teori individualisir.
Teori ini melihat sebab in concreto
atau post factum. Mengapa harus
menggunakan teori individualisir ? sebab pelanggaran yang terstruktur dan
sistematis haruslah menimbulkan dampak yang masif, bukan untuk sebagian tetapi
sangat luas. Dalam Fundamentum Petendi,
hal ini sama sekali tidak dijelaskan oleh Kuasa Hukum Pemohon. Belum lagi dasar
teoretik dalam hubungan kausalitas, apakah hendak menggunakan teori Birkmayer, Teori Binding ataukah Teori Kohler.
Tegasnya, alih-alih menggunakan teori, Kuasa Hukum Pemohon sama sekali tidak
menyinggung hubungan kausalitas antara terstruktur, sistematis yang berdampak
masif dan hubungannya dengan selisih perhitungan suara.
Mahkamah Konstitusi Yang Mulia
KEEMPATBELAS , terkait beban pembuktian
yang didalilkan Kuasa Hukum Pemohon. Pada perbaikan permohonan oleh Kuasa Hukum
Pemohon halaman 93 – 94 angka 261, Kuasa
Hukum Pemohon meminta agar beban pembuktian tidak dibebankan hanya kepada Pemohon.
Entah apa dasar teori yang digunakan atau logika jungkir balik apa yang
dipakai, tetapi setiap mahasiswa hukum yang mengambil mata kuliah Pengantar
Ilmu Hukum telah diajarkan salah satu asas yang berbunyi actori in cumbit probatio. Artinya, siapa yang menggugat
dialah yang wajib membuktikan. Sejumlah asas lain yang berkaiatan adalah ei
incumbit probatio qui dicit, non qui negat : beban pembuktian ada pada orang yang menggugat, bukan yang
tergugat, probandi necessitas incumbit illi
qui agit (beban pembuktian dilimpahkan kepada penggugat) dan semper
necessitas probandi incumbit ei qui agit (beban pembuktian selalu
dilimpahkan pada penggugat) . Ada beberapa postulat lain yang juga berkaitan
adalah : Affirmanti, non neganti, incumbit probatio. Artinya, pembuktian
bersifat wajib bagi yang mengiakan bukan yang menyangkal. Affirmantis est probare
yang berarti orang yang mengiakan harus membuktikan. Reo
negate actori incumbit probatio. Artinya, jika tergugat
tidak mengakui gugatan, maka penggugat harus membuktikan. In genere quicunque aliquid dicit, sive actor sive
reus, necesse est ut probat yang berarti siapapun yang membuat tuduhan, baik itu penggugat ataupun
tergugat, harus membuktikannya. Permintaan Kuasa Hukum Pemohon untuk tidak
membebankan pembuktian hanya kepada Pemohon, secara mutatis mutandis
mengingikan beban pembuktian juga diberikan kepada Termohon dan/atau Pihak
Terkait untuk membuktikan bahwa Termohon dan/atau Pihak Terkait tidak melakukan
perbuatan yang dituduhkan. Hal ini jelas bertentangan dengan asas negativa
non sunt probanda. Artinya, membuktikan sesuatu yang negatif adalah
tidak mungkin karena bertentangan dengan asas dalam hukum pembuktian. Dengan
demikian, dalil Kuasa Hukum Pemohon terkait beban pembuktian haruslah
dikesampingkan karena merusak asas-asas dalam teori hukum dan sendi-sendi dasar
dalam hukum pembuktian.
KELIMABELAS, perihal penggunaan alat bukti petunjuk sebagaimana
diutarakan dalam Fundamentum Petendi
terkait ketidaknetralan aparat intelijen. Perlu diketahui bahwa dalam sistem
hukum pembuktian di Indonesia, istilah alat bukti petunjuk pertama kali dikenal
dalam KUHAP. Alat bukti petunjuk dalam KUHAP sebenarnya merujuk pada Pasal 339 Wetboek van Strafvordering di Negeri
Belanda sebagai terjemahan eigen waarneming
van de rechter atau terjemahan yang sebenarnya adalah pengamatan hakim.
Artinya, alat bukti tersebut mutlak kepunyaan hakim, bukan terdakwa, bukan pula
polisi atau jaksa, bahkan pengacara. Oleh karena itu merujuk pada KUHAP,
petunjuk adalah accessories evidence.
Artinya, petunjuk bukanlah alat bukti mandiri, namun merupakan alat bukti
sekunder yang diperoleh dari alat bukti primer, yakni keterangan saksi, surat
atau keterangan terdakwa.
Secara mutatis mutandis, alat
bukti petunjuk ini diadopsi dalam Pasal 36 juncto
Pasal 37 berikut Penjelasan Pasal 36 dan Pasal 37 Undang-Undang Mahkamah
Konstitusi. Inti kedua pasal tersebut berikut penjelasannya menyatakan bahwa
petunjuk hanya dapat diperoleh dari keterangan saksi, surat atau barang bukti
berdasarkan penilaian Mahkamah Konstitusi dengan memperhatikan persesuain
antara alat bukti yang satu dengan alat bukti yang lain. Artinya, alat bukti petunjuk ini adalah
mutlak kepunyaan hakim, bukan kepunyaan pemohon, bukan pula kepunyaan termohon
ataupun pihak terkait. Dengan demikian alat bukti petunjuk yang dijadikan dalil
oleh Kuasa Hukum Pemohon, tidaklah relevan.
In casu a quo,
jika ketrerangan Presiden RI ke-6 Susilo
Bambang Yudhoyono akan dijadikan sebagai bukti petunjuk oleh Majelis
Mahkamah Konstitusi, maka bukan berita tentang ketidaknetralan oknum BIN, Polri
dan TNI yang disampaikan oleh Presiden RI ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono, namun dalam rangka mencari kebenaran
materiil, Kuasa Hukum Pemohon harus bisa menghadirkan Presiden RI ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono di Mahkamah Konstitusi ini sebagai saksi.
Siapa oknum BIN, Polri dan TNI yang dimaksud dan apa bentuk ketidaknetralannya
serata apa kaitannya dengan perselisihan hasil Pilpres ? Dari Keterangan
Presiden RI ke-6 Susilo Bambang
Yudhoyono sebagai saksi dalam sidang ini barulah diperoleh petunjuk.
KEENAMBELAS, terkait kebenaran yang digali dalam persidangan
Mahkamah Konstitusi. Bila mencermati Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, dalam
sejumlah pasal, jelas terlihat bahwa yang digali dalam sidang Mahkamah
Konstitusi tidak hanya kebenaran meteriil tetapi juga kebenaran formil.
Dapatlah dikatakan bahwa persidangan Mahkamah Konstiusi adalah mencari
kebenaran materiil dalam bingkai kebenaran formil. Ada beberapa ketentuan pasal
yang mengakomodasi kedua kebenaran tersebut. Di satu sisi, Mahkamah Konstitusi
memutus perkara berdasarkan dua alat bukti ditambah dengan keyakinan. Hal ini
menunjukan negatieve wettelijk bewijs
teorie sebagai dasar pencarian kebenaran materiil. Namun di sisi lain,
perolehan alat bukti secara melawan hukum atau unlawful legal evidence, tidak dapat dijadikan alat bukti. Hal ini
mengedepankan keadilan prosedural yang lebih merujuk pada kebenaran
formil.
In casu a quo,
ada benarnya apa yang dikemukakan oleh Kuasa Hukum Pemohon, bahwa MK bukanlah
Mahkamah Kalkulator hanya terkait perselisihan hasil perhitungan suara, namun
hendaknya juga MK jangan dijadikan Mahkamah Kliping atau Mahkamah Koran yang
pembuktiannya hanya didasarkan pada kliping koran atau potongan berita. Dalam
kaitannya untuk memadukan penggalian kebenaran materiil dan kebenaran formil
ada beberapa hal : Pertama, kecurangan secara terstruktur, sistematis dan masif
harus digali kebenarannya oleh Majelis. Kedua, kecurangan secara
terstruktur, sistematis dan masif tetap dalam bingkai perselisihan hasil suara.
Ketiga,
seberapa signifikan kecurangan secara terstruktur, sistematis dan masif
terhadap selisih jumlah suara. Sayangnya, hal-hal ini sama sekali tidak
diungkapkan dalam Fundamentum Petendi
Kuasa Hukum Pemohon.
KETUJUHBELAS, berdasarkan berbagai dalil dalam Fundamentum
Petendi, Kuasa Hukum Pemohon kemudian mengajukan 7 Petitum dan bertambah
menjadi 15 Petitum dalam perbaikan permohonan. Celakanya, di satu sisi antara
Fundamentum Petendi dan Petitum terjadi lompatan logika, sedangkan di sisi lain
antara satu Petitum dengan Petitum lainnya terjadi contradictio interminis. Pertama, Kuasa Hukum Pemohon meminta Mahkamah Konstitusi membatalkan Penetapan
Hasil Pilpres oleh Termohon padahal tidak cukup dalil yang dikemukakan oleh
Kuasa Hukum Pemohon di mana letak kesalahan Termohon dalam menetapkan hasil
Pilpres. Kedua, Kuasa Hukum Pemohon meminta Mahkamah Konstitusi
mendiskualifikasikan Pasangan Calon 01. Dari mana Mahkamah Konstitusi memiliki
kewenangan untuk mendiskualifikasikan pasangan calon presiden dan wakil
presiden ? Ketiga , Kuasa Hukum
Pemohon meminta Mahkamah Konstitusi menetapkan Prabowo Subianto – Sandiaga Salahuddin Uno sebagai Presiden dan
Wakil Presiden, sedangkan di sisi lain meminta kepada Mahkamah Konstitusi agar
memerintahkan Termohon melaksanakan Pemilu Ulang. Logika hukum yang benar atas
dasar akal sehat, ketika, Pemilu dinyatakan tidak sah dan harus diulang, maka
seyogyanya status quo, bukan
menetapkan pasangan calon lain sebagai pemenang kemudian di saat yang sama
dilakukan pemilu ulang.
Mahkamah Konstitusi Yang Mulia
Berdasarkan berbagai uraian di
atas, jelas dan terang benderang terlihat :
- Fundamentum Petendi yang dikonstruksikan berada di luar perselisihan hasil Pemilu.
- Fundamentum Petendi didasarkan pada vermodens
dengan mengeneralisir berbagai fenomena yang hanya didasarkan pada media
masa dan media sosial.
- Fundamentum Petendi didasarkan pada hal-hal yang merusak asas-asas dalam teori hukum
dan sendi-sendi dasar dalam hukum pembuktian serta argumentasi hukum yang
dangkal.
- Antara Fundamentum
Petendi dan Petitum terjadi
lompatan logika dan ada yang contradictio
interminis.
- Mahkamah Konstitusi diminta memutus sesuatu yang
berada di luar kewenangannnya.
Jika hal ini dikabulkan oleh
Mahkamah Konstitusi, baik sebagian maupun seluruhnya maka Mahkamah Konstitusi
tidak lagi sebagai “The Guardian Of
Constitution” melainkan sebagai “The
Destroyer Of Constitution”.
Komentar
Posting Komentar